Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Lepas landas, dengan catatan

Inflasi di indonesia mulai mereda, cadangan devisa makin naik. ekspor non minyak mulai bervariasi seperti semen, pupuk, tekstil. kelemahan pokok masih pada ketergantungan impor bahan baku. (eb)

15 Desember 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

INFLASI di Indonesia yang setengah tahun pertama ini menunjukan tingkat yang cukup mengkhawatirkan, kini nampaknya mulai reda. Menteri Sekreraris Negara Sudharmono, sesudah sidang Kabinet terbatas 5 Desember mengumumkan inflasi pada November 1979 hanya 0,57%. Ini untuk ketiga kalinya sesudah dua bulan berturut-turut inflasi di bawah 1%. Dengan demikian inflasi selama 1979 sampai November lalu 20,9%, dan selama delapan bulan pertama tahun anggaran 1980/81 tercatat 16,5%. Ini memperkuat perkiraan berbagai pihak Tingkat inflasi tahunan di Indonesia sesudah devaluasi rupiah akan berada di sekirar 25%. Kenyataan bahwa inflasi sudah mereda selama tiga bulan terakhir ini menunjukkan bahwa penyesuaian-penyesuaian yang terjadi sesudah devaluasi mulai berakhir. Dan keseimbangan sudah mulai terlihat pada tingkat yang lebih tinggi. Tapi ini rak berarti bahwa ancaman terhadap tingkat harga-harga juga sudah mereda: Saat ini masa paceklik belum berakhir, sedangkan Natal makin mendekat. Apabila pemerintah ingin menjaga kestabilan harga, maka usaha harus banyak dicurahkan pada mempertahankan barga beras. Pola Baru Benar, bahwa pengaruh harga beras pada Indeks Harga Konsumen kini sudah turun menjadi 15%, dibanding 33% indeks 62 bahan. Namun perubahan pada harga beras punya pengaruh psikologis yang besar pada tingkah laku harga barang-barang lain. Ketua Bulog Bustanil Arifin beberapa waktu berselang menyatakan tekadnya "Harga beras pada bulan Oktober, November dan Desember tidak boleh naik satu sen pun." Dengan stok beras yang cukup banyak saat ini memang Bulog masih dalam posisi untuk mengendalikan harga beras. Tapi apakah hal ini akan bisa terus dipertahankan sampai tahun depan beberapa pengamat meragukannya. Mulai Bebruari 1980 ketentuan kenaikan harga pembelian beras dari KUD mulai berlaku, di mana harga yang akan dibayar sulog naik Rp 17 per kilo menjadi Rp 175 per kilo. Bustanil juga mengakui bahwa kenaikan harga penjualan Bulog tahun depan "tidak bisa dihindarkan lagi." Tapi dia katanya, "akan berusaha agar kenaikan harga dilakukan secara bertahap dan tidak sekaligus." Sidang Kabinet terbatas Rabu itu juga mendengar laporan Gubernur Bank Sentral Rachmat Saleh yang dua hari sebelumnya keluar dengan data yang cukup menarik. Setahun sesudah Kenop 15, cadangan devisa Indonesia naik US$ 1,4 milyar menjadi US$ 4,1 milyar. Ini rekor yang belum pernah tercapai. Sekalipun angka statistik belum lengkap, tapi indikasi sementara menunjukkan bahwa nilai ekspor sampai November 1979 naik 52% dari jumlah periode yang sama tahun lalu. Kenaikan ini sebagian berasal dari kenaikan harga yang dialami komoditi ekspor Indonesia di luar negeri, termasuk kenaikan harga minyak beberapa kali tahun ini. Sebagian kenaikan juga berasal dari kenaikan volume sebesar 30% yang menunjukkan barang yang diekspor secara fisik meningkat. Dari kenaikan ekspor non minyak dan gas bumi, 80% berasal dari ekspor jenis barang baru, seperti pupuk, semen, tekstil dan barang kerajinan lainnya. Kalau benar demikian, maka suatu diversifikasi yang cukup berarti sudah bisa dicapai pada ekspor non-minyak. Memang tahun ini, agaknya beberapa ekspor barang baru mulai lepas landas. Semen, misalnya, tahun lalu mulai dengan ekspor percobaan sebanyak 125.000 ron, tahun ini akan mencapai tingkat komersial 700.000 ton dengan pasaran yang sudah pasti ke Timur Tengah, India, Bangladesh di samping ASEAN. Devaluasi rupiah nampaknya memberikan keuntungan kompetitif bagi barang-barang Indonesia di pasaran luar negeri. Keuntungan kompetitif ini akan bisa lebih besar lagi seandainya, komponen impor dari industri dalam negeri yang mengekspor bisa dikurangi. Kelemahan pokok dari industri yang menghasilkan barang ekspor sekarang ini adalah masih besarnya bahan baku yang masih harus diimpor. Benang sintetis dan cat yang dibutuhkan tekstil, misalnya. Demikian pula kertas pulp yang digunakan pabrik kertas, masih masuk dari luar. Bahwa peranan impor bahan baku masih besar sekarang ini, bisa dilihat dari kenaikan impor sebesar 23% antara Januari-November 1979. Pola seperti ini nampaknya akan terus berlangsung hingga 1980, di mana impor barang konsumsi dan bahan modal akan turun. Bagiar impor terbesar waktu itu akan berup bahan baku.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus