Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Keesaan gereja, atau keesaan kristen?

Pendapat john titaley, dewan mahasiswa universitas kristen satya wacana, tentang oikumene ala dgi yang berarti usaha mempersatukan gereja-gereja di indonesia menjadi satu gereja saja (keesaan).

10 Juli 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Suara lapisan muda, juga yang tidak langsung duduk dalam kepengumsan DGI atau badan-badan kerjasama DGI, menarik juga dikemukakan. Paling tidak sebagai umpan-balik yang datang dari anggota jemaat yarg justru menjadi obyek pembicaraan dalam 'MPR' DGI ini. Berikt ini pendapat John Titaley, ketua Dewan Mahasiswa Universitas/IKIP Kristen Satya Wacana. Mahasiswa Teologia ini menulisnya khusus sehubungan dengan sidang raya. OIKUMENISME, ternyata suatu konsep yang tidak terlalu mudah dipahami. Pengetahuan orang tentang DGI -- dan ini, selain pada sebagian jemaat, juga pada banyak mahasiswa Kristen -- terbatas pada DGI sebagai "wadah" umat Kristen di Indonesia, yang selalu menawarkan bea-siswa bagi yang sempat memenuhi "prosedur" tertentu. Lebih jauh pengetahuan itu hanya terbatas pada pengertian kasar, bahwa oikumenisme ala DGI tak lain berarti usaha mempersatukan gereja-gereja yang ada di Indonesia menjadi satu Gereja saja. Itulah Gereja yang Esa. Nampaklah betapa kurangnya informasi bagi warga gereja, apalagi bagi jemaat yang tinggal jauh dari Jakarta. Perlu Dihapus? Oikumenisme adalah gerakan keesaan. Hanya ada satu, tidak ada lain lagi. 'Keesaan" dibedakan dari 'kesatuan' dalam arti "menjadi satu". Istilah 'Gereja' pun dibedakan sedikit dari 'Kristen', karena gereja terlalu banyak mengesankan kepelbagaian dari segi lokal, rasial maupun denominasional. Gereja terlalu berat konotasi sosialnya walaupun kata Gereja itu sendiri adalah kata teologia (= kumpulan jemaat). Sedang istilah Kristen di sini, dipakai dalam pengertian pengikut Kristus, memberi kesan sikap kepercayaan. Menjadi pengikut Kristus di berbagai tempat membawa konsekwensi macam-macam. Adanya perbedaan cara dan pola dari tiap-tiap kelompok, harus diterima dengan hati terbuka. Namun sejauh itu harus pula dijaga prinsip-prinsip serta nilai-nilai Kristen sendiri. Tanpa itu akan timbul pengertian yang berbeda-beda. Prinsip-prinsip serta nilai-nilai Kristen yang universi ini memang dapal diterapkan pada setiap bangsa --- dengan akibat adanya perbedaan ekspresi sesuai dengan latar-belakang kebudayaan setempat, dan itu harus diterima juga. Kepelbagaian inilah yang mengakibatkan orang-orang Kristen yang menyatu dalam gereja- gereja itu, kelihatan berbeda. Kalau "perbedaan-perbedaan" ini harus dihapus dan disatukan, sulit juga. Lagi pula apakah perlu? Untuk apa? Tidak ada hal yang lebih perlu dari pengakuan gereja-gereja terhadap Yesus. Keesaan Sudah Ada Dr Francis Schaefer, dalam The Mark of the Christian, mengutip perkataan Yesus bahwa :hanya kalau murid-murid itu saling mengasihi barulah dunia tahu mereka itu murid Tuhan Yesus. Tindak saling-kasih ini dikatakannya merupakan tanda orang Kristen. Inilah yang selama ini kurang mendapat perhatian baik antar gereja maupun di dalam gereja sendiri. Gereja-gereja terlalu sering memperhatikan dirinya sendiri sehingga kurang memberi perhatian terhadap gereja atau orang Kristen lain. Apalagi di Indonesia ini, yang terlalu dimanjakan oleh bantuan rekan-rekan Kristennya di luar negeri -- seolah-olah gereja-gereja di Indonesia sendiri tidak sanggup saling beri. Mengapa mereka tidak menempatkan solidaritas ini sebagai satu sasaran kerja? Kalau semua gereja sadar bahwa sebenarnya tidak ada perbedaan prinsipiil di antara gereja-gereja -- yang berarti keesaan Kristen sudah ada -- mengapa gereja-gereja masih perlu di-esakan? Menyatukan gereja-gereja hanya membuang banyak energi untuk hal yang tidak prinsipiil. Selain tidak perlu, juga tidak akan tercapai karena pengaruh latar belakang budaya gereja setempat. Keterbukaan terhadap kebudayaan daerah malah baik dipakai sebagai bahan yang dapat membantu dalam memikirkan keesaan gereja. Motivasi Baru Lalu kalau keesaan Gereja tidak perlu lagi diusahakan, apakah gerakan oikumenisme juga tidak perlu? Keesaan Kristen memang telah ada. Hanya satu yang belum tercapai, yaitu tindak saling kasih itu. Tentu untuk mengatur pelaksanaan ini secara oikumenis dibutuhkan suatu lembaga. Dan lembaga semacam itu telah ada dalam diri DGI, dengan segala usaha kerjasamanya. Kalau demikian, apa bedanya DGI sekarang dengan lembaga baru yang dicita-citakan itu? Hal pertama yang perlu dikembangkan adalah motivasi. DGI, dalam bentuknya seperti sekarang, terlalu luas cakupannya karena berusaha menciptakan satu gereja yang esa di Indonesia dengan satu pengakuan dan satu tata-gereja -- sambil menjadi satu-satunya badan penyalur bantuan asing bagi gereja-gereja di Indonesia. Sedang badan baru yang dicita-citakan itu semata-mata hanya mengurus bagaimana kerjasama yang merupakan perwujudan tindak saling kasih itu diatur. Dengan demikian motivasi DGI harus diubah. Tidak lagi berusaha menciptakan kesatuan gereja, sehingga segala dana dan daya dikerahkan untuk itu sebab "DGI baru" itu semata-mata hanya berangkat dari titik-tolak bahwa keesaan sudah tercapai. Tinggal bagaimana menampakkannya harus terlebih dahulu 'bertobat' dan mengaku salah di depan jemaat. Banyak gereja hanya dapat mengawinkan anggota-anggota resmi dari gereja itu sendiri. Bahkan sudah dalam tahun-tahun 'oikumene' sekarang ini, masih ada gereja yang tidak mau ikut dan melaksanakan doa bersama kalau anggota sebuah gereja 'musuh' ikut serta". Dan memang, masalahnya memang tidak tinggal bahan renungan saja. Sudah bertahun-tahun yang silam orang-orang Kristen dari Indonesia Timur (Ambon, Trmor, Minahasa) membentuk jemaat GPIB (Gereja Proestan Indonesia bagian Barat) di luar kampung halamannya. Di sana mreka bergaul dan membuka pintu dengan saudara-saudara seiman dari suku-suku lain, antara lain karena perkawinan dan pekerjaan. Juga orang-orang Kristen Tionghoa, yang dulu tergabung dalam gereja Kie Thok Kauw Hwee, sesudah kemerdekaan mengganti nama gerejanya menjadi GKI (Gereja Kristen Indonesia) dan membuka pintu bagi orang-orang Kristen pribumi. Dan sementara ini, gereja-gereja Kristen di Sulawesi Utara berusaha meningkatkan kegiatan-kegiatan bersama mereka ke tingkat pembentukan Sinode Am (Sinode Bersama). Juga di Lampung, perantau-perantau Kristen yang jauh dari kampung halaman dan sinode asalnya, sedang menjajaki pembentukan Gereja Lampung yang Esa. Sementara di Kalimantan kerjasama antar DGW keempat propinsi itu makin menjadi kenyataan. Gereja Kristen Evangelis pimpinan pendeta Kitting malah sudah melangkah begitu jauh dengan melarang orang-orang Dayak yang merantau membentuk cabang GKE di luar Kalimantan. Padahal gereja Balak HKBP dan GPIB masih tetap mempetahankan ke-sendiri-an mereka dengan membentuk cabang-cabangnya di Kalimantan. Ini terang bukan pekerjaan mudah. Sebab tradisi dakwah Kristen yang dibawa orang-orang Barat puluhan tahun yang lalu, secara tidak sadar sudah mendirikan tembok-tembok yang sukar dijebol sesudah proklamasi kemerdekaan. Juga politik "kerukunan agama" zaman Belanda, yang tidak menginginkan benturan-benturan antara pelbagai mazhab Kristen itu, telah mempertebal tembok itu dengan membatasi "konsesi dakwah" dalam daerah-daerah yang saling terpisah. Dan berabenya lagi, sampai hari ini bibit-bibit perpecahan secara teratur masih melahirkan gereja-gereja baru. Bibit-bibit perpecahan, yang hanya sebagian kecil berbau 'teologis' dan lebih banyak merupakan soal-soal teknis organisatoris dan pamrih pribadi (TEMPO, 24 April 1971). Tapi mungkin kecenderungan berpecah-belah itukah yang makin mempertebal semangat bersatu, yang tidak selalu dalam akarnya itu?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus