IKHTIAR pemerintah menyehatkan kembali iklim berusaha swasta, rupanya, dilakukan cukup serius dan ekstra hati-hati. Hanya 10 hari setelah Presiden Soeharto menyatakan tekad itu dalam mengantar Nota Keuangan dan RAPBN 1987--1988 di DPR, Menko Ekuin Ali Wardhana langsung membeberkan sebuah beleid baru di bidang perdagangan. Yakni penyederhanaan tata niaga empat sektor industri: tekstil, besi baja, mesin dan mesin listrik, serta komponen kendaraan bermotor. Tak kurang dari 300 macam bahan baku dan penolong impor untuk keempat sektor industri itu yang diturunkan bea masuknya atau dibebaskan sama sekali. Sebagian lagi ada yang dipermudah tata niaganya. "Untuk memberikan daya saing yang lebih besar bagi ekspor nonmigas," kata Menteri Ali Wardhana, pekan lalu, ketika menguraikan deregulasi baru itu. Harus diakui, Paket 15 Januari itu lebih maju dibandingkan Paket 25 Oktober, terutama bila diukur dari jumlah bahan baku dan penolong impor yang diatur kembali tata niaganya. Paket 25 Oktober, seperti diketahui, hanya mengatur kembali tata niaga 153 jenis bahan baku dan penolong impor. Kendati demikian, kalangan pengusaha yang mengekspor sebagian barangnya sudah merasakan pengaruh langsung beleid tahun lalu itu, dalam bentuk penghematan blaya produksi. Tapi, bagi mereka yang memusatkan pasarnya di dalam negeri, paket itu tak berarti banyak, karena penurunan tarif di bawah 40% itu tak sebanding dengan kenaikan biaya produksi akibat devaluasi 45%. Tidak semua pihak, memang, bisa lega menghadapi kedua paket itu. Kalangan pengusaha plastik dan produk-produk baja, misalnya, masih merasa hidup seperti dalam cerobong asap, karena impor bahan baku mereka masih "ditataniagakan". Produk-produk baja dan bahan plastik memang termasuk barang strategis, dan pasarnya setiap tahun diduga mencapai lebih dari US$ 800 juta. Karena alasan itu, agaknya, usaha mengatur kembali tata niaga di kedua sektor itu perlu dilakukan ekstra hati-hati. Toh pemerintah tidak ingin mengecewakan dunia usaha. Untuk tahap pertama, 300 macam bahan baku dan penolong impor, misalnya, diatur kembali tata niaganya. Dari jumlah itu, 103 di antaranya tidak lagi diatur dengan tata niaga kuota atau importir tunggal/ tertunjuk, melainkan diubah dengan tata niaga sistem tarif. Dari jumlah itu, sebagian besar merupakan bahan baku dan penolong untuk sektor industri tekstil. Di antara empat sektor industri yang menerima keringanan, industri tekstil tampaknya paling banyak mendapat angin deregulasi. "Karena melibat produsen kecil yang banyak sekali jumlahnya, industri jenis ini masih harus dilindungi," kata Menteri Perdagangan Rachmat Saleh. Di pihak lain, tata niaga 142 bahan baku dan penolong impor, yang dulu diatur dengan sistem tarif, kini diatur lewat importir terdaftar atau importir produsen. Dari jumlah itu, 135 di antaranya merupakan bahan baku dan penolong industri, dan tujuh lainnya merupakan bahan penolong bagi industri baja. Yang mencolok dari deregulasi itu adalah penurunan bea masuk 55 macam bahan penolong di sektor mesin. Bea masuk mesin hitung uang dan juga mesin ketik listrik (dalam keadaan terurai), misalnya, diturunkan dari 40% jadi 0%. Deregulasi memang harus dilakukan, jika sasaran ekspor nonmigas 1987--1988 sebesar US$ 7,6 milyar hendak dicapai. Di tengah makin sengitnya persaingan melawan negara-negara industri baru, usaha mencapai sasaran yang berada USS 1 milyar di atas rencana tahun berjalan itu harus diakui tidak mudah dilakukan. Tapi, agar sasaran itu bisa dijangkau, semua gangguan atas mata rantai produksi, tata niaga, dan investasi swasta harus dibabat habis. Hanya dengan cara itu, menurut ekonom kawakan Prof. Dr. Sumitro Djojohadikusumo, laju pertumbuhan ekonomi yang ditaksir hanya 1,6% pada 1986 bisa digenjot naik menjadi sekitar 3% tahun 1987 ini. "Presiden Soeharto sendiri sudah memberikan pedoman untuk itu. Hapuskan hambatan dan lakukan privatisasi," kata Sumitro dalam seminar ekonomi di Jakarta, belum lama ini. Rentetan deregulasi lain memang tengah disiapkan pemerintah. Sebab, masih banyak pengusaha yang mengaku usahanya belum disentuh oleh deregulasi baru itu. Ekspor ban, umpamanya, terang-terangan disebut Sjahfiri Alim, Ketua Asosiasi Pengusaha Ban Indonesia, belum disentuh Paket 15 Januari. "Semua ketentuan di sektor industri ban, terutama untuk ekspor, masih diatur dengan ketentuan lama, yang masih banyak menghambat industri ini," kata Sjahfiri, yang juga Presiden Direktur Goodyear Indonesia. Sjahfiri lalu menyebut contoh tentang masih berbelitnya prosedur pengurusan dokumen ekspor, dan sulitnya proses pengembalian bea masuk. Dia berharap agar prosedur melakukan ekspor ban ini dideregulasikan juga. Sebab, ada harapan, tahun ini ekspor ban bisa ditendang naik. Tahun lalu, misalnya, ekspor ban itu sudah mencapai 4,7 juta ton, naik dari sebelumnya, 3,8 juta ton. Sejumlah komoditi, boleh jadi, sebenarnya juga menjanjikan prospek yang baik. "Kini sedang diteliti terus biaya apa saja yang masih bisa ditekan atau dihilangkan untuk mengefisienkan ekonomi nasional," ujar Menteri Keuangan Radius Prawiro. Jalan ke sana memang sedang dibuka. Dan terbuka kemungkinan, sesudah banyak regulasi digusur, birokrasi yang dianggap sebagai penghambat bakal kena babat pula. Pemerintah sudah membuktikannya ketika tahun 1985 lalu mengeluarkan Inpres No. 4, yang memberi kewenangan penuh kepada SGS dan Sucofindo memproses semua dokumen ekspor-impor barang di atas US$ 5.000. Ikhtiar melicinkan jalan usaha bagi swasta itu memang penting dilakukan. Sebab, sesudah jumlah rupiah dari APBN kian menyusut, daya dorong investasi dari kantung pemerintah itu otomatis jadi melemah. Pilihan tentu tinggal pada swasta. Dan pemerintah cukup serius melakukan perbaikan itu. Lihat saja, sesudah Inpres No. 4 dan 5 tahun 1985, berturut-turut dikeluarkan Paket Enam Mei dan Paket 25 Oktober 1986 sampai yang terakhir berupa Paket 15 Januari 1987. Toh seorang pengusaha masih saja mengeluh menghadapi rentetan deregulasi itu. "Semua ketentuan yang dimulai dengan itikad baik itu selalu saja kurang baik hasilnya bila kemudian diimplementasikan di lapangan," keluhnya. Apakah Paket 15 Januari nanti akan begitu? Masih harus ditunggu. Berikut cerita dari sejumlah pengusaha:
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini