Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Mutu Turnamen Melorot

Mutu turnamen Piala Marah Halim 1977 ini turun bila dibanding turnamen sebelumnya. Selain karena Taiwan dan Aceh tak diundang, juga tim yang datang terdiri dari banyak pemain junior.

16 April 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DIBANDINGKAN dengan tahun-tahun lewat, mutu turnamen tahun ini kian melorot. Banyak yang kecewa melihat permainan team-team yang datang ke Medan. Selain Australia, Singapura, Burma, Jepang, Thailand, Malaysia dan Singapura ditambah Korea Selatan, turnamen 1977 ikut didukung Persija, PSMS, PSM Ujung Pandang, Persib Bandung, Persebaya juga PSP Padang diikutkan. "PSP diundang atas permintaan gubernur Marah Halim sendiri", ucap seorang anggota panitia pelaksana turnamen. Tapi team-team yang datang tidak lebih baik dari team yang pernah muncul tahun lalu, yang juga dihadiri Taiwan. Tahun ini Taiwan dan Aceh tidak diundang. Australia yang tahun lalu masih baik, tahun ini datang dengan team yang tak kuat. Singapura malah mengirim team junior. Dan ke Medan seperti mencari sparring-partner untuk menguji ketangguhannya sebelum 10 April berangkat ke Teheran dalam turnamen untuk junior Asia di sana. Dalam babak penyisihan, Singapura masuk kotak mengikuti jejak PSP, Persib, PSM, Persebaya, Korea dan Australia. Malaysia yang diwakili "kesebelasan penjara" dan didukung bekas 7 pemain nasional seperti Namat Abdullah dan Syed Ahmad, agak lumayan dibanding tahun lalu. Mereka bersama Burma, PSMS, Thailand, Persija, Jepang berhasil masuk perempat final. Tapi gagal maju ke semi final. Yang tak diduga adalah Burma. Meski materi pemain-pemainnya banyak yang muda-muda dan di antaranya juga ada Maung Maung Tin dan Maung Kyi Lwin selain kiper Maung Maung Nyunt yang merupakan pemain nasional Burma gagal berhadapan dengan Persija di final. Dalam semi final mereka kandas melawan Jepang dengan 2-0. Selain dari ausdauer pemain, kelebihan lain tak ada dalam team Jepang yang datang tahun ini. Tapi ucapan klasik bahwa bola itu bulat seperti dikatakan pelatih Burma, U Hla Tin terjadi. Burma malah sempat mengalahkan Persija 1-0 dalam perempat final. Tapi apa yang diharapkan berulang kembali, Burma bakal jumpa di final dengan Persija tak pernah terjadi. Malah dalam perebutan juara tiga, Burma tak disangka kalah 0-2 dari Thailand yang bermain tanpa Niwatana. Bagero Peserta turnamen juga bukan tak mengeluh. "Turnamen ini berlangsung terlalu lama dan tidak baik", kata Niwatana dari Thailand. "Pemain-pemain tidak sempat beristirahat. Kita terlalu lelah dan terpaksa untuk main". Larutnya turnamen dikeluhkan bukan saja tahun ini. Pada tahun lalu sudah pernah dilontarkan. Tapi Kamaruddin Panggabean seperti tak ambil perduli. Kapasitas stadion yang menampung 23 ribu penonton, perti dalam final barusan, dipaksakan memuat sampai 40 ribu orang. Karcis dijual berlebihan. Biaya turnamen perebutan Piala Marah Halim tahun 1977, menurut Kamaruddin Panggabean, Rp 149 juta. Dari hasil penjualan karcis selama turnamen berlangsung di Stadion Teladan Medan uang yang sudah terkumpul Rp 161.531.500. Penonton sempat duduk di tepi lapangan. "Hal ini mengganggu konsentrasi pemain", kata pelatih Jepang, Mitsuo Kamata. "Lni turnamen internasional, bukan pertandingan persahabatan", tambah Kamata. Dalam final lalu, malah ada suara penonton yang melontarkan bagero kepada anak-anak Jepang. Kiper Choei Sato kena lempar dari penonton yang berjubel di belakang gawangnya, sehingga wasit Udon Anantapong dari Thailand menghentikan jalannya pertandingan sebentar dan minta pengamanan. Sebelum Persija-Jepang turun ke lapangan, pertandingan Burma-Thailand yang seharusnya dimulai pada jam 17.30 terhalang 30 menit gara-gara penonton di pinggir lapangan. Wasit Eddie Evans dari Australia keberatan memimpin pertandingan sebelum penonton mundur dari garis pinggir lapangan 10 meter. "Bagaimana saya bisa memimpin pertandingan dengan keadaan penonton yang rapat dengan pemain", katanya pada TEMPO. Yang juga ditakutkan justru bagaimana kalau Jepang menang lawan Persija, yang jadi favorit, "apa Jepang-Jepang itu tak diserbu orang?", ucap seorang petugas. Konsul Muda Jepang setiba di tribun kehormatan yang sudah sesak sempat diusir duduk di sana. Kalau keadaan seperti turnamen barusan, kabarnya tahun depan kesebelasan Jepang tidak mau ikut lagi. Lempar Batu Sebelum itu wasit R. Bala dari Singapura pernah kena lempar batu. Wasit-wasit dari luar negeri dan membawa lambang FIFA itu banyak yang mengomel karena melihat fasilitas stadion dan perlakuan yang mereka alami dari penonton. "Stadion ini sudah melebihi kapasitas", kata Lee Woo Hyun yang terkenal di Korea sebagai wasit galak pada TEMPO. Ketika pertandingan Persebaya lawan Burma ia sempat juga mau dipukul salah seorang pemain Surabaya. Adanya makian dan lemparan terhadap pemain dan wasit, menurut Panggabean, "kemungkinan saja pengakuan Konfederasi Sepakbola Asia yang sudah mengakui turnamen Piala Marah Halim di Medan bisa dicabut". Sebab itulah ia meminta supaya penonton tidak memaki wasit atau pemain dan melempar mereka. Tapi pada hari-hari tertentu seperti diharapkan Panggabean sendiri penonton melimpah ke Stadion Teladan. Tapi tidak dikatakan kenapa musti melimpah. Orang mulai curiga. Dengan harga selembar tiket sampai Rp 8.000 si penonton disuruh duduk di atas plastik di tepi lapangan. Kecurigaan berlebihan tiket dijual dengan sengaja tak mungkin untuk dibantah. Sehingga ada penonton yang mengoceh: "Panitia mau cari duit banyak saja. Penonton disiksa dan stadion tak perlu diperbesar". Prasangka mulai terlontar pada turnamen perebutan Piala Marah Halim setelah belum lama ini dimasukkan dalam Peraturan Daerah (Perda). Setelah melihat turnamen yang lalu, menurut sebuah sumber TEMPO di Medan, ada dua gqala yang timbul dan menonjol. "Dari turnamen ini tampaknya segi komersiillah yang diburu. Fasilitas dan mutunya biar melorot, tak apa", katanya. "Turnamen ini disebut internasional, tetapi kenyataannya adalah kampungan". Selain itu team yang diundang mutu permainannya banyak yang haw-haw (brengsek). Komentar-komentar itu timbul cukup alasan. Apa gunanya diundang banyak team dari berbagai negara dan daerah kalau mereka tidak mengirim team yang kuat atau team nasional. Sehingga ada yang mengusulkan, lebih baik pada tahun depan team yang turut dalam turnamen sekitar 8 kesebelasan saja. Tapi agaknya panitia pelaksananya punya selera lain. Dengan team yang banyak hadir itu turnamen bisa berlarut panjang. Bukankah perkara komersiil sudah bicara, sehingga mutu turnamen boleh saja dikesampingkan? Sayang. Panggabean belum mau menggubris suara-suara yang sudah lama terlontar itu. Malah lain. "Setelah turnamen ini, sudahlah. Saya mau undurkan diri", katanya. Tahun lalu dia juga bilang begitu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus