DIBANDING organisasi profesi lainnya, seperti wartawan, dokter, atau notaris, organisasi para pengacara atau advokat boleh jadi paling semrawut. Di luar organisasi Peradin, yang tertua, bermunculan berbagai organisasi dengan bermaca-mmacam nama. Dan awal tahun ini serempak tokoh-tokoh organisasi itu berbicara tentang perlunya wadah tunggal, semacam Bar Association di negeri orang. Ide itu semakin mencari bentuk setelah Menteri Kehakiman Ali Said menyatakan persetujuannya. Bahkan, pekan ini, Ali Said mercncanakan mengadakan semacam sarasehan untuk mewujudkan wadah tunggal itu. Setelah hampir lima tahun terjadi semacam perlombaan membikin perkumpulan, akhirnya, semua pengacara toh merasa perlu bersatu. "Pelembagaan itu perlu, agar ada sanksi bagi pelanggar profesi advokat," seperti ujar ketua DPP Peradin, Harjono Tjitrosubono. Selama ini, seperti dituturkan sekretaris jenderal Peradin, Maruli Simorangkir, organisasinya tidak bisa melaksanakan kode etik advokat dengan mutlak. Sebab, begitu seorang advokat dipecat Peradin karena suatu hal, ia masih saja bebas berpraktek dan diterima pengadilan. Bahkan, yang lebih parah, bekas anggota itu membentuk organisasi baru sebagai tandingan Peradin, atau bergabung dengan organisasi lain. Akibat tidak adanya satu organisasi advokat yang berwibawa, menurut direktur LBH, Abdul Rachman Saleh, bukan saja merugikan para pengacara sendiri. Tidak sedikit masyarakat pencari keadilan yang mengeluh akibat ulah jelek advokat. "Misalnya, ada pengacara yang menelantarkan perkara, padahal ia sudah menerima bayaran mahal," tutur Abdul Rachman Saleh. Sebab itu, menurut Abdul Rachman, semua pengacara sebaiknya masuk dalam wadah baru yang akan dibentuk itu dan taat pada kode etiknya. "Bila tidak, oknum itu tidak akan bisa berpraktek, karena izinnya dicabut menteri kehakiman," ujar Abdul Rachman. Peradin, yang didirikan pada 1964, mempunyai sekitar 600 anggota, yang terdiri dari advokat yang diangkat pemerintah. Semula cukup berwibawa dan merupakan satu-satunya organisasi advokat walau belum diakui secara resmi oleh pemerintah. Perpecahan timbul, setelah Peradin memecat ketua DPC Jakarta, Soenarto Soerodibroto, 1979, setelah ribut-ribut kasus "mafia peradilan". Soenarto dituduh "mengatur" proses peradilan perkara Budiadji, kepala Dolog Kalimantan Timur, dengan cara menghimpunkan dana untuk hakim, Jaksa, dan pembela (TMPO, 17 Maret 1979). Setelah Soenarto, lima anggota Peradin lainnya kena pecat, antara lain Nurbani Yusuf dan Amin Arjoso, yang dianggap dekat dengan Soenarto. Kelima bekas anggota itu kemudian menggalang kekuatan di luar Peradin. Mereka didukung sekitar 200 advokat yang tidak terdaftar pada Peradin, tapi berpraktek sebagaimana layaknya pengacara. Juni 1980, Amin dan Nurbani, bersama tokoh-tokoh di luar Peradin, menyelenggarakan Fosko (Forum Studi dan Komunikasi) Advokat. Sebelum itu, muncul dua organisasi lain, HPHI (Himpunan Penasihat Hukum Indonesia) di bawah pimpinan Budhi Soetrisno, dan Pusbadhi (Pusat Bantuan dan Pengabdian Hukum Indonesia) yang dipimpin R.O. Tambunan. Kegiatan para advokat di luar Peradin itu mendapat "angin". Hampir semua tokoh - puncak pemerintahan di bidang hukum menghadiri acara-acara yang dlselenggarakan mereka. Sebaliknya, kelahiran berbagai orgamsasi itu mempertajam pertentangan Peradin dengan para advokat di luar organisasi itu. Sebab itu pula salah seorang Ketua DPP Peradin, Adnan Buyung Nasution, menuduh perpecahan di kalangan advokat sengaja dibikin oleh "tangan luar" (TEMPO, 14 Juni 1980). Ribut-ribut antara advokat itu mereda setelah, kemudian ternyata, tidak satu pun dari berbagai orgamsasi itu - termasuk Peradin - diakui secara resmi oleh pemerintah. Namun, usaha untuk mempersatukan para advokat tidak kunjung tercapai. Padahal, sejak dua tahun lalu, baik kalangan Peradin sendiri maupun pemerintah (menteri kehakiman) telah mencanangkan gagasan perlunya wadah tunggal. Barulah tahun ini, setelah pemerimtah mengumumkan akan mengajukan RUU Bantuan Hukum ke DPR, para advokat merasa perlu berpikir kembali mengenai organisasi tunggal. Jalan ke arah itu terbuka sudah. Baik Harjono, Maruli, Tambunan, maupun Budhi Soetrisno tidak mempersoalkan bentuk dan nama wadah mereka kelak. Bahkan, mereka - sementara ini - juga bersedia menerima siapa yang akan jadi pengurus. "Yang dibutuhkan kini adalah seorang tokoh pemersatu, orang yang sanggup menyatukan pengacara di satu meja makan," ujar Budhi. Dalam hal kode etik dan anggaran dasar, misalnya, Peradin menawarkan agar dipakai kode etik dan anggaran dasar organisasinya. "Jika membuat yang baru akan memakan waktu lama," ujar Harjono. Sampai pekan lalu, Menteri Kehakiman telah menerima berbagai konsep wadah tunggal itu dari organisasi-organisasi pengacara. "Semua konsep itu akan saya jadikan masukan untuk mengemukakan gagasan wadah tunggal di sarasehan nanti," ujar Ali Said kepada Sinar Harapan, pekan lalu. Di antara harapan-harapan di balik wadah tunggal, tidak kurang pula kekhawatiran, kalau-kalau wadah itu akan membatasi ruang gerak para pengacara nantinya. "Perlu diberi jaminan bahwa para advokat masih bebas memperjuangkan keadilan dan kebenaran," ujar anggota Peradin yang juga anggota DPR dan Ketua I Persahi (Perhimpunan Sarjana Hukum Indonesia), Albert Hasibuan. Ketua DPP Peradin pun sependapat, "Jika kebebasan berbicara akan hilang, lebih baik tidak ada wadah baru," kata Harjono.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini