Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Natalegawa, ditahan karena suasana

Mahkamah Agung memerintahkan penahanan terhadap bekas dirut BBD, natalegawa, yang sedang menunggu grasi. juga membatalkan vonis pengadilan negeri jak-pus yang membebaskan natalegawa dari tuduhan korupsi. (hk)

11 Februari 1984 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEPAT sebulan setelah keputusan Mahkamah Agung, bekas direktur kredit Bank Bumi Daya, R.S. Natalegawa, terpaksa pamit pada istrinya. Dengan tas pakaian di tangan, Natalegawa memeluk dan mencium istrinva sebelum menaiki mohil tahanan di Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat. Sejak hari itu, Sabtu dua pekan lalu, la resmi ditahan di rumah tahanan Salemba, Jakarta Pusat, setelah dibebaskan pengadilan dua tahun lalu. Nasib Natalegawa, 53, lebih buruk dari Hariman Siregar dan Syahrir. Dua terhukum perkara subversi itu diperkenankan menunggu permohonan grasinya di luar tahanan. Sebaliknya Natalegawa. Setelah dijatuhi hukuman 2 tahun 6 bulan penjara karena terbukti korupsi dalam kasus Pluit, ia tidak diperkenankan berada di luar tahanan, walau telah meminta grasi kepada presiden. Sebab, dalam putusan Majelis Hakim Agung, 28 Desember 1983 lalu, dicantumkan perintah agar terhukum ditahan. "Kami hanya menjalankan perintah Mahkamah Agung, tanpa perlu mempersoalkan apakah ia pantas ditahan atau tidak dalam menunggu grasinya," ujar seorang pejabat kejaksaan yang mengeksekusi keputusan Mahkamah Agung itu. Karena itu pula, status Natalegawa kini belum narapidana. melainkan tetap tahanan. Pengacara Natalegawa, Aswar Karim, tidak banyak cimgcong atas putusan itu. "Saya harus tunduk kepada putusan majelis tertinggi itu," ujar Aswar. Walau begitu, bukan berarti bagi Aswar tidak ada persoalan. Perintah Mahkamah Agung di dalam vonis itu, agar Natalegawa segera ditahan, dianggapnya sebaga keganjilan. "Ini yang pertama kali terjadi," ujar pengacara itu. Biasanya, semua terhukum - kecuali yang terkena tuduhan subversi - diperkenankan oleh undang-undang untuk berada di luar penjara sambil menunggu putusan grasi. Ketentuan itu baru tidak berlaku bila terhukum sudah berada di tahanan ketika putusan Mahkamah Agung dikeluarkan. Sebab itu Aswar Karim memohon penuudaan eksekusi kepada Jaksa Agung, sehari sebelum Natalegawa masuk tahanan. Dalam suratnya, 27 Januari lalu, Aswar menyebutkan bahwa kliennya sudah mengajukan permohonan grasi. Berdasarkan undang-undang grasi (Undang-undang nomor 3/1950), segala bentuk hukuman tidak boleh dijalankan sementara terhukum mengajnkan permohonan grasi. Tapi permohonan Aswar itu ternyata tidak dikabulkan Jaksa Agung. Namun, ketua Majelis Hakim Agung yang memutuskan perkara itu, Adi Andojo Sutjipto, berpendapat lain. Dengan keputusan Mahkamah Agung itu, katanya, tidak berarti Natalegawa berstatus terhukum. "Ia baru disebut narapidana bila grasinya ditolak presiden," ujar Adi Andojo. Hakim Agung itu membantah pula bahwa terjadi pembedaan antara kasus Hariman dan kasus Natalegawa. "Tidak ada perbedaan dalam putusan, yang ada hanya dalam pelaksanaan," ujar Adi Andojo. Untuk Natalegawa, katanya, perintah penahanan dilaksanakan, sedangkan untuk Hariman ditangguhkan. Namun, Ketua Muda Mahkamah Agung itu membenarkan bahwa Mahkamah mempunyai pertimbangan lain, selain yuridis formal, dalam putusannya itu: suasana antikorupsi yang lagi gencar-gencarnya digalakkan pemerintah merupakan "salah satu pertimbangan di situ," ujar Adi Andojo lagi. Dalam putusan Mahkamah Agung akhir tahun lalu itu, selain tentang perintah penahanan, Adi Andojo juga membatalkan vonis Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang membebaskan Natalegawa dari tuduhan korupsi (TEMPO, 14 Januari). Keputusan Adi Andojo itu tak kurang membingungkan pejabat rumah tahanan Salemba. "Ini janggal. Natalegawa yang sudah minta grasi kok masih dianggap tahanan. Seharusnya dia ini sudah narapidana," ujar pejabat rumah tahanan yang tidak mau disebut namanya itu. Alasan pejabat itu, dengan keputusan Mahkamah Agung, sebenarnya putusan perkara Natalegawa itu final, sudah mempunyai kekuatan hukum pasti. "Sebab itu ia juga berhak mendapat remisi pada hari kemerdekaan nanti," tambahnya. Bagaimanapun, Natalegawa, yang pernah ditahan selama 22 bulan, harus kembali masuk tahanan. "Daripada nasib kami tidak menentu, lebih baik ia menjalani hukuman sampai selesai," ujar istri Natalegawa, yang menganggap status suaminya adalah terhukum. Menurut ibu empat anak itu, suaminya berkata, "Walau saya merasa tidak bersalah, saya ikhlas untuk pergi lagi." Natalegawa memang tidak banyak komentar setelah putusan Mahkamah Agung itu. Ketika ditemui TEMPO, awal Januari lalu, ia menolak memberikan komentar atas putusan yang membatalkan pembebasannya itu. "Posisi saya serba sulit. Jika saya memberi komentar, bisa serba salah nanti," katanya. Dalam permohonan grasinya kepada Presiden, 17 Januari lalu, ia tidak menyebut-nyebut soal benar atau tidaknya putusan Mahkamah Agung atas dirinya. Ia hanya menguraikan panjang lebar pengabdiannya kepada negara di dunia perbankan dan keuangan. Dilahirkan di Cianjur, Jawa Barat, Natalegawa mengaku telah mengabdi di Bank Indonesia sejak 1951 sampai 1970. Setelah itu, hingga 1975, ia diangkat menjadi direktur kredit di Bank Bumi Daya. Ia pensiun pada 21 Desember 1975, dan kemudian ditunjuk sebagai pimpinan lembaga keuangan nonbank, PT ASEAM, yang sebagian sahamnya dimiliki pemerintah. Selain dari jabatan-jabatan resmi itu, Natalegawa mengaku bahwa pada awal Orde Baru ia ikut mengatasi kesulitan negara dalam bidang devisa. Ia punya andil dalam mengembalikan devisa yang tercecer di luar negeri. Kemudian menjadi anggota delegasi Indonesia ke sidang Asian Development Bank di Tokyo yang menggolkan Indonesia sebagai pendiri lembaga itu. Ia ikut pula dalam perundingan-perundingan pendahuluan pembentukan IGGI. Selain itu, Natalegawa menerima beberapa surat penghargaan, di antaranya karena berhasil menyelesaikan proyek pampasan perang dari Jepang, yang kini berwujud gedung Wisma Nusantara. Namun, di puncak kariernya, sebagai direktur di Bank Bumi Daya, Natalegawa dinyatakan terbukti korupsi: memberikan kemudahan kepada Endang Wijaya mendapatkan kredit sampai Rp 14 milyar untuk proyek Pluit tanpa jaminan yang benar. Pejabat BBD itu dinyatakan terbukti pula menerima imbalan antara lain berupa mobil, empat buah rumah, dan pertokoan di Pluit. Kini, bersama Endang Wijaya, Natalegawa menunggu permohonan grasinya di dalam tahanan. Endang, yang dihukum 10 tahun penjara, memang telah berada di dalam tahanan ketika Mahkamah Agung memutuskan perkaranya, pertengahan tahun lalu. Di rumah tahanan Salemba. Natalegawa, sejak pekan lalu mencari kesibukan dengan mengajarkan bahasa Inggris. Setelah selesai menjalani hukuman nanti, "ia merencanakan tetap akan mengembangkan kariernya di perbankan," ujar Nyonya Natalegawa.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus