SENAM waitankung, taichi, dan senam Cina lain, mendadak dihebohkan. Adalah Letkol TNI-AU Parwandono, 45, yang mengawali. Pekan lalu, Sekretaris FABRI dan anggota Komisi A DPRD DKI Jaya itu di hadapan pers menyatakan keprihatinannya. Katanya, "Olah raga yang sudah menjamur mulai dari kalangan bawah hingga pejabat tinggi itu harus diwaspadai, karena berasal dari luar. "Dan bila olah raga itu membudaya," ujarnya lebih lanjut, "maka secara sadar atau tidak bangsa Indonesia akan terpengaruh, paling tidak akan mempengaruhi pola berpikir kita." Tak kalah sengitnya adalah ucapan Eddie M. Nalapraya. Wagub DKI Jakarta itu, yang juga Ketua Umum Ikatan Pencak Silat Seluruh Indonesia, bersikap tegas: "Saya tak ingin atau tak berniat mempelajari ataupun melakukan senam kesehatan taichi dan berbagai alirannya." Olah gerak dan napas, buat Eddie, sudah tercakup dalam pencak silat warisan nenek moyang. Eddie mengatakan, ia tetap berpegang teguh pada Inpres No. 14 tahun 1967, yang antara lain melarang penggunaan bahasa Cina dan aksara Cina. Gubernur DKI Jakarta R. Soeprapto, yang belakangan ikut berlatih waitankung, menilai senam seperti waitankung atau taichi chuan murni olah raga. Namun, tampaknya, ia tak mau terlibat dalam perdebatan. "Boleh atau tidaknya taichi chuan atau waitankung berkembang, terserah Menpora," katanya. Diramaikannya berbagai senam "eks Cina" ini membuat Mayjen (pur) Supardi, salah seorang pelopor senam waitankung dan neitankung di Indonesia, sibuk. Karena itu, "Saya minta restu ke sana-kemari. Ya, ke Bakin, ke KONI, Menteri Dalam Negeri, Menpora, dan Menteri Kesehatan." Langkah pun akan segera diambil, sesuai dengan instruksi Bakin, untuk mengindonesiakan senam itu. Antara lain dengan mengganti nama waitankung dan neitankung menjadi Sehat Wani (Senam Kesehatan Waitankung - Neitankung). Tentang banyaknya pejabat yang ikut sehat wani, kata Supardi, karena memang senam ini terutama buat mereka yang fisiknya terganggu akibat stres kerja berat. Anggapan bahwa senam ini bisa membuat orang berkiblat ke Cina agak membuat kesal komisaris PT Krakatau Steel ini. "Nggak usah lewat waitankung, kalau mau berkiblat ke Cina juga bisa," katanya. Yang lebih dingin menanggapi pro dan kontra senam ini adalah sesepuh taichi, Brigjen Drh. Aryodarmoko, 60. Menanggapi pendapat apa pun mengenai taichi dianggapnya menyalahi prinsip taichi. "Biarlah suara-suara itu berlalu," ujar tokoh yang mempelajari taichi sejak 1940-an ini. Komentar paling pas rasanya datang dari Menlu Mochtar Kusumaatmadja. "Tak usah khawatir, tak usah dianggap terlalu berat," katanya. Demam senam Cina tersebut, katanya, cuma mode yang mungkin akan segera hilang, dan tak ada hubungannya dengan kemungkinan normalisasi hubungan Indonesia- RRC. Menpora Abdul Gafur juga ikut menanggapi. "Kita ini, apa saja diributkan. Breakdance ribut. Sekarang orang senang olah raga saja juga ribut." Toh sebagai Menpora, katanya, ia harus waspada agar berbagai senam itu tidak sempat mengganggu nilai budaya bangsa Indonesia. Untuk itu senam tersebut harus disesuaikan dengan keadaan Indonesia. "Nyanyinya harus Indonesia. Aba-abanya juga harus bahasa Indonesia. Departemen Dalam Negeri juga sudah dibikin sibuk oleh sang waitankung dan taichi. Belum lama ini surat edaran sudah dikirim ke para gubernur berisi instruksi untuk memantau dan mengawasi kegiatan senam ini "agar tak menjadi jalur atau wahana pelestarian kegiatan kebudayaan warga negara Indonesia asing ke negeri leluhurnya". Penjabarannya, antara lain, setiap pimpinan penyelenggara harus menunjukkan rekomendasi tertulis dari pembina senam yang sudah ditunjuk pusat, bila hendak mengadakan kegiatan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini