Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Sang Naga Menanti Laga ke 13

Chris Jhon kembali terbang ke Perth, Australia, pekan depan. Di sana, selama sebulan, The Dragon alias Sang Naga—julukan Chris—berlatih keras untuk menghadapi pertandingan mempertahankan gelarnya yang ke-13, November kelak. Kamis dua pekan lalu, Chris mampir ke Tempo dan mengisahkan sisi lain pengalamannya di ring.

30 Agustus 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ROMOTOR berencana, cedera pula yang menentukan. Dua kali rencana pertarungan Chris John, 30 tahun, melawan Fernando David Saucedo, petinju Argentina, berakhir dengan kegagalan. Pertama kali, pada 22 Mei lalu, di Bali. Namun lonceng pertandingan urung dipukul. Chris mengalami cedera bahu.

Jadwal baru dirancang lagi: 26 Juli, di Jakarta. Eh, gagal maning atau urung juga. Lagi-lagi cedera yang jadi penyebabnya. Kali ini Chris tertimpa cedera pada tulang iga. Saat berlatih tanding dengan Roy Tuamanihuruk, juara nasional kelas ringan, tulang rusuknya retak. Lumayan berat. ”Dokter menyuruh saya istirahat tiga pekan,” katanya.

Setelah masa istirahat, pertengahan Agustus lalu, Chris merasa kondisi tubuhnya membaik. Namun untuk bertanding belumlah fit. ”Baru 80 persen,” katanya. Dengan kondisi seperti itu, dia baru bisa berlatih ringan seperti jogging dan push-up. Dalam perkiraannya, awal September kelak dia sudah bisa terbang ke Perth, Australia, untuk berlatih.

Dengan Saucedo? ”Belum tentu dengan dia,” katanya saat bertandang ke kantor Tempo, Kamis dua pekan silam. Menurut Chris, karena terjadi pengunduran dua kali, bisa saja lawannya sudah punya jadwal berbeda yang diatur promotornya. Jadi belum jelas, Chris akan berhadapan dengan siapa, di mana, dan kapan. ”Namun diperkirakan November nanti akan tanding,” katanya santai.

Memang tak tampak raut khawatir atau stres di muka Chris meski nasibnya belum pasti. Dia tampak percaya benar bahwa promotornya akan mengurusnya dengan baik. Chris, yang sore itu mengenakan kaus warna gelap bertulisan huruf kanji, tampak santai dan banyak berkelakar dengan Tempo selama sekitar satu setengah jam. ”Wah, ini giliran saya yang ’diserang’ bertubi-tubi,” katanya sambil tertawa karena harus gelagapan menjawab aneka pertanyaan kami—yang sering tidak serius.

Chris memang tidak bergaya sok jago. Jika ngobrol santai, mungkin orang lupa betapa menyakitkannya pukulan bertubi-tubi yang dilancarkan Chris. Dia dengan santai menjawab pertanyaan seperti, ”Bagaimana rasanya kalau dipukul bagian selangkangan?” ”Wah, langsung gelap.” Atau, ”Kalau bertinju di ring, bisa menerapkan strategi dengan sadar atau lebih banyak refleks?” Chris menjawab, ”Ya, lebih banyak spontan.”

Meski ”spontan”, enam tahun sudah, sejak merebut gelar pada Oktober 2003 melalui pertandingan melawan Oscar Leon, Chris John masih anteng dengan gelarnya sebagai juara tinju dunia kelas bulu versi WBA. Belum ada petinju yang bisa merebutnya. Prestasi yang luar biasa. Dua petinju kelas dunia yang sempat dimiliki negeri ini, yakni Elly Pical dan Nico Thomas, tak sempat mempertahankan gelar dalam waktu sepanjang itu.

Kehebatannya itulah yang sempat mengundang rasa ingin tahu Tempo. Suatu ketika, Tempo sangat ingin merasakan pukulan petinju yang dijuluki The Dragon alias Sang Naga. Caranya? Dengan menggunakan sarung tinju yang besar, sehingga kekuatan tinjunya sedikit berkurang. Atau yang paling nekat, wajah Tempo dilekatkan di sansak. Biarlah Chris memukuli sepuas hati sansak itu. Efek pukulannya pasti terasa telak di wajah.

Hal itu sempat dikatakan kepadanya, saat dia baru saja mengalahkan Hiroyuki Enoki, dua tahun silam, di apartemennya di kawasan Jakarta Pusat. Chris tak menanggapi permintaan itu. Dia hanya tersenyum. Segurat senyum yang bisa berarti: jangan main-main dengan tinjunya. Dan, pada saat bertandang ke Tempo, dia kembali diingatkan akan ”tantangan” itu. Kali ini dia menjawab tidak. ”Berat, kalau harus memukul wartawan Tempo,” katanya sambil tertawa.

Catatan rekor pertandingannya adalah jawabannya. Selama bertanding 45 kali, dia tidak pernah kalah. Separuhnya dimenanginya dengan knock out alias lawannya tersungkur. Muka Enoki yang lebam, ketika dia meraih Super Champion dua tahun silam, adalah bukti betapa tidak enaknya kepalan Chris bila mendarat di wajah. Jadi rencana Tempo yang ingin menerapkan ”jurnalisme partisipatif”—mencoba bogem Chris—itu untung tak dilayani si empunya tinju.

Chris John adalah sedikit dari atlet Indonesia yang selalu menyenangkan hati penggemarnya. Persis seperti aksi Susi Susanti pada masa jayanya. Pebulu tangkis peraih emas Olimpiade 1992 ini selalu tampil mengesankan dan jarang kalah. Lawannya pun selalu dibuat tunggang-langgang mengejar shuttlecock. Begitu pula Chris. Meski disebut sebagai petinju dengan gaya boxer dan boleh dikata tak memiliki pukulan yang mematikan alias killing punch, penampilannya selalu ciamik.

Tentu semua itu tidak jatuh seketika dari langit. Chris merintisnya sejak usia lima tahun. Kala itu, Djohan Tjahjadi, bapaknya, yang bekas petinju amatir, mengenalkan olahraga gebuk-gebukan ini. Awalnya sederhana saja. Anak keduanya ini tergolong hiperaktif alias tak bisa diam. Karena hanya tinju yang dikuasainya, Djohan pun mengenalkannya kepada anaknya itu.

Di usia remaja, dia terjun ke arena amatir. Chris memulai debutnya dengan cara yang aneh: meninju lawan dengan mata terpejam. Maklum, dia masih demam panggung. Langkah berikutnya, dia mantap dengan tinju.

Meski meraih emas untuk wushu di SEA Games, dia tetap memilih tinju. Pilihan yang tidak keliru. Kariernya meroket. Sewaktu tampil di arena tinju yang diselenggarakan di televisi swasta, Chris selalu mendapat perhatian. Akhirnya, pada 1999, dia pun beroleh gelar juara nasional setelah mengalahkan almarhum Muhammad Alfaridzi, petinju asal Bandung.

Pertandingan itu diingatnya sebagai yang paling berat. Dua kali dia nyusruk mencium kanvas. Meski akhirnya menang, dia babak-belur. Bahkan tulang hidungnya sempat bergeser. ”Saya tidak terlalu merasakan sakit saat diobati. Karena saya antara sadar dan tidak,” katanya sambil mesem.

Chris menyadari, tinju adalah olahraga yang berisiko. Tak terkecuali juara dunia seperti dirinya. Bertarung tiap ronde selama tiga menit kerap membuat kesadaran menguap. Telinga yang berdengung, mata yang sembap, kepala pening akibat terpukul, dan fisik yang letih menjadi sebuah perpaduan yang sangat tidak menyenangkan. ”Pada saat istirahat, sebenarnya perintah pelatih tidak sepenuhnya bisa saya tangkap. Apalagi ketika bertinju, teriakan pelatih di sisi ring sulit ditangkap. Mengerti lima puluh persennya saja sudah bagus,” katanya serius.

Semua itu tak lantas hilang ketika pertandingan usai. Di ruang ganti, tubuh yang letih baru terasa. Kesadaran pun tak langsung pulih. ”Ada teman saya yang juga petinju, saat dia selesai bertanding tiba-tiba bangkit karena dia teringat jemuran pakaiannya yang belum diangkat,” ujar Chris sambil tergelak.

Meski mengaku tak pernah mengalami kejadian separah itu, selepas bertanding dia baru merasakan kesadarannya kembali. Ternyata banyak keindahan yang terlewatkan. Salah satu yang selalu tak tertangkap perhatiannya adalah kemolekan gadis-gadis ring yang membawakan papan ronde. Chris biasanya baru sadar telah kehilangan pemandangan yang memukau jutaan pasang mata penonton, ketika dia melihat rekaman pertandingan. ”Damn, kok waktu bertanding saya tidak melihat mereka,” katanya tergelak.

Namun perjuangannya sepadan dengan yang diperolehnya. Ketenaran dan kekayaan adalah hasilnya. Untuk satu pertandingan, dia bisa mendapatkan bayaran hingga Rp 2 miliar.

Meski begitu, semua itu tidaklah abadi. Dalam hitungannya, paling pol bisa bertarung dalam lima tahun ke depan. ”Bertinju hingga usia 35 tahun pasti berat,” katanya.

Berkaca pada pengalaman para pendahulunya, Chris berupaya mempersiapkan masa depannya dengan baik. Jalan ke sana sudah dia rancang. Bersama Anna Maria Megawati, istrinya yang juga mantan atlet wushu, dia tengah membangun sport center di kawasan Cinde, Semarang. ”Tidak saja untuk wushu, tapi juga olahraga tinju atau karate. Saya punya banyak teman yang bersedia menjadi pelatih,” katanya optimistis.

Jauh sebelum itu, dia sudah memulai beragam bisnis. Membuka rumah kos, membuat merchandise dirinya, dan membuka usaha warung Internet di Semarang. Sayang, katanya, sekarang ini usaha itu sedang melempem. ”Sudah kebanyakan warnet di sana,” kata Chris.

Lalu apa obsesinya? ”Saya sudah sangat senang dengan pencapaian seperti sekarang,” katanya. Konsentrasinya kini adalah menghadapi laganya yang ke-13 dengan kemenangan. Seperti yang sudah-sudah: agar sabuk juara tetap melingkar di perutnya.

Irfan Budiman

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus