Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Mendongkrak Prestasi dengan Naturalisasi

Irfan Bachdim dan Kim Jeffrey Kurniawan mulai memperkuat Persema. Batu loncatan untuk bergabung dengan tim nasional.

30 Agustus 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HAWA panas di Sidoarjo, Jawa Timur, membuat Kim Jeffrey Kurniawan dan Irfan Bachdim betah berlama-lama di kolam renang Hotel Bandara, Selasa pekan lalu. Ketika rekan-rekannya, pemain Persema Malang, memilih tidur siang dan menghabiskan waktu di kamar, Kim dan Irfan masih berendam di kolam. Setelah berendam, bukannya membasuh badan, keduanya berjemur di bawah sengatan matahari, dengan celana pendek yang lepek. ”Hangat,” kata Irfan, sambil menggosokkan handuk ke rambutnya yang masih basah.

Meski Indonesia adalah negeri asal orang tua mereka, Kim, 20 tahun, dan Irfan, 22 tahun, tak terbiasa dengan iklim tropis. Beruntung, keduanya bergabung dengan Persema, klub yang bermarkas di Malang. Mereka lebih mudah menyesuaikan diri di kota yang dikenal berudara sejuk itu. Maklum, Kim dan Irfan lahir dan dibesarkan di Eropa. Dua anak muda ini bahkan masih kesulitan berbahasa Indonesia, kecuali untuk beberapa kata yang umum, seperti ”murah” dan ”hangat”, itu pun dengan aksen seperti yang sering diperagakan pesohor remaja Cinta Laura.

Kim dan Irfan adalah pendatang baru di Persema. Di klub ini, mereka akan menjajal atmosfer sepak bola Indonesia, untuk pertama kali, setelah malang-melintang di berbagai klub Eropa. Bagi mereka, Persema sekaligus menjadi batu loncatan untuk bisa mendapat kewarganegaraan Indonesia dan bergabung dengan tim Merah Putih. Dua lajang kelahiran Amsterdam, Belanda, dan Muhlacker, kota kecil di selatan Jerman, itu memang diproyeksikan menjadi tulang punggung tim nasional Indonesia. Adapun Irfan sudah menjadi warga negara Indonesia.

Menjadi WNI memang menjadi prioritas utama Kim, sehingga ia tak dibuat pusing dengan memilih klub mana yang akan diperkuatnya. Bahkan nilai kontrak pun tak menjadi pertimbangan utama. ”Bayaran bukan segalanya. Bagi saya, yang lebih penting adalah diberi kesempatan bermain di Indonesia dan dibantu menjadi WNI. Impian saya memang tinggal di Indonesia,” kata Kim. Kalau ada yang ia sukai dari klubnya, itu adalah para pendukung tim berjuluk Laskar Ken Arok yang sangat fanatik.

Ya, berkat dukungan para suporter itu pula pada Senin pekan lalu Persema sukses menggasak Persipro Probolinggo 5-1 dalam laga penyisihan grup Piala Gubernur Jawa Timur, yang sekaligus menjadi ajang pemanasan menjelang bergulirnya Liga Super Indonesia. Dalam pertandingan itu Kim Jeffrey memang absen karena cedera otot kaki, tapi Irfan Bachdim bermain gemilang dengan mencetak gol pembuka pada menit kedua, dan memberi dua umpan matang untuk tandemnya, Reza Ardiansyah.

Penampilan gemilang tersebut menjadi awal yang baik bagi Irfan untuk bisa unjuk gigi di Liga Super, dan dilirik pelatih tim nasional Alfred Riedl. Irfan dan Kim memang optimistis bakal mudah menyesuaikan diri dengan sepak bola Indonesia, dan juga kehidupan di negeri ini. ”Kami bisa mengatasi masalah cuaca,” kata Irfan. Selain itu, keduanya sudah akrab dengan masakan Indonesia. Irfan mengaku senang dengan makanan lokal seperti martabak dan nasi goreng. Adapun Kim penyuka udang dan ikan goreng.

Di klub, keduanya juga membaur dengan pemain lain. ”Kami makan bersama-sama dengan pemain lain,” ujar Kim. Berbeda dengan para pemain asing yang biasa menggunakan mobil ke tempat latihan, dua anak muda ini mengendarai skuter berboncengan dari guest house—tempat mereka tinggal—menuju tempat latihan. ”Kami tidak punya mobil. Skuter ini disediakan klub sekaligus untuk pergi ke mal kalau libur latihan,” kata Irfan, yang mengaku lebih senang memilih barang yang harganya murah jika berbelanja.

Irfan dan Kim adalah sedikit dari pemain berdarah Indonesia yang lahir, besar, dan berlatih sepak bola di Eropa. Anjloknya prestasi tim nasional dalam satu dekade terakhir membuat pengurus PSSI memilih jalan pintas dengan mengajak mereka kembali ke Indonesia. Sebagian masih memiliki kewarganegaraan Indonesia, seperti Irfan. Yang lainnya sudah memegang paspor salah satu negara Eropa, seperti halnya Kim yang memiliki paspor Jerman. Bila kembali berpaspor Indonesia, mereka diharapkan bakal mendongkrak prestasi tim Merah Putih.

Upaya mendatangkan pemain blasteran itu berlangsung sejak akhir Juli lalu. Ketika itu, selain Irfan dan Kim, hanya Alesandro Trobuco—pemain keturunan Italia—yang datang untuk ikut dalam pertandingan amal di Malang dan Surabaya, awal bulan lalu. Meski penampilan mereka tak sehebat pemain kelas atas di Eropa, pujian mengalir. ”Mereka belum beradaptasi dengan sepak bola Indonesia, dengan kondisi fisik belum fit, tetapi teknik dasar mereka bagus,” kata Jaya Hartono, mantan pelatih Persib Bandung. Menurut Jaya, ketiga pemain itu layak mengikuti seleksi tim nasional Indonesia.

Namun, sebagai pemain berkewarganegaraan asing, khusus untuk Kim dan Trobuco, para pemain ini belum tentu bisa bergabung dengan tim nasional karena Indonesia menganut sistem kewarganegaraan tunggal. ”Untuk memperkuat tim nasional, mereka harus dinaturalisasi. Kalau pemerintah mau dan mereka dipandang layak untuk tim nasional, hal itu bisa terjadi,” kata Widodo Cahyono Putro, asisten pelatih tim nasional Indonesia.

Selain tiga pemain tersebut, banyak pemain keturunan Indonesia di Eropa yang bermain di liga utama di negara-negara Eropa. Yang dianggap paling istimewa adalah Radja Nainggolan, pemain tengah yang kini memperkuat klub Seri A Italia, Cagliari. Radja lahir di Antwerp, Belgia, 4 Mei 1988. Darah Indonesia mengalir dari ayahnya, Marianus Nainggolan. Ibunya, Lizy Bogaerts, warga negara Belgia. Marianus kini menetap di Bali. Ia berpisah dengan istrinya ketika Radja baru berusia enam tahun.

Bagaimanapun, harapan mengajak Radja memperkuat Indonesia punah karena ia sudah terlebih dulu dipanggil oleh tim nasional Belgia, pada Mei tahun lalu. Sebelumnya, ketika ditemui Tempo di Antwerp, Radja menyatakan akan mempertimbangkan untuk memperkuat Indonesia, ”Jika saya tidak dipanggil oleh Belgia,” katanya. Ketika itu Radja belum sekali pun menginjakkan kaki di negeri bapaknya. ”Saya hanya tahu sedikit tentang Indonesia. Indonesia itu panas karena negerinya tropis, dan juga punya banyak laut.”

Melongok sukses naturalisasi di negara lain, PSSI pun ingin mengikuti cara instan ini. ”Naturalisasi ini untuk mengejar target jangka pendek dalam tiga tahun ke depan memantapkan posisi tim nasional. Tapi kami tidak melupakan program jangka panjang untuk para pemain muda. Setelah tiga tahun itu, tim senior akan digabung dengan para pemain muda yang saat ini juga sedang dibangun,” kata Ketua Badan Tim Nasional PSSI Iman Arifin. Ia mengatakan naturalisasi adalah hal yang lazim dalam sepak bola dunia.

Sejumlah negara memang mengandalkan pemain ”impor” untuk mendongkrak prestasi tim nasionalnya. Portugal memberikan kewarganegaraan bagi pemain asal Brasil, Deco, dan Jerman merekrut Gerald Asamoah dari Ghana. Di Asia, Jepang dan Singapura paling rajin melakukan naturalisasi pemain asing. Tapi, ada kekhawatiran, pemain naturalisasi tidak akan bermain sepenuh hati membela negeri barunya. ”Lebih baik mencetak bintang sendiri,” kata mantan pemain tim nasional, Risdianto.

Adek Media, Kukuh S. Wibowo (Sidoarjo), Aris Mustafa

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus