INFLASI di Indonesia yang setengah tahun pertama ini menunjukan
tingkat yang cukup mengkhawatirkan, kini nampaknya mulai reda.
Menteri Sekreraris Negara Sudharmono, sesudah sidang Kabinet
terbatas 5 Desember mengumumkan inflasi pada November 1979 hanya
0,57%. Ini untuk ketiga kalinya sesudah dua bulan berturut-turut
inflasi di bawah 1%.
Dengan demikian inflasi selama 1979 sampai November lalu 20,9%,
dan selama delapan bulan pertama tahun anggaran 1980/81 tercatat
16,5%. Ini memperkuat perkiraan berbagai pihak Tingkat inflasi
tahunan di Indonesia sesudah devaluasi rupiah akan berada di
sekirar 25%.
Kenyataan bahwa inflasi sudah mereda selama tiga bulan terakhir
ini menunjukkan bahwa penyesuaian-penyesuaian yang terjadi
sesudah devaluasi mulai berakhir. Dan keseimbangan sudah mulai
terlihat pada tingkat yang lebih tinggi.
Tapi ini rak berarti bahwa ancaman terhadap tingkat harga-harga
juga sudah mereda: Saat ini masa paceklik belum berakhir,
sedangkan Natal makin mendekat. Apabila pemerintah ingin menjaga
kestabilan harga, maka usaha harus banyak dicurahkan pada
mempertahankan barga beras.
Pola Baru
Benar, bahwa pengaruh harga beras pada Indeks Harga Konsumen
kini sudah turun menjadi 15%, dibanding 33% indeks 62 bahan.
Namun perubahan pada harga beras punya pengaruh psikologis yang
besar pada tingkah laku harga barang-barang lain.
Ketua Bulog Bustanil Arifin beberapa waktu berselang menyatakan
tekadnya "Harga beras pada bulan Oktober, November dan Desember
tidak boleh naik satu sen pun." Dengan stok beras yang cukup
banyak saat ini memang Bulog masih dalam posisi untuk
mengendalikan harga beras. Tapi apakah hal ini akan bisa terus
dipertahankan sampai tahun depan beberapa pengamat meragukannya.
Mulai Bebruari 1980 ketentuan kenaikan harga pembelian beras
dari KUD mulai berlaku, di mana harga yang akan dibayar sulog
naik Rp 17 per kilo menjadi Rp 175 per kilo. Bustanil juga
mengakui bahwa kenaikan harga penjualan Bulog tahun depan "tidak
bisa dihindarkan lagi." Tapi dia katanya, "akan berusaha agar
kenaikan harga dilakukan secara bertahap dan tidak sekaligus."
Sidang Kabinet terbatas Rabu itu juga mendengar laporan Gubernur
Bank Sentral Rachmat Saleh yang dua hari sebelumnya keluar
dengan data yang cukup menarik. Setahun sesudah Kenop 15,
cadangan devisa Indonesia naik US$ 1,4 milyar menjadi US$ 4,1
milyar. Ini rekor yang belum pernah tercapai. Sekalipun angka
statistik belum lengkap, tapi indikasi sementara menunjukkan
bahwa nilai ekspor sampai November 1979 naik 52% dari jumlah
periode yang sama tahun lalu.
Kenaikan ini sebagian berasal dari kenaikan harga yang dialami
komoditi ekspor Indonesia di luar negeri, termasuk kenaikan
harga minyak beberapa kali tahun ini. Sebagian kenaikan juga
berasal dari kenaikan volume sebesar 30% yang menunjukkan barang
yang diekspor secara fisik meningkat.
Dari kenaikan ekspor non minyak dan gas bumi, 80% berasal dari
ekspor jenis barang baru, seperti pupuk, semen, tekstil dan
barang kerajinan lainnya. Kalau benar demikian, maka suatu
diversifikasi yang cukup berarti sudah bisa dicapai pada ekspor
non-minyak.
Memang tahun ini, agaknya beberapa ekspor barang baru mulai
lepas landas. Semen, misalnya, tahun lalu mulai dengan ekspor
percobaan sebanyak 125.000 ron, tahun ini akan mencapai tingkat
komersial 700.000 ton dengan pasaran yang sudah pasti ke Timur
Tengah, India, Bangladesh di samping ASEAN.
Devaluasi rupiah nampaknya memberikan keuntungan kompetitif bagi
barang-barang Indonesia di pasaran luar negeri. Keuntungan
kompetitif ini akan bisa lebih besar lagi seandainya, komponen
impor dari industri dalam negeri yang mengekspor bisa dikurangi.
Kelemahan pokok dari industri yang menghasilkan barang ekspor
sekarang ini adalah masih besarnya bahan baku yang masih harus
diimpor. Benang sintetis dan cat yang dibutuhkan tekstil,
misalnya. Demikian pula kertas pulp yang digunakan pabrik
kertas, masih masuk dari luar.
Bahwa peranan impor bahan baku masih besar sekarang ini, bisa
dilihat dari kenaikan impor sebesar 23% antara Januari-November
1979. Pola seperti ini nampaknya akan terus berlangsung hingga
1980, di mana impor barang konsumsi dan bahan modal akan turun.
Bagiar impor terbesar waktu itu akan berup bahan baku.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini