HANYA dalam tempo tujuh bulan, banyak kelonggaran diberikan Bank Indonesia kepada bank swasta nasional. Sesudah pagu kredit dihapus dan fasilitas diskonto dibuka, kini pemerintah memberi kesempatan luas kepada bank swasta - sekalipun belum pernah merjer (bergabung) dan bukan bank devisa - untuk membuka cabang di luar wilayah operasinya. Dengan keputusan menteri keuangan, 24 Januari, itu pemerintah sejak saat itu meniadakan sama sekali pembedaan antara bank swasta berlingkup nasional dan lokal. Perubahan sikap pemerintah itu punya latar belakang cukup kuat: jumlah bank swasta yang sehat makin bertambah. Menurut gubernur BI, Arifin Siregar, pertengahan Januari, jumlah bank swasta yang cukup sehat sudah 63 buah. Dengan kata lain, yang masih belum sehat tinggal tujuh bank swasta. Keadaan kini jelas berbeda dengan situasi dua puluh tahun lalu, saat 125 bank swasta nasional yang tak punya manajemen kuat beroperasi tanpa bimbingan BI dan dukungan dana memadai. Untuk mendorong tumbuhnya bank swasta yang sehat, pemerintah menganjurkan agar mereka melakukan penggabungan usaha. Bahkan pada 1971, para pengusaha dilarang sama sekali membentuk bank swasta baru. Usaha itu akhirnya menunjukkan hasil: beberapa bank secara bertahap, misalnya, kemudian bergabung membentuk Panin Bank. Bagi bank swasta, yang telah melakukan merjer paling sedlkit satu kali, diberikan fasilitas untuk membuka cabang baru di pelbagai tempat. Sebaliknya, bagi bank yang sama sekali belum pernah merjer, wilayah operasinya dibatasi di provinsi tempat mereka beroperasi. Dari sinilah kemudian dikenal sebutan bank swasta berlingkup nasional, atau bank yang telah merjer, dan bank swasta lokal. Sebelumnya, bank swasta hanya diberi waktu enam bulan untuk mempersiapkan pembukaan kantor cabang atau cabang pembantu sesudah izin prinsip keluar dari BI. Tapi sekarang, dengan keputusan 4 Januari itu, jangka waktu tadi diubah jadi satu tahun. Ronnie Suyanto, direktur pelaksana Bank Internilsional Indonesia (BII), mengaku sangat Iega mendengar kelonggaran pemerintah itu. Bank nondevisanya, yang kini baru punya tiga cabang di tiga kota utama dan cabang pembantu di Jakarta, katanya April depan akan membuka kantor cabang di Ujungpandang. Gengsi BII memang sangat cepat nalk sesudah Eka Tjipta Wijaya, 62, raja minyak goreng dari Grup Sinar Mas, pada Agustus 1982 masuk ke dalam bank yang belum terkenal itu. Dengan suntikan dana cukup besar pemegang sahan mayoritas ini dengan cepat menaikkan kekayaan bank itu dari Rp 13 milyar pada 1982 menjadi Rp 115 milyar pada Januari 198i. Hampir setiap pagi, Eka Tjipta Wijaya perlu memberikan briefing kepada stafnya, kendati anak-anaknya sudah duduk jadi direksi di situ. Menurut Ronnie, Bll berambisi mengumpulkan kekayaan Rp 200 milyar pada akhir tahun ini. Dengan dukungan anak-anak perusahaan Grup Sinar Mas, soal dana bukanlah hal yang merisaukan bagi BII. Tapi, seperti juga dihadapi banyak bank swasta, bank ini merasakan sulitnya mencari tenaga terampil - apalagi untuk memimpin cabang di daerah. Manajemen Panin Bank, misalnya, tiap bulan mengaku bisa saja membuka empat sampai lima cabang baru. Hanya, karena keterbatasan tenaga, bank ini lebih suka mengekang diri. "Kekayaan yang paling tinggi dalam sebuah bank adalah manusia, bukan pada besarnya dana," ujar Fuady Mourad, direktur Panin. Adanya kendali dari BI juga menyebabkan banyak bank swasta di masa lalu lebih suka bersikap menahan diri dalam mengembangkan sayap. Jadi, tak heran kalau jumlah cabang bank swasta kini ditaksir hanya 400 buah saja. Tahun lalu Arifin mencatat jumlah cabang bank swasta hanya bertambah 24 buah. Tapi dalam tahun-tahun mendatang pertambahan itu jelas diharapkan makin besar sesudah pemerintah memberikan kelonggaran. Hanya yang perlu diingat, kata I Nyoman Moena, ketua Perhimpunan Bank-bank Nasional Swasta (Perbanas), pemerintah berharap bank swasta mau membuka cabang baru di daerah produksi. Moena menganggap perlu menekankan hal itu, mengingat selama ini pembukaan cabang baru selalu dilakukan di wilayah kantung uang, bukan di pusat produksi. Jadi, katanya, perubahan orientasi tampaknya dijalankan pemerintah untuk ikut mendorong pertumbuhan daerah. Menurut Moena bertambahnya jumlah cabang di daerah akan turut membantu pemerintah memobilisasikan dana masyarakat. Karena mungkin jumlah cabang terbatas, pada periode 1978-1982 memang terasa bahwa kemampuan bank swasta mengumpulkan rupiah lewat deposito sangat kecil: dari 9,5% hanya naik jadi 11% (1982) dari total Rp 1,9 trilyun. Tapi, agak aneh, jika dilihat dalam jumlah pinjaman yang diberikan, kue bank swasta ternyata makin membesar (lihat grafik). Kalau lima tahun lalu jumlah kredit yang mereka salurkan baru 6,5% (Rp 406 milyar) dari pinjaman yang diberikan perbankan (termasuk dari Bl), maka kuenya (Desember 1983) sudah naik jadi 12,4% (Rp 1.948 milyar). Naiknya porsi bank swasta itu, kata seorang bankir, karena mereka diberi kesempatan menyalurkan kredit ekspor berbunga rendah, sekalipun masih dibatasi pagu kredit. Jumlah kredit yang mereka salurkan itu tampaknya akan makin membesar sesudah, mulai 1 Januari lalu, Bl memperbolehkan bank swasta memberikan kredit investasi maksimal Rp 1 milyar atau 10% dari modal sendiri pada seorang nasabahnya. Kebijaksanaan itu merupakan langkah maju, mengingat bahwa selama ini setiap pemberian kredit investasi harus mendapat lampu hijau dulu dari Bl, dan jangkanya dibatasi. Mereka juga diperkenankan melakukan penyertaan modal dalam pembiayaan suatu proyek. Tapi bagi bank swasta soalnya tidak mudah. Sebab, dana yang mereka peroleh sebagian besar berjangka pendek, himgga agak sulit untuk mengalokasikannya guna investasi jangka panjang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini