Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Kisah Tinta yang Mudah Pupus

Kasus tinta pemilu yang mudah luntur kini ditangani polisi. Kata polisi, ini kasus pidana murni.

12 Juli 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BEBERAPA staf Panitia Pengawas Pemilu DKI Jakarta sedang memelototi ratusan orang yang tiba-tiba hendak mencoblos di tempat pemungutan suara (TPS) 11 di Kwitang, Jakarta Pusat, Senin siang lalu. Mereka datang dari Bogor untuk mencoblos di Jakarta. Staf pengawas itu juga menjumpai ketidakberesan tinta penanda untuk orang yang usai mencoblos, yang encer dan mudah dihapus. Temuan ini pun cepat menyebar dan membuat Jakarta gempar. "Tinta itu mudah dihapus, langsung hilang tak berbekas," kata Indah Nataprawira, anggota Panitia Pengawas Pemilu Jakarta.

Ternyata kasus serupa tak hanya terjadi di Jakarta. Ada tiga kota di Pulau Jawa yang mengeluhkan kualitas tinta yang cepat lenyap dari jari dan kuku tangan: Bekasi dan Bandung di Jawa Barat, serta Semarang di Jawa Tengah. Didik Supriyanto, anggota Panitia Pengawas Pemilu Pusat, di tempatnya mencoblos di Pondok Bambu, Jakarta Timur, juga terheran-heran. Berbeda dengan tinta penanda pada pemilu legislatif lalu, tinta yang melaburi ujung jarinya kini mudah pupus. "Padahal saya tidak berusaha menghilangkan. Tapi kok hilang sendiri," kata mantan Ketua Aliansi Jurnalis Independen Jakarta itu.

Walaupun belum ada laporan kecurangan karena pemalsuan tinta pemilu, Komisi Pemilihan Umum Provinsi Jakarta segera beraksi. Beberapa sampel tinta bermasalah diambil dari TPS untuk diteliti. Juri Ardiyantoro, Ketua Divisi Sosialisasi dan Informasi KPU Jakarta, mengaku sudah mengirim sampel tersebut ke KPU Pusat dan Polda Metro Jaya. "Polda meminta kami menyerahkan sampel tinta," ujarnya.

Kini polisi sedang mengumpulkan bukti-bukti ada-tidaknya pelanggaran hukum dalam kasus tinta encer tersebut. Kapolda Metro Jaya, Inspektur Jenderal Makbul Padmanagara, menyebut kasus tinta itu sebagai tindak pidana biasa, bukan pelanggaran pemilu. Karena itulah para detektif tengah gencar menyelidik. "Kami sedang mengumpulkan bukti-bukti," kata Komisaris Besar Prasetyo, juru bicara Polda Metro Jaya.

Penyelidikan diarahkan ke KPU dan ke empat perusahaan pemasok tinta, PT Print Color, PT Cipta Tora Utama, PT Asgarindo Utama, dan PT Benda Utama. Keempat perusahaan ini pemenang tender pengadaan tinta pemilu presiden senilai hampir Rp 12 miliar untuk 600 ribu TPS di seluruh Indonesia. Perusahaan-perusahaan tersebut sebelumnya juga memenangi tender pengadaan kebutuhan pemilu legislatif senilai Rp 40 miliar.

Menurut Valina Singka Subekti, Ketua Panitia Pengadaan Tinta Pemilihan Presiden, KPU memang menurunkan kualitas tinta, katanya, sesuai dengan rapat pleno KPU. Dibandingkan dengan tinta untuk pemilihan anggota DPR yang harus diimpor dari India, tinta buatan lokal ini memang encer. Apalagi merupakan bahan pewarna ekstrak tumbuhan yang aman bagi kesehatan. Valina menyebutkan, seharusnya tinta itu tahan satu sampai tiga hari di jari tangan jika penggunaannya benar dan tidak dicampur dengan air. "Ini kasuistis dan lebih karena faktor psikologis yang membandingkan tinta sekarang dengan tinta sebelumnya yang lebih pekat," tuturnya.

Dedi Gandikusuma, Direktur PT Asgarindo Utama, yang memasok tinta pemilu untuk wilayah Jakarta, pun menyebut banyak kasus penggunaan tinta yang tidak sesuai dengan petunjuk. "Saya lihat di televisi, begitu jari diolesi tinta, langsung diusap tisu. Seharusnya dibiarkan dulu meresap," tuturnya. Dedi tak keberatan jika polisi menyidik kasus tinta encer tersebut. "Kami terbuka. Itu lebih baik agar masalah ini menjadi clear," ia menambahkan.

Sampai saat ini polisi memang belum punya kesimpulan akhir soal ada-tidaknya pelanggaran pidana. Namun, proyek pengadaan barang pemilu memang sering menjadi runyam dan berbau tak sedap. Bahkan baru-baru ini Pengadilan Jakarta Pusat menjatuhkan vonis bersalah atas Bambang Mintoko dan Ny. Clara Sitompul, dua anggota KPU Pusat untuk Pemilu 1999, yang diduga mengkorupsi pengadaan bendera pada pemilu pertama era reformasi itu.

Edy Budiyarso, TNR

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus