TIM Indonesia yang semula tak diperhitungkan lawan dalam
Kejuaraan Bridge Timur Jauh XXIII di Tokyo, dua pekan lalu
ternyata malah membuat kejutan. Piala Rebullida, lambang
supremasi olahraga bridge tingkat regional, berhasil diboyong
kembali setelah 4 tahun terlepas dari tangan Minggu maram yang
lalu mereka pulang.
"Selama ini (maksudnya, 4 tahun terakhir) peserta-peserta lain
menganggap Indonesia cuma sok aksi saja," komentar Chef de
Mission, drs. Amran Zamzami. "Gampang dibuar berkelahi sesama
kawan seridiri."
Dugaan lawan bukan tak berdasar. Sejak heboh soal 'radar gelap'
Manoppo sersaudara selepas kejuaraan tahun 1974, regu bridge
nasional memang tak pernah kompak lagi. Para pemain akan saling
menuding bila ada teman yang membuat kesalahan. Akibatnya,
apalagi kalau bukan musuh yang memetik keuntungan.
Bagaimana tahun ini? Kekeliruan memang muncul di meja
pertandingan tim Indonesia. Malah di papan pertama sewaktu
menghadapi regu Taiwan. Tapi, "saya berhasil membuat mereka
untuk tetap bermain tenang," lanjut Amran.
Kekompakan regu Indonesia kali ini rak hanya ditopang oleh
wibawa pimpinan kontingen. Juga oleh dana yang cukup. "Untuk
menghadapi cuaca dingin (3 derajat Celcius) di Tokyo, kita sudah
dilengkapi pakaian 4 lapis seharga 500 dollar AS," kata Serma
(Pol), Max Agouw. "Bagaimana tidak tahan."
Ia menambahkan bahwa persiapan tim pun lebih panjang dan
terarah dibandingkan periode sebelumnya. Tim berada di pelatnas
selama 9 bulan, dan berlatih di ruang ber AC mulai pukul 13.00
sampai jam 1.00 dinihari. "Tapi pernah persiapan tim sematang
ini," tambahnya. Dana untuk persiapan ke Tokyo tersedia sebesar
Rp 16 juta, hasil sumbangan PT Krama Yudha Motor. Astra Group,
Bouraq, NIAC, Metropolitan Kencana, Pantja Niaga, Udatin, dan
Pelita Air Service.
Pemilihan anggota regu, mungkin karena biaya cukup, pun berbeda
pula dengan tahun-tahun sebelumnya. Seleksi tak lagi memilih
tiga pasang inti saja. Tapi jumlahnya dilipat-duakan. Tahun ini
terpilih 4 pasang pemain Jakarta, dan dua pasang dari Manado.
Selama di pelatnas mereka dicoba dalam berbagai variasi kawan
guna mengetahui pasangan mana yang terkuat. Hingga, akhirnya
terpilih Hengky Lasut/Max Agouw, Ferdy Waluyan/Denny Sakul, dan
Jassin Widjaja/Munawar.
Sukses di Tokyo, menurut Amran, tak cuma menempatkan Indonesia
sebagai juara 6 kali, juga ikut menaikkan citra tim Indonesia di
mata dunia. Regu Indonesia pernah jatuh gengsi dengan hebohnya
kasus 'radar gelap' Manoppo Bersaudara. Pasarigan
Manoppo/Manoppo dituduh bermain curang dalam Kejuaraan Bridge
Timur Jauh di Hongkong, 1974. "Tanpa Manoppo sersaudara terbukti
toh Indonesia bisa juga jadi juara," ujar Amran. Piala
Rebullida, sebelum ini, telah berada di tangan Indonesia pada
tahun 1962, 1964, 1972, 1973, dan 1974.
Apa sasaran mereka sekarang? "Prestasi dunia," jawab Amran.
Sasaran yang dimaksud adalah Olympiade Bridge di selanda, 1980.
Ia berharap dengan sistem pelatnas yang diterapkannya menjelang
ke Tokyo, tim Indonesia akan membuat kejutan lagi. "Kalu tidak
bisa nomor satu, ya nomor dua.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini