Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

<font size=2 color=#FF0000>Hilde Janssen:</font><br />Pemerintah Indonesia Menganggapnya Aib

30 Agustus 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUARANYA kadang lantang, kadang merendah dan pelan, sewaktu mengingat kembali pertemuannya dengan para perempuan tua itu. Sambil duduk bersila, tangannya ikut bergerak setiap dia berbicara. Mengenakan atasan bermotif lurik serta celana panjang putih, dengan kacamata disampirkan di kepalanya, Hilde Janssen tampaknya begitu larut dengan kisah sedih para perempuan mantan jugun ianfu.

Jurnalis perempuan Belanda itu tinggal di Indonesia sejak 2001. Janssen mengaku sempat dihantui mimpi buruk gara-gara berulang kali mendengar kisah para perempuan itu. Bagaimana awalnya Janssen dan sahabatnya, Jan Banning, memutuskan berkeliling ke pelosok Indonesia mencari mantan jugun ianfu? Berikut ini petikan percakapannya dengan Tempo.

Apa yang mendorong Anda menggali kisah jugun ianfu?

Awalnya, pada 2007, saya menulis artikel di koran Belanda tentang masalah ini. Waktu itu di Belanda masalah jugun ianfu menjadi bahan diskusi. Parlemen Belanda saat itu juga membuat resolusi yang meminta Jepang bertanggung jawab atas apa yang terjadi, terutama bagaimana sikap Jepang dan negara-negara lain, termasuk Indonesia. Karena saya tinggal di Indonesia, koran tempat saya bekerja meminta saya menulis soal sikap pemerintah Indonesia. Dari berbagai informasi yang saya peroleh, ternyata pemerintah Indonesia terkesan tidak mau tahu dengan masalah ini. Masalah ini dianggap aib yang tak perlu lagi dibicarakan. Ini jauh lebih parah dibanding pemerintah Jepang. Paling tidak pemerintah Jepang mengakui bahwa mereka terlibat, walaupun mereka mengatakan gadis-gadis itu masuk prostitusi secara sukarela, dan itu jelas tidak benar.

Anda lalu berinisiatif menggali informasi lebih lanjut?

Pada waktu itu saya merasa sedikit aneh kenapa ini bisa terjadi. Saya lalu mencari informasi dari satu-dua ibu mantan jugun ianfu yang sempat saya temui. Kemudian saya bicara dengan Jan Banning, fotografer yang juga teman dekat saya. Dia pernah membuat buku tentang sejarah tahanan politik Belanda dan Romusha. Waktu itu saya bantu dia meriset. Kami lalu mencoba bertemu para mantan jugun ianfu supaya kami bisa mencatat pengalaman mereka. Persiapan mulai kami lakukan pada pertengahan 2007. Wawancara dan pemotretan dilakukan pada Mei 2008 hingga Juli 2009.

Dari mana Anda memperoleh data tentang jugun ianfu di Indonesia?

Saya menjalin hubungan dengan beberapa organisasi besar di Indonesia yang pernah mengurusi masalah ini, seperti LBH dan KPI. Melalui mereka, saya mencoba mencari tahu keberadaan para jugun ianfu. Tapi ternyata mereka sudah kehilangan kontak dengan jaringan yang dulu mereka bangun di daerah-daerah. Mereka tidak tahu lagi alamat dan siapa saja mantan jugun ianfu itu. Kalaupun bertemu orang yang dulu mendampingi mantan jugun ianfu, mereka menolak membantu dengan alasan sudah bosan atau malu dengan ibu-ibu mantan jugun ianfu itu karena dulu menjanjikan mereka kompensasi uang tapi tidak berhasil. Jadi mereka tidak mau mengganggu lagi. Akhirnya seperti menemukan jalan buntu. Tapi beruntung, ketika sedang di Bukittinggi, saya bertemu dengan dua lelaki bekas Heiho. Ternyata pada 1990-an organisasi eks Heiho sempat membuat registrasi mantan jugun ianfu. Dari situ saya dapat informasi bekas jugun ianfu di Sumatera, Kupang, Jawa Barat, dan sejumlah daerah lain.

Bagaimana cara Anda menggali cerita dari para perempuan itu, mengingat persoalan ini amat sensitif?

Memang tidak mudah. Ada yang menolak dengan alasan terlalu sakit untuk mengingatnya. Ada juga yang tidak mau mengakui. Saya mengandalkan teman-teman yang berperan sebagai kontak saya di daerah untuk meyakinkan mereka bahwa saya serius. Kalau saya langsung masuk kampung-kampung bertanya ke penduduk di sana, pasti tidak dapat jawaban. Lagi pula itu terlalu agresif. Jadi, dibantu kontak-kontak itu, saya mendekati mereka secara pelan-pelan sehingga mereka percaya dan cukup tenang serta berani untuk bicara dengan saya karena mereka jarang bicara dengan orang lain mengenai masalah ini.

Berapa orang yang telah Anda wawancarai?

Saya mewawancarai 50 orang ibu mantan jugun ianfu. Mereka juga bersedia difoto. Tapi Jan sebagai fotografer memilih 18 orang di antaranya untuk mewakili mereka. Pemilihan itu lebih karena alasan seni semata.

Perlu berapa lama sampai mereka terbuka?

Kadang lambat, kadang cepat. Tergantung mereka masing-masing. Ada beberapa orang seperti Emah yang pernah cerita sebelumnya ke pihak lain sehingga jauh lebih gampang. Mereka juga masih hafal banyak hal. Tapi ada orang yang walaupun awalnya bersedia diwawancarai, ketika saya bertanya, mereka tidak bisa. Jadi itu kadang-kadang kita butuh bicara satu-dua jam saja karena tidak ada kesempatan lagi. Kadang perlu tiga-empat kali pertemuan karena banyak informasi yang bisa digali. Itu dilematis buat mereka juga, kadang-kadang mereka ingin mengungkapkan itu semua, karena mungkin ini bisa pesan terakhir, tapi juga mungkin ada harapan bahwa mereka akan mendapat semacam kompensasi untuk anak-cucunya, untuk pemulihan atau tanda hormat. Dengan harapan itu mungkin mereka lebih terbuka bahwa saya dapat membantu mereka. Walaupun saya selalu bilang saya hanya punya pena, saya hanya bisa menulis, saya tidak bisa mengurus kompensasi bagi mereka.

Mereka sempat mengutarakan permintaan itu?

Ya, ada beberapa. Tapi banyak juga yang tidak memikirkan hal itu. Mereka sudah cukup senang karena sejarah dia ditulis sehingga bisa diingat orang dan jadi pelajaran bagi orang, agar peristiwa itu tidak terjadi lagi.

Apa harapan Anda ke depan?

Kami tidak mencari sensasi. Saya mengharap dengan cara ini kisah mereka tercatat sebelum mereka meninggal. Kami ingin mereka juga mendapat tempat, bukan hanya dalam sejarah Indonesia, tapi juga Belanda. Apa yang terjadi dengan mereka bukan keinginan mereka. Mereka sangat menderita. Penderitaan itu tak boleh diabaikan. Generasi muda seharusnya bisa menghormati mereka dan tidak memberikan cap negatif. Selain itu, apa yang terjadi pada mereka dijadikan pelajaran untuk masa depan. Sampai saat ini kekerasan seksual terhadap perempuan dalam konflik masih terjadi.

Nunuy Nurhayati

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus