TAK ada teroris, tak ada demonstran, tapi Gedung DPRD Sulawesi Tenggara dijaga ketat aparat keamanan Selasa pekan lalu. Ada 18 tentara bersenjata berjaga-jaga. Malah, menurut beberapa saksi mata, selain yang berpakaian dinas, masih hadir beberapa anggota ABRI berpakaian preman. "Saya nilai ini tak pantas. Untuk apa personel ABRI harus datang di sidang DPRD," kataBrigadir Jenderal (Purnawirawan) Madjied Joenoes, ketua Golkar Sulawesi Tenggara. Padahal, yang terjadi di sana hari itu cuma sebuah sidang pleno untuk membicarakan rancangan tata tertib pemilihan ketua DPRD setempat, yang biasanya -- menurut tradisi Orde Baru -- berjalan singkat, lancar, dan aman.Tinggal mendengarkan ketokan palu ketua, lalu para anggota pun berteriak, "Setujuuu . . .." Kalau begitu, untuk apa tentara? "Bukan untuk mengawasi sidang atau untuk menakut-nakuti anggota dewan," ujar ketua fraksi ABRI setempat, BrigadirJenderal Soedjatmiko. Menurut Soedjatmiko, yang juga wakil gubernur Sulawesi Tenggara itu, pihak ABRI mendapat informasi bahwa pada hari itu akan ada orangyang berdemonstrasi ke DPRD, sehingga dikhawatirkan akan mengganggu sidang DPRD. Ternyata, demonstrasi yang dimaksudkan tak pernah ada, tapi sidang DPRD betul-betul tak lancar. Tak satu keputusan pun bisa ditelurkan. Karena soalnya justru muncul dari kalangan DPRD sendiri: Fraksi Karya Pembangunan (FKP) dan Fraksi ABRI (FABRI) tak bisa mufakat dalam menentukan siapa yang bakal menjadiketua DPRD di provinsi itu. FKP ingin orang mereka, Madjied Joenoes, yang menjadi ketua, sedangkan FABRI menginginkan jabatan itu di tangan mereka. Jagofraksi ini adalah Soedjatmiko tadi. Biasanya pertikaian seperti ini terjadi antara fraksi partai politik dan Golkar (didukung FABRI). Pemenangnya bisa ditebak, selalu fraksi partai Pemerintah itu. Karena kali ini yang berhadapan adalah kedua fraksi Pemerintah itu, siapa yang menang, belum jelas sampai pekan ini. Sementara itu, di berbagai pelosok Kota Kendari, sejak pekan lalu, bertebaran ribuan selebaran gelap yang isinya menghantam Gubernur Alala dan Madjied Joenoes, Ketua DPRD dan Ketua DPD Golkar Sulawesi Tenggara. Selebaran itu -- kalau dulu selebaran seperti ini selalu dituduh dilakukan kaum ekstrem kiri atau kanan -- menuduh Alala sebagai dalang yang mengendalikan Madjied Joenoes. "Dewan adalah wakil rakyat untuk rakyat. Bukan wakil rakyat untuk kepentingan Alala," begitu bunyi salah satu selebaran. Tak begitu jelas, kepentingan apa. Alala sendiri, yang disebut-sebut sebagai salah satu calon ketua Fraksi Utusan Daerah dalam Sidang Umum MPR yang akandatang, akan mengakhiri jabatannya sebagai gubernur tahun ini. Ia tak mungkin dipilih lagi karena telah menjadi gubernur selama dua kali masa jabatan. Kubu Alala sebenarnya sudah terpojok karena Oetojo Oesman, salah satu ketua pimpinan pusat Golkar, tak memihak mereka. Dalam teleks yang dikirimkannya keGolkar Sulawesi Tenggara, 27 Juli yang lalu, Oetojo memerintahkan agar Golkar memilih Soedjatmiko. Belum cukup, Oetojo datang sendiri ke Kendari, menemuipimpinan FKP, FABRI, dan Alala, untuk mempertegas sikapnya. Namun, Alala dan kelompoknya bertahan. Sang Gubernur menuduh teleks bertandatangan Oetojo Oesman itu bertentangan dengan sikap DPP Golkar. Yang bener saja. Masa, keputusan pimpinan Golkar harus tunduk pada keinginan seorang pengurus," kata Alala kepada Waspada Santing dari TEMPO. Yang dimaksud Alala adalah surat pimpinan pusat Golkar yang ditandatangani Ketua Umum Wahono dan Sekretaris Jenderal Rachmat Witoelar, 9 Juli 1992. Isinya, bila di suatu daerah suara Golkar dalam Pemilu lebih besar atauminimal 50 persen dari perolehan suara, ketua DPRD setempat harus diusahakan dari FKP. Bila perolehan itu di bawah 50 persen, barulah ketua diberikan untukFraksi ABRI. "Nah, di sini Golkar meraih hampir 95 persen dari jumlah suara," kata Alala. Sementara itu, Soedjatmiko juga tak mau mundur. "Saya ini prajurit. Apa yang diperintahkan pimpinan ABRI, itu yang saya laksanakan," katanya. "Sebetulnya kami cukup sedih berhadap-hadapan seperti ini, tapi kami tak punya alternatif lain. Kecuali ada perintah lain dari pimpinan ABRI," kata Kolonel Abdullah Jaman, ketua harian Fraksi ABRI di DPRD itu. Karena mereka samasama ngotot, sidang-sidang pun macet. Misalnya sidang pleno DPRD Kamis pekan lalu hanya dihadiri 34 anggota dari Golkar, fraksi lain memboikot. DPRD Sulawesi Tenggara memiliki 45 anggota. Selain 34 dari FKP, ada 9 anggota FABRI. Fraksi PDI dan Persatuan, masing-masing punya satu anggota. Sebenarnya, dengan 34 anggota FKP tadi, sidang sudah mencapai kuorum, karena sudah lebih dari dua pertiga jumlah anggota. Artinya, bila FKP memaksakanpemilihan ketua DPRD dengan cara pengambilan suara, mereka akan menang. Tapi ada tata tertib DPRD yang menyebutkan bahwa hal itu baru dianggap sah bilaseorang calon didukung minimal dua fraksi. Soal itu tampaknya dimaklumi benar oleh FABRI. Karena itu, mereka menggaet dua fraksi partai politik, PPP dan PDI, dan bersama-sama memboikot sidang tadi. Oetojo Oesman, pimpinan pusat Golkar itu, menyesalkan sikap Alala dan FKP di sana. Ia membenarkan surat DPP Golkar tadi, tapi katanya itu harus dilaksanakan dengan memperhatikan situasi dan kondisi daerah setempat."Ketentuan itu bisa saja dimusyawarahkan. Kalau tak cocok juga, kan bisa dibicarakan di Jakarta. Nggak usah kenceng-kenceng, lah," kata Oetojo. Agus Basri (Jakarta) dan W. Santing (Kendari)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini