Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Harapan meraih medali emas sempat bersemi di hati Supeni. Pelatih angkat besi nasional itu melihat anak asuhnya, Sri Wahyuni Agustiani, punya peluang menjadi yang terbaik pada kelas 48 kilogram di Riocentro, Rio de Janeiro, Ahad pekan lalu. Ini lantaran pesaing utama asal Thailand, Sopita Tanasan, hanya bisa melakukan angkatan clean and jerk seberat 108 kilogram karena gagal dalam angkatan ketiga seberat 110 kilogram.
Dengan angkatan 115 kilogram, Sri Wahyuni akan mampu memastikan emas. Tapi lifter berusia 21 tahun itu justru tampak ragu ketika mendengar instruksi Supeni, 42 tahun. Ia sebelumnya hanya mampu melakukan angkatan 107 kilogram pada clean and jerk pertamanya. Sedangkan di angkatan snatch, ia tertinggal 7 kilogram dari Tanasan, yang berhasil mengangkat beban 92 kilogram. Artinya, ia harus melakukan penambahan beban seberat 8 kilogram, yang tak lazim ia lakukan. Diskusi panjang pun sempat terjadi.
Akhirnya, lifter yang biasa disapa Yuni itu setuju. Sayang, dua kali berusaha, dua kali juga dia gagal. Ia hanya membukukan total angkatan 192 kilogram, terpaut 8 kilogram dari angkatan Tanasan, sehingga hanya berhak atas perak. Yuni sedikit kecewa. ”Tapi saya sangat bersyukur bisa menyumbangkan medali,” kata dara yang merayakan ulang tahun ke-22 pada 13 Agustus lalu itu.
Perak itu disambut sukacita tiga pelatihnya, Supeni, Dirdja Wihardja, dan Aveenash Pandoo. Mereka bersorak dan memeluk atlet berbadan mungil itu—tingginya 147 sentimeter dengan berat 47,25 kilogram. ”Kami bangga dengan Yuni. Dia yang pertama menaikkan bendera Merah Putih di Olimpiade Rio,” ujar Supeni saat menuturkan kisah kemenangan Yuni itu melalui sambungan telepon dari Rio de Janeiro, Selasa pekan lalu.
Sukses Yuni kemudian dilengkapi lifter putra, Eko Yuli Irawan, yang merebut perak pada kelas 62 kilogram. Dengan dua perak itu, angkat besi mampu menjaga tradisi medali Olimpiade yang diraih cabang ini tanpa putus sejak 2000. Bagi Eko Yuli, medali perak itu menjadi yang ketiga, setelah perunggu yang diraih di dua Olimpiade sebelumnya. Sedangkan bagi Yuni, perak itu menjadi medali Olimpiade pertamanya.
Ayah Yuni, Candiana, menerima kabar keberhasilan putrinya itu saat terus dibalut gelisah di rumahnya, di Bojong Pulus, Banjaran, Bandung. Kala itu, ia sudah dua malam kurang tidur karena terus memantengi layar televisi mencari tayangan perlombaan angkat besi Olimpiade, yang tak ia ketahui waktu pastinya. Ia kecewa karena acara yang dicari-carinya tak juga muncul.
Di tengah gelisah itulah ia mendapat telepon dari Junaidi, suami Supeni, yang ada di Bekasi. ”Tuh, anak lu dapet medali perak,” ujar Candiana menirukan ucapan Junaidi ketika ditemui di rumahnya, Selasa pekan lalu. Pria 44 tahun itu terkejut sekaligus lega. Sedangkan istrinya, Rosita, tak kuasa menahan air mata. ”Alhamdulillah, Neng Yuni bisa mengharumkan nama bangsa,” ujar wanita 41 tahun itu.
Keberhasilan itu merupakan buah ketekunan Yuni, yang menggeluti angkat besi sejak duduk di kelas I sekolah menengah pertama. Awalnya, ia lebih tertarik menggeluti lari maraton dan sempat beberapa kali menjadi juara. Tapi ia lantas diajak teman sekantor ayahnya melihat latihan angkat besi di kantor Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Kabupaten Bandung di Jalan Soreang. ”Awalnya, saya hanya ingin melihat-lihat. Tapi kok asyik. Akhirnya, saya ikut latihan,” tutur Yuni.
Pelatih Yuni saat itu, Maman Suryaman, mulai bisa melihat bakat Yuni. Dia menyarankan Candiana memberi sang anak motivasi agar mau menerjuni olahraga itu secara penuh. ”Dia yakin Yuni memiliki bakat khusus dalam olahraga angkat besi dan sekarang itu terbukti,” ujar Candiana.
Yuni meniti karier dari tingkat paling bawah, dari pekan olahraga pelajar, pekan olahraga daerah, sampai berlomba di Pekan Olahraga Nasional (PON). Keberhasilannya mendapatkan medali di ajang-ajang itu akhirnya membuat Yuni dipilih masuk tim nasional, yang membuat prestasinya kian moncer. Di SEA Games Myanmar 2013, ia merebut medali emas. Di Islamic Solidarity Games 2013, emas kembali diraihnya. Medali perak didapatnya di Kejuaraan Asia di Astana, Kazakstan, pada tahun yang sama. Pada 2014, ia meraih perak di Asian Games serta emas di Kejuaraan Dunia Junior di Kazan, Rusia.
Yuni diuntungkan oleh sistem pembinaan atlet angkat besi Indonesia yang sudah berjalan dengan baik. Hal itu diakui Supeni. ”Pembinaan angkat besi di Indonesia sistematis,” katanya. Di Jawa Barat, misalnya, ada 23 pengurus cabang Persatuan Angkat Berat, Binaraga, dan Angkat Besi Seluruh Indonesia (PABBSI). Mereka mengadakan kejuaraan-kejuaraan wilayah. Atlet-atlet diseleksi untuk mengikuti pekan olahraga kabupaten, lalu pekan olahraga daerah. ”Pemenang pekan olahraga daerah berhak mewakili Jawa Barat dalam PON,” katanya.
Selain menyelenggarakan kejuaraan-kejuaraan di daerah dan PON, Pengurus Besar PABBSI mengadakan kejuaraan terbuka. Ini membuat frekuensi bertanding para atlet di Indonesia terjaga. Atlet terbaik dari berbagai kejuaraan itu kemudian direkrut ke dalam pemusatan pelatihan nasional jangka panjang. Mereka masuk sentra pelatihan nasional yang ada di berbagai daerah, termasuk Bekasi, Jakarta, Lampung, dan Balikpapan.
Yuni bergabung dengan sentra di Bekasi, yang diasuh Supeni, sejak berusia 16 tahun. Ia dan atlet dari berbagai sentra itu biasanya baru berkumpul di Jakarta beberapa bulan menjelang kejuaraan penting. Pola ini mendapat kritik karena dianggap terlalu singkat dibandingkan dengan negara-negara lain. Tapi, bagi Supeni, pola yang ada pun sudah memadai. ”PB PABBSI konsisten dan tidak pernah putus membina atlet,” katanya.
Keseriusan PB PABBSI juga bisa dilihat dari cara menangani tim nasional. PABBSI selalu berusaha mendatangkan ahli dari negara lain untuk meningkatkan kemampuan atlet. Tujuh bulan sebelum Olimpiade kali ini, misalnya, PABBSI mendatangkan Aveenash Pandoo, mantan pelatih nasional angkat besi Afrika Selatan, yang juga anggota Komite Pelatihan dan Riset Federasi Angkat Besi Dunia (IWF).
Manajer Tim Nasional Angkat Besi Indonesia Alamsyah Wijaya mengatakan Aveenash bertugas melakukan evaluasi dan analisis serta menjaga perkembangan atlet-atlet tim nasional. ”Dia berfungsi seperti high performance director, dengan gaji US$ 5.000 per bulan,” ujar Alamsyah sebelum berangkat ke Brasil.
Dalam sebuah sesi latihan untuk persiapan Olimpiade yang Tempo amati, Aveenash berkeliling ruangan dan menghampiri satu per satu atlet. Kadang dia memperbaiki gerakan mereka, kadang berdiskusi. ”Sebelum latihan, saya mengajak satu per satu atlet bertanya-jawab,” katanya. ”Kami menghabiskan waktu empat jam, mendiskusikan parameter mereka, mengecek tekanan darah, dan sebagainya.”
Pola makan dan istirahat pun menjadi perhatian Aveenash. Berat badan atlet diukur sebelum tidur, saat bangun pagi, dan setelah makan. Makanan atlet juga dia monitor: berapa karbohidrat yang mereka konsumsi, berapa protein, dan berapa lemak yang terkandung. ”Apa yang ada di dalam piring mereka penting. Sebab, nutrisilah yang memandu latihan mereka. Mereka berlatih dengan beban sangat berat,” ujarnya. Ia juga memperhatikan aspek mental. Dia berusaha membangun suasana berpikir positif dengan meminta atlet menempelkan tulisan impian masing-masing di dinding dan kamar.
Supeni belajar banyak dari Aveenash. Baginya, melihat langsung seorang ahli dunia menangani atlet membawa manfaat besar bagi pelatih nasional. ”Yang utama sebenarnya penyegaran pelatih: ilmu pengetahuan dan teknologi seperti apa yang bisa kami terapkan di daerah,” ujarnya. Ilmu itu pula yang menjadi bekal dalam proses penemuan dan pengembangan atlet potensial di tiap daerah.
Bagaimanapun, sistem yang ada belum sempurna. Masih ada pekerjaan besar yang harus diselesaikan di cabang olahraga ini, yakni perbaikan fasilitas sentra-sentra di daerah. Hal itu diakui Junaidi, suami Supeni, yang juga membina pusat pelatihan angkat besi di Bekasi. Ia masih ingat betul ketika Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi mendatangi tempat latihan para atlet angkat besi di Jalan Rawa Tembaga, Kecamatan Bekasi Selatan, Bekasi, pada 2014. ”Dia menyebut tempat kami seperti kolong jembatan,” kata Junaidi.
Junaidi kala itu hanya bisa tersenyum melihat Imam mengamati tempat latihan berukuran 20 x 10 meter tersebut. Imam menganggap tempat latihan itu sangat tidak layak: pengap, sirkulasi udara minim, bahkan tak ada penyejuk udara di dalamnya. ”Anak-anak kalau sudah kepanasan memilih keluar mencari udara,” ujar Junaidi. Kini ia bisa berbangga karena tempat pengap itu telah melahirkan seorang Sri Wahyuni.
Berkat keberhasilan meraih perak Olimpiade, nama Sri Wahyuni berkibar. Sakunya juga kian menggelembung. Bonus Rp 2 miliar dari Kementerian Pemuda dan Olahraga menantinya. Untuk dia dan Eko juga sudah dijanjikan hadiah rumah oleh pengurus PABBSI.
Saat pulang kampung, Yuni akan lebih gampang meneruskan tradisi bagi-bagi amplop buat anak-anak di perkampungan padat di sekitar rumahnya. Ia juga akan makin leluasa mengirimkan uang bulanan kepada orang tuanya. ”Setiap bulan Yuni mengirimi kami uang minimal Rp 3 juta,” kata Candiana.
Gadi Makitan, Aminudin A.S. (Bandung), Adi Warsono (Bekasi)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo