SEJUMLAH artis berseliweran di pentas. Mereka berjingkrak, meloncat, berlarian serba tak keruan sambil mengumandangkan kor yang sedikit kacau. Itulah salah satu nomor "gerak dan lagu" yang mengisi pesta artis film di Balai Sidang Senayan, Jakarta, Ahad lalu. Dengan penata gerak Rudy Wowor dan penata musik Arthur Kaunang, tontonan di malam pengumuman pemenang Piala Citra Festival Film Indonesia ini diberi judul Hutan Belantara Perfilman Indonesia. Hutan belantara? Memang, dunia film di Indonesia tak ubahnya seperti itu. Serba gelap, serba tak menentu, berbagai persoalan tak pernah bisa dibuat terang. Produksi memang naik setiap tahun, tetapi jumlah film yang ketengan semakin banyak. Dalam catatan seorang produser, 60 persen film yang diproduksi dari jenis ini, entah itu disebut film ketengan, film kacang, atau film sampah. Sisanya, 30 persen, film standar baik tidak, buruk pun tidak -- sementara hanya 10 persen film yang tergolong "ada mutunya". Rosihan Anwar, juri langganan FFI, kali ini pun berujar bahwa film nasional hanya merupakan kerja rutin yang mengulang dari itu ke itu saja. Pokoknya, tak ada peningkatan mutu, sebuah ucapan yang rasanya sudah diulang-ulang Rosihan setiap tahun. Nah, di tengah belantara ini piala Citra toh harus dibagi-bagikan. Taksi karya Arifin C. Noer memboyong enam piala. Lidya Kandou boleh bersedih ketika namanya tidak dipanggil sebagai yang terbaik sementara moncong kamera puluhan wartawan foto mengarah ke wajahnya. Yang dipanggil ke panggung untuk menerima Citra sebagai artis terbaik adalah Meriam Bellina. Ia tak hadir di Balai Sidang, ia mendekam di rumahnya, konon pilek. Ia diwakili Ita Mustafa. Namun, Lidya tak perlu bersedih. Ia sudah bermain bagus dalam Cas Cis Cus. Nyonya Jamal Mirdad yang sudah bermain dalam 60 film itu pas betul sebagai menantu yang harus menghadapi mertua nyentrik. Bahwa kali ini Lidya kalah, "Meriam itu diuntungkan oleh skenario Taksi yang baik dan utuh," kata Salim Said, salah satu juri. Meriam Bellina adalah pemain yang berusaha total di setiap filmnya. Entah itu film komedi seperti Koboi Sutra Ungu, film legenda semacam Roro Mendut, hingga film remaja yang pamer kemewahan seperti Catatan si Boy. Akting Meriam dalam Taksi mengingatkan pada aktingnya di film Cinta di Balik Noda ketika ia berhasil memperoleh Citra yang pertama, juga sebagai pemeran wanita terbaik. Arifin sendiri memboyong dua piala Citra dari Taksi -- sebagai penulis skenario dan sutradara terbaik. Taksi juga mendapat piala Citra untuk Pemeran Utama Pria atas nama Rano Karno, Penyunting Gambar untuk Karsono Hadi, dan akhirnya satu lagi sebagai Film Terbaik 1990. Sebagai penulis skenario, Arifin sudah pernah meraih Citra dalam film Rio Anakku (1974), Melawan Badai (1975), dan Pengkhianatan G30S-PKI (1984). Untuk sutradara ini adalah Citra yang kedua setelah Serangan Fajar (1981). Apa keistimewaan Taksi? "Film ini terasa paling utuh," kata Salim Said. Maksudnya, jika dibandingkan dengan unggulan lainnya: Langitku Rumahku, Cas Cis Cus, Sesaat dalam Pelukan, dan Joe Turun ke Desa. Akan halnya Langitku Rumahku, "Pada bagian pertama film itu, di mana kedua anak baru bersahabat, itu bagus. Tapi ketika mereka pergi berdua ke Jawa Timur, agak kedodoran," kritik Salim. Menurut Salim, tokoh Andri, si anak kaya, kurang kelihatan mengalami problem ketika harus ikut mengarungi kehidupan yang begitu berbeda dengan kawannya yang miskin. Namun, Langitku lebih mempunyai kekuatan visual dibanding Taksi yang bertumpu pada dialog (lihat Tokoh-Tokoh yang Mencari Diri). Banyak adegan Langitku (ketika Andri memandangi burung-burung dara dari balik jendela, misalnya) yang diekspresikan dengan bahasa film yang baik. Nyatanya, film ini meraih Citra untuk Fotografi (Soetomo Gandasoebrata) dan Penata Artistik (Satari S.K.). Slamet sendiri tak meraih apa-apa, tetapi keponakannya yakni Banyubiru (anak Eros Djarot yang memerankan Andri) mendapat piala Kartini untuk Pemeran Anak Pria Terbaik. Rano Karno, seperti yang ditebak banyak orang, meraih Citra setelah enam kali dijadikan nominator. Anak almarhum Soekarno M. Noor yang pernah mendapatkan gelar Aktor Cilik Terbaik dalam Rio Anakku ini sempat tegang dan akhirnya menangis terharu. Sedang Ayu Azhari dan Rahman Arge untuk pertama kalinya mendapatkan Citra untuk Pemeran Pembantu Terbaik. Ayu mendapat dalam film Dua Kekasih dan Rahman dalam Jangan Renggut Cintaku. Film Jangan Renggut ini beruntung pula mendapat satu Citra lagi dalam bidang Penata Musik atas nama Areng Widodo, padahal ia bukan film unggulan. Sementara film unggulan seperti Cas Cis Cus, Sesaat Dalam Pelukan dan Joe Turun ke Desa tak satu pun meraih Piala Citra. Usailah hura-hura insan film itu. Piala Citra, kebanggaan dan prestise orang film itu, sudah dibagikan. Namun, film Indonesia tidak terselesaikan oleh piala Citra. Soal peredaran yang konon ada mengandung monopoli, selera yang didiktekan produser, dan entah apa lagi -- ibarat gerak yang semrawut yang ditampilkan Rudy Wowor pada malam pesta itu. Film Indonesia berada dalam belantara yang masih gelap, dan sulit mencari jalan keluar untuk membenahinya. Leila S. Chudori dan Putu Setia
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini