Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Telepon seluler seperti tak pernah lepas dari Rizal. Tangan pria 28 tahun ini seolah-olah lengket dengan gawai tersebut. Kadang mengecek e-mail, membalas pesan, atau sekadar bermain game. Sesekali mukanya tampak serius, lain waktu dia terkikik membaca pesan dari grup WhatsApp. ”Teman kirim gambar lucu,” ujarnya pada Selasa pekan lalu.
Rizal tak cuma aktif menggunakan ponsel itu saat berada dalam genggamannya. Karyawan perusahaan asuransi di Jakarta itu juga mengoperasikannya ketika sedang mengendarai sepeda motor dan ponsel ditaruh di dalam kantong celana. Kadang untuk mendengarkan lagu-lagu favoritnya dari SoundCloud, lain waktu untuk menelepon. Tinggal colok headset, pencet panggilan dengan WhatsApp, lalu, ”Halo….” Dan perjalanan pun ditemani suara dari seberang.
Meski mengasyikkan, mengantongi ponsel semacam ini bisa mengancam kesuburan kaum Adam. Penelitian yang dilakukan oleh dosen Universitas Sebelas Maret, Surakarta, Isna Qadrijati, menyimpulkan bahwa radiasi yang dipancarkan oleh ponsel bisa menurunkan kualitas sperma. Tentunya hal ini akan berpengaruh pada kemampuan sperma dalam membuahi sel telur. Meskipun, ”Dampaknya tidak terasa serta-merta,” kata Isna, Rabu dua pekan lalu.
Untuk anak-anak, bisa jadi efeknya lebih berbahaya karena daya tahan tubuh mereka masih lemah. Dampak radiasi ini bisa dirasakan 10-20 tahun kemudian, ketika mereka berusia produktif untuk berkembang biak.
Kesimpulan ini didapat Isna ketika meneliti pengaruh radiasi ponsel terhadap kualitas sperma untuk menyelesaikan program doktor di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Penelitian berjudul ”Pajanan Radiasi Gelombang Elektromagnetik Radiofrekuensi Telepon Seluler terhadap Kualitas dan Fungsionalitas Spermatozoa Manusia” itu mengantarkan Isna meraih gelar doktor pada Mei lalu.
Isna melakukan riset tersebut karena khawatir melihat banyak bocah yang menggunakan ponsel. Ia yakin bahwa ponsel memancarkan radiasi non-ionisasi. Untuk melihat imbas dari radiasi ponsel tersebut, Isna mencari sampel sperma yang benar-benar sehat. Sperma tersebut ditempatkan di cawan petri dan mendapat nutrisi sehingga tetap sehat meski berada di luar kantong pelir. ”Ada beberapa sampel, masing-masing berisi kurang-lebih dua juta sel sperma,” katanya.
Ponsel merupakan perangkat pengirim dan penerima gelombang radio. Organisasi ilmiah independen International Commission on Non-Ionizing Radiation Protection (ICNIRP) merancang pedoman agar gelombang radio ini tak membahayakan keselamatan pengguna dari semua usia ataupun status kesehatan.
Pedoman ini menggunakan unit pengukuran yang dikenal dengan specific absorption rate (SAR) dengan satuan watt per kilogram. Semakin tinggi angka SAR, radiasinya juga semakin besar. Untuk ponsel, batas maksimalnya adalah 2 watt per kilogram. Namun, di pasaran, Isna masih bisa menemukan ponsel dengan tingkat SAR di atas 5 watt per kilogram.
Sebenarnya tingkat radiasi itu biasanya sudah tertera dalam keterangan spesifikasi di buku kecil tentang keselamatan yang ada di dalam kotak kemasan ponsel. Namun banyak yang mengabaikannya. Ketika membeli ponsel, konsumen lebih tertarik memilih spesifikasi fitur yang diinginkan ketimbang membaca keterangan tentang keselamatan penggunaannya.
Untuk penelitian ini, Isna menggunakan ponsel dengan tingkat radiasi 2 watt per kilogram dan 5,7 watt per kilogram. Di dalam laboratorium, Isna memberikan pajanan radiasi ponsel di atas sampel sperma tadi. Radiasi diberikan selama satu-dua jam dalam jarak satu sentimeter. Sebagai pembanding, ia juga meneliti sperma yang tidak diberi pajanan radiasi. Hasilnya, kualitas dan kesuburan sperma yang diberi radiasi ponsel menurun. Semakin besar radiasi dan semakin lama paparan, jumlah sel sperma yang mati dan lemah semakin banyak.
Paparan radiasi ternyata membuat keseimbangan reactive oxygen species (ROS) yang berada di sperma terganggu. Ketidakseimbangan ini menyebabkan stres oksidatif sehingga spermatozoa jadi rusak. Efeknya, fleksibilitas sperma dan pergerakannya jadi tak selincah sebelum terpapar radiasi, metabolismenya menurun, bentuknya rusak, hingga tingkat kesuburannya anjlok.
Radiasi juga berpengaruh pada penutupan kanal kalsium sperma. Karena kanalnya menutup, sperma jadi kekurangan asupan kalsium. Padahal zat kalsium sangat dibutuhkan oleh sperma untuk tetap hidup dan bergerak aktif. Jika gerakannya bagus, sperma bisa menuju sel telur untuk pembuahan.
Dokter spesialis kebidanan dan kandungan Yassin Yanuar mengatakan efek radiasi ponsel pada sperma memang telah menjadi perhatian pada 5-10 tahun belakangan ini. Di luar negeri, banyak penelitian serupa dengan hasil yang sama bahwa radiasi merusak sperma.
Terlebih, kata Yassin, ponsel pintar sekarang bisa melakukan banyak hal. Sementara dulu hanya untuk menelepon dan berkirim pesan pendek, sekarang ponsel bisa dipakai untuk mengunduh data, gambar, video, dan lain-lain. Aplikasinya pun terus aktif. Bisa jadi hal itu berpengaruh terhadap radiasi yang dikeluarkan. ”Tapi harus diteliti dulu,” katanya.
Ia mengatakan kesuburan pria menyumbang 35 persen kegagalan untuk memiliki anak. Sebanyak 35 persen lainnya disebabkan oleh faktor perempuan, 15 persen oleh kedua-duanya, dan 15 persen sisanya belum bisa dijelaskan penyebabnya.
Karena laki-laki juga memiliki andil besar, jika ingin punya anak, lebih baik meminimalkan faktor risiko yang bisa menyebabkan berkurangnya kesuburan. Salah satunya dengan menghindari mengantongi ponsel di saku celana. ”Apalagi sekarang trennya punya dua ponsel, dua-duanya ditaruh di kantong bagian depan celana. Testis yang ada di tengah-tengahnya kena paparan dari kanan-kiri,” ujarnya.
Dokter spesialis andrologi, Johannes Soedjono, mengatakan radiasi yang merusak sperma juga bisa disebabkan oleh alat lain. Misalnya microwave atau laptop yang tersambung dengan sinyal Wi-Fi. Penelitian pengaruh radiasi laptop yang tersambung dengan Wi-Fi ini pernah dilakukan oleh tim peneliti Amerika Serikat dan Argentina pada 2011. Sperma yang sehat dibagi dua, masing-masing ditaruh di cawan petri. Yang pertama diberi paparan sinyal Wi-Fi, yang kedua tidak. Hasilnya, sperma yang terkena paparan lebih loyo ketimbang yang tidak.
Namun, kata dia, belum ada yang melakukan penelitian langsung pada manusia sehingga belum jelas sumbangan pengaruhnya. Sebab, banyak sekali faktor yang bisa menyebabkan sperma tidak subur, seperti gaya hidup merokok dan mengkonsumsi minuman beralkohol, sering bersepeda sehingga testis tertekan oleh sadel, menggunakan celana ketat atau mandi sauna sehingga menyebabkan kulit testis panas, atau karena penyakit varigokel, yakni varises di pembuluh darah testis. ”Faktornya tidak cuma satu, tapi banyak,” ujarnya.
Karena itu, seperti Yassin, Johannes pun menyarankan, agar sperma tetap subur, kaum pria lebih baik menghindari faktor yang menimbulkan risiko tersebut, termasuk tak terlalu sering mengantongi ponsel di saku celana. ”Apa pun risikonya, kita singkirkan semua,” katanya.
Nur Alfiyah, Ahmad Rafiq (Solo)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo