TAK pernah ada prestasi klub di lingkungan bond Persija begitu
mengesankan seperri kesebelasan Jayakarta. Dalam 3 kali puraran
kompetisi selama 5 tahun terakhir, selalu tampil di urutan
pertama. Di lingkungan Galatama pun mereka tak mengecewakan di
tempat teratas dan tak pernah kalah dalam setengah putaran
kompetisi.
Apa rahasia sukses mereka? "Pembinaan yang terarah, kontinyu,
dan melembaga," ungkap dr. Suhantoro, salah seorang pembina
Jayakarta. Ditopang oleh Yayasan Jayaraya, klub ini memang mampu
melakukan semua itu. Tiap tahun Jayakarta mendapat dana
pembinaan sebesar Rp 2 juta angka ini melipat 2 kali sejak
mereka terjun ke Galatama.
Jumlah dana pembinaan itu cukup membuat banyak klub lain,
terutama perkumpulan amatir, iri. Didirikan 8 tahun lalu,
Jayakarta memang sudah melangkah ke dunia semi profesional sejak
awal. Tahun 1971 misalnya, seorang pemain golongan A mengantongi
uang saku sebesar Rp 12.500 per bulan. Sedang banyak klub lain
hanya mampu memberikan uang transpor saja pada pemainnya.
Tapi, angka itu tak melesat naik dengan kehadiran Galatama. Andi
Lala, salah seorang pemain inti Jayakarta, menurut pengakuannya
cuma memperoleh uang sebesar Rp 60.000 tiap gajian. "Arti semi
profesional di sini, mereka khusus bermain bola," kata ir.
Ciputra, Ketua Dewan Pengurus Yayasan Jayaraya menjelaskan.
"Gaji diperoleh dari perusahaan di tempat ia bekerja."
Dibandingkan dengan pemain seperri di klub Warna Agung, jumlah
yang diterima Marsely Tambayong jauh di atas Lala. Marsely,
sekarang sedang menjalani skorsing sehubungan heboh kasus suap,
tiap bulan membawa pulang amplop gaji sebesar Rp 75.000. Apa
yang membuat Lala, juga pemain Jayakarta lainnya, betah di
perkumpulan ini? "Kekeluargaan," pengakuannya.
Di mata Ciputra, faktor uang juga bukan merupakan jaminan utama
bagi suksesnya suatu perkumpulan. "Keberhasilan pembinaan dalam
olahraga bukan hanya dijamin oleh dana yang cukup semata.
Peranan pelatih, juga faktor lain, sangat menentukan," katanya.
Faktor sampingan itu, antara lain, adalah kekerabatan. Ciputra
menambahkan bahwa drs. F.H. Hutasoit, pembina Jayakarta,
misalnya, punya kelebihan tersendiri dalam mengurus klub
sepakbola ini.
Yayasan Jayaraya tak hanya mengurus pembinaan sepakbola saja.
Juga cabang atletik dan bulutangkis. Klub atletik Jayakarta
didirikan tahun 1971. Akan dunia bulutangkis baru dijamah 7
tahun kemudian. Di antara perkumpulan olahraga yang bernaung di
bawah Yayasan Jayaraya, Ciputra menilai, cabang atletik yang
belum berhasil banyak. Sekalipun di sini berkumpul atlit
nasional seperti Usman Effendy, Carolina Riewpassa, dan Carmen
Yahya, baru tahun 1979 klub ini muncul sebagai pengumpul medali
terbanyak di tingkat kejuaraan daerah. "Di bidang pemassalan,
Jayakarta masih ketinggalan dibanding klub UMS," ucap Ciputra.
Penanggungjawab perkumpulan atletik Jayakarta adalah drs. Tjoek
Soegiarto, Kepala Dinas Olahraga DKI Jaya.
Bagaimana cabang bulutangkis? "Jayaraya B masih tetap di atas,"
kata Umar Sanusi. Takaran itu diangkat Umar, pembina klub
Jayaraya B, dari hasil kejuaraan daerah Jakarta 2 tahun terakhir
ini. Di sini terdaftar nama besar seperti Ade Chandra dan
Theresia Widyastuti, serta bakat-bakat muda seperti Sigit,
Yanthi, Tieke, maupun Yud Wahyudi. Untuk pembinaan para pemain
ini, Jayaraya B mendapat sokongan Rp 300.000 per bulan.
Ala AS
Tak hanya Umar yang turun di bidang bulutangkis. Juga Rudy
Hartono. Bekas juara All England 8 kali ini mengasuh klub
Jayaraya A. Seperti halnya Jayaraya B, penekanan diberikan pada
pembibitan. Tak heran bila prioritas diberikan pada pemain
berusia antara 12 dan 14 tahun. "Tjan So Gwan, merupakan hasil
pembinaan dari PB (Perkumpulan Bulutangkis) Jayaraya," kata
Ciputra. Tjan So Gwan, salah seorang tim inti Piala Uber
Indonesia, berlatih di Jayaraya A. Perkumpulan yang dibina Rudy
memperoleh bantuan Rp 450.000 tiap bulannya.
Lahirnya 2 perkumpulan bulutangkis di lingkungan Yayasan
Jayaraya dikarenakan waktu PB Jayaraya sudah dibentuk, Gubernur
DKI Jakarta, Ali Sadikin selaku pengawas yayasan mengusulkan
untuk menarik perkumpulan Jayakarta ke lingkungan mereka. PB
Jayakarta sudah berdiri sejak 1964. Klub inilah kemudian yang
menjadi Jayaraya B.
Yayasan Jayaraya, didirikan untuk menghimpun para pengusaha
dalam membantu gerakan olahraga, lahir 29 November 1970. Saat
ini 41 perusahaan, sebagian besar "kelompok Jaya" menjadi
anggotanya. Tiap perusahaan anggota dikenakan iuran antara Rp
5.000 sampai Rp 150.000 per bulan. PT Grafiti Pers, penerbit
majalah TEMPO, selaku anggota tiap bulan menyisihkan Rp 50.000
untuk iuran, plus 50% dari keuntungan bersih per tahun. Kekayaan
yayasan sekarang sudah bernilai ratusan juta -- sebagian
didepositokan dan sebagian lagi dibelikan saham BAT (British
American Tobacco). Angka terperinci tidak diberikan.
Ciputra berharap Yayasan Jayaraya bisa dijadikan teladan
bagaimana semangat 'kegotong-royongan' dapat ikut mensukseskan
program pembinaan olahraga. "Tak mungkin proyek-proyek olahraga,
kebudayaan, dan lainnya hanya ditangani oleh 1 atau 2 pengusaha
saja," katanya. "Di Amerika Serikat, kebiasaan untuk menjadi
anggota sebuah yayasan, dan bersama-sama menyediakan dananya
sudah merupakan hal yang biasa." Ia menghimbau para pengusaha di
Indonesia untuk mengikuti jejak Yayasan Jayaraya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini