Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Mereka bukan pesulap

Kondisi persepakbolaan di indonesia parah. banyak pelatih asing bekerja tanpa target. beberapa cabang dilatih orang asing : bulu tangkis, tenis, tinju, angkat besi dan bowling.

17 November 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BEGITU parahkah persepakbolaan di Indonesia? Jawabnya, tak ada lain dari ya. Lihat saja, tim PSSI Yunior -- usia di bawah 19 tahun -- harus menjadi juru kunci grup dalam Kejuaraan Yunior Asia yang berakhir pekan ini di Jakarta. Digasak Qatar 1-2. dibantai Korea Utara 1-5, terakhir kalah lagi lawan India 1-2. Padahal, tim ini dilatih Joseph Masopust, pelatih asal Ceko-Slovakia. Ia adalah pemain nasional Ceko di Piala Dunia 1958 dan 1962 serta pemain terbaik Eropa 1962. Mestinya, kemampuan Masopust tak diragukan. Karena itu, banyak yang mempertanyakan, apa sih yang sudah diperbuat pelatihpelatih asing di sini. Sejauh mana mereka sudah menunjukkan hasil? Pengamat bola Eddy Sofyan, misalnya, mengatakan, kalau di peringkat menengah prestasi itu tak ada padahal sudah dilatih pelatih impor, ini bisa berbahaya. Kalau kegagalan itu di tingkat atas, masih bisa dimaklumi. Cabang sepak bola memang paling banyak memanfaatkan pelatih asing. Tim nasional PSSI senior kini ditangani Polosin dan Urin dari Uni Soviet. Selain di tim nasional, baik senior maupun yunior, pelatih asing ada pula di klub Galatama dan Perserikatan. Marek Janota asal Polandia kini melatih klub Djarum Super, Paul Cumming menangani Perseman Manokwari -- dan kabarnya menikah dengan orang Indonesia. Kemudian ada enam pelatih asing yang dipimpin Prof. Manuel Neto, yang menangani Summa FC di Dili. Ada lagi Shalemir, yang kini penasihat pelatih di klub Pelita Jaya. Bahkan PSP Padang pun kini dilatih Adolf Remy asal Jerman. Belum lagi pelatih "kaget-kagetan". Misalnya Celco Roth, yang sempat menangani PSSI usia di bawah 16 tahun di Vichy, Prancis, selama sebulan. Roth ketika itu baru selesai masa kontraknya dengan salah satu tim di Qatar. Ia bertemu rombongan PSSI di Prancis dan langsung setuju "dibajak" untuk melatih tim PSSI selama sebulan. Hasilnya, tim ini menduduki tempat keempat di Kejuaraan Asia di Dubai belum lama ini, dan gagal meraih tiket ke kejuaraan dunia yunior. Apakah pelatih-pelatih asing itu gagal? Sekretaris Umum PSSI Nugraha Besoes berkata, sepak bola bukan ilmu sulap. Dan pelatih-pelatih itu pun bukan pesulap yang bisa meningkatkan prestasi dalam sehari, misalnya. Kesimpulannya: perlu waktu. Ternyata, pelatih asing itu kebanyakan bekerja tanpa target untuk suatu kejuaraan tertentu. Joseph Masopust, 59 tahun, misalnya, mengakui hal itu. Itu sebabnya ia memilih Indonesia dibanding tawaran sebuah klub di Jerman. Di sini ia bisa lebih longgar dari tuntutan untuk selalu menang seperti di klub-klub anggota Bundesliga, kompetisi Jerman (Barat). "Di sana harus terus menang. Kalau kalah, pelatih ditendang," ujar pelatih berbadan tegap yang tingginya hampir 190 cm ini, agak berseloroh. Enaknya lagi, kata Masopust, di Indonesia selama masa kontrak berlangsung, soal kalah dan menang hampir tak jadi urusan. "Yang penting kualitas pemain saya meningkat," ujar pelatih yang sudah dua setengah tahun berada di Indonesia ini. Dengan gaji US$ 2.000 sebulan, Masopust kini menangani PSSI Garuda dan PSSI Yunior. Ia dikontrakkan rumah di kawasan Lebak Bulus, Jakarta Selatan. Di rumah yang cukup nyaman itu, Masopust tinggal bersama istri dan dua temannya dari Ceko. Ia juga diberi sebuah mobil. Pelatih PSSI senior Anatoly Polosin, 55 tahun, tinggal di kawasan elite Pondok Indah, Jakarta Selatan. Rumah seluas 350 meter persegi itu kelihatan apik, dengan rumput manila dan kolam ikan di halaman belakang. Polosin, yang pernah main di tim nasional Soviet, tinggal bersama istrinya, Ella. "Saya sangat suka negara ini," ujar pelatih yang beberapa kali menangani klub divisi I dan II Soviet ini. Polosin dan rekannya, Urin -- bekas pemain klub Torpedo Moskow -- dikontrak selama dua tahun dengan bayaran US$ 4.000 sebulan untuk berdua. Yang paling lama di sini adalah Marek Janota, 53 tahun. Salah satu pelatih tim nasional Polandia di Piala Dunia 1974 ini "mendarat" di Indonesia pada 1977, selepas menangani tim nasional Polandia di bawah 21 tahun. Awalnya, Janota melatih Persija Jakarta, dan pada 1979 mengantar Persija menjuarai Divisi Utama Perserikatan. Kemudian, Janota membawa tim nasional Indonesia ke Japan Cup 1979 di Tokyo. Hasilnya, PSSI hancur lebur. Maklum, lawannya adalah Tottenham Hotspur, yang masih diperkuat bintang Argentina Osvaldo Ardiles dan Ricardo Vila, dan klub divisi satu Italia, Fiorentina, yang membawa pemain nasional Antonioni. Marek Janota sebenarnya ingin pulang ketika itu. Tapi Solihin G.P. memintanya untuk melatih Persib Bandung. Hasilnya dua kali Persib menjadi juara Divisi Utama Perserikatan. Dari Bandung, Janota melatih Indonesia Muda Galatama, kemudian meloncat melatih PS Bengkulu. Pada bulan Desember 1987 kontraknya habis, dan ia siap-siap pulang ke Polandia. Namun, di Bandara Soekarno Hatta, Janota ketemu pelatih tim nasional Berce Matulapelwa, yang mengajaknya melatih di sebuah perusahaan perkebunan di Gresik. Ia bersedia. Malahan ia juga melatih Persegres Gresik. Dia punya peran penting untuk kelahiran klub Galatama Petrokimia Putra. Sejak April lalu, Janota kembali ke Bandung, melatih klub Djarum Super. Selain mendapat rumah di real estate Kopo Permai, Marek Janota juga diberi sebuah mobil. Pelatih asing tak cuma dikenal di sepak bola. Di cabang bulu tangkis sudah lama ada Tong Sin Fu, yang malah sudah ganti nama menjadi Fuad Nurhadi. Di cabang angkat besi ada Huang Qiang Hiu dan Huang Quan Chi (asal RRC), di bowling ada Chris Batson (Australia), dan di tinju ada Helmut Kruger (Jerman). Cabang tenis, yang menyumbang dua emas di Asian Games Beijing, punya banyak pelatih asing. Pada 1986, ada Greg Lamley, kemudian disusul Kevin Mullins. Sekarang ada Peter Platzer (Austria), yang menangani tim putra, dan Suresh Menon (Malaysia), yang menangani tim putri. Bahkan Yayuk Basuki, yang bergabung dalam klub Pelita Jaya, kini punya pelatih khusus, Jiri Walters. Suresh Menon, 29 tahun, yang tergabung dalam wadah pelatih dunia, Peter Burwash International, sekarang menjadi pelatih tim nasional di Indonesia. "Inilah yang saya idam-idamkan," ujar Menon, yang datang ke Indonesia pada 1988 untuk melatih klub Nugra Santana. Kabarnya, ia digaji sekitar US$ 3.000 sebulan, dan mendapat sebuah kamar di Hotel Hilton dari Ponco Sutowo, pemilik Hilton dan klub Nugra Santana. Mobil pun selalu disiapkan. "Tapi saya sering stres, sekali kalah, penonton mencemooh," ujar lulusan Universitas Idaho, AS, yang pernah melatih di Karibia ini. Jiri Walters, 41 tahun, dikontrakkan sebuah rumah di kawasan Kebayoran Baru oleh Pelita Jaya, klub Yayuk Basuki. Walters, yang dipanggil George oleh Yayuk ini, sebulannya dibayar US$ 2.000. "Setelah saya tangani, Yayuk naik dari peringkat 289 ke 220 dunia," ujar Walters. Hampir semua pelatih asing ini, kalau ditanya kelemahan olahraga Indonesia, menjawab: pembinaan pemain muda terlambat dan teknik dasar lemah. Toriq Hadad dan Iwan Qodar Himawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus