HAJAT KONI Pusat untuk mengirim atlit ke Olimpiade Montreal tak
mungkin ditawar lagi. Carolina Riewpassa (atletik), Warino
Lestanto (angkat besi), Leane Suniar dan Donald Djatunar
Pandiangan (panahan), Kristiono Sumono (renang), Syamsul Anwar
Harahap dan Frans von Bronckhorst (tinju) pada tanggal 3 Juli
pekan lalu meninggalkan Tanah Air menuju Montreal. "Untuk
mengharap ketujuh atlit ini mampu menyaingi prestasi dunia
memang agak sukar", tutur Sekjen KONI Pusat, M.F. Siregar. Tapi
"tujuan kita tidak hanya itu. Selain menambah pengalaman buat
mereka, minimal dalam Olimpiade nanti kita harapkan mereka akan
berhasil memperbaiki rekor nasional".
Alasan yang disuguhkan Siregar tak lain mengingatkan orang akan
sikap KONI Daerah yang memperjuangkan kehadiran atlit mereka
dalam partisipasi PON IX di Jakarta tahun depan. Kelihatan ada
kontradiksi akan kebijaksanaan KONI, memang. Sementara di satu
pihak pimpinan KONI Pusat menekankan pada prestasi sebagai
landasan partisipasinya para atlit dalam setiap peristiwa
olahraga besar, di lain pihak kehadiran kontingen Indonesia di
Olimpiade Montreal nampaknya lebih didorong oleh soal
kepantasan. Maklum, Indonesia adalah anggota Komite Olimpiade
Internasional (IOC). Dan tanpa ikutsertanya para atlit,
bisa-bisa Kontingen Indonesia hanya terdiri dari beberapa
pimpinan KONI dan induk-organisasi yang datang ke Montreal untuk
"bertanding" di gelanggang kongres.
Tapi untuk mengharapkan Carolina bisa memecahkan rekor nasional
100 meter pun tidak gampang. Sejak ia meraih perak untuk nomor
100 meter dengan tempo 12 detik pada Kejuaraan Atletik Asia di
Seoul, Juni 1975, nampaknya Carolina sudah mencapai puncaknya.
Ia masih lebih lamban 0,3 deik dari rekor nasionalnya sendiri
yang diciptakan di Jerman Barat menjelang Olimpiade Muenchen
1972. Usianya yang makin lanjut (lahir di Ujung Pandang, 7
Pebruari 1949). Berdasarkan penelitian Coach Jerman Barat, Bert
Sumser, Carolina disarankan untuk pindah ke nomor 400 dan 800
meter. Tapi tampaknya PASI sendiri kurang siap dalam pelaksanaan
pemindahannya. Itulah sebabnya pimpinan PASI Jaya, Amir Lubis,
merasa "saya pun tidak begitu optimis". Untuk mengharapkan
ristiono mempertajam rekor nasional 800 meter dan 1500 meter
mungkin lebih besar. Demikian pula Leane Suniar, Pandiangan di
panahan dan Warino di angkat-besi. Lebih dari itu kita terbentur
pada prestasi dunia yang makin meningkat.
Dalam nomor tinju sesungguhnya masih bisa main spekulasi.
Meskipun licin tidaknya menuju ke babak akhir tergantung pula
pada undian. 4 tahun yang lalu dalam Olimpiade Muenchen seorang
petinju di Kelas Welter Ringan harus menempuh 3 kali babak
penyisihan, sebelum masuk semi final untuk memastikan perunggu.
Adakah Syamsul Anwar mampu melakukan itu? Akan halnya peluang di
Kelas Welter -- kelas di mana Frans VB bertanding -- pada
Olimpiade Muenchen 1972 seorang petinju harus memancang 4
tingkat kwalifikasi sebelum masuk semi-final. Entah dalam
Olimpiade Montreal. Prestasi tinju Indonesia di gelanggang
Olimpiade dalam tahun 70-an ini baru mencatat Ferry Moniaga,
Kelas Bantam, dalam daftar 8 besar. Tapi ia tersisih dalam
penyusunan Kontingen Indonesia. Konon PB Pertina akan menyertai
pula Ferry ke Montreal dengan biaya induk organisasi sendiri.
Membidik target prestasi sebagai pertimbangan pengiriman atlit
ke Olimpiade ke-21 ini memang rapuh. Lebih tepat mengarahkan
penyertaan mereka berdasarkan kwalifikasi mereka sebagai atlit
secara keseluruhan. Dengan harapan sepulang mereka dari
Montreal, pengalaman makin bertambah dan mereka bisa menjadi
pembina yang baik di kemudian hari.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini