Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Nomaden dari Tanah Mesopotamia

Tim Irak harus kucing-kucingan mencari tempat berlatih yang aman. Seperti dongeng 1.001 Malam.

6 Agustus 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PELUIT panjang yang ditiup di Jakarta memanggil ratusan ribu orang di Bagdad dan kota-kota lain di Irak untuk segera turun ke jalan. Yel-yel kemenangan, bunyi klakson, dan nyanyian riang saling bersahutan. Sesekali terdengar bunyi bedil menyalak. Larangan untuk turun ke jalan tak lagi dihiraukan. Mereka tumpah ruah di sudut-sudut kota.

Inilah pesta paling meriah. Keriangan ini hanya bisa disaingi saat Saddam Hussein terguling empat tahun lalu. Kali ini giliran Younis Mahmoud yang jadi sebab. Sebiji gol yang diceploskannya ke gawang Arab Saudi, Minggu pekan lalu di Senayan, berhasil mengantarkan negeri ini menjadi kampiun Asia untuk pertama kalinya. Prestasi yang tidak saja mengejutkan tapi juga mengagumkan.

Betapa tidak. Siapa pun tahu Irak adalah negara yang tengah morat-marit. Setelah invasi Amerika Serikat, Maret 2003, yang disusul jatuhnya rezim Saddam Hussein, negeri ini tak pernah tenang. Kaum Syiah, Sunni, dan etnis Kurdi saling bertukar bom dan peluru hampir setiap hari.

Bahkan beberapa anggota tim Irak kehilangan sanak saudaranya. Sebelum mereka berlaga di Piala Asia, kiper Noor Sabri harus kehilangan saudara iparnya, dan Hawar Mohammed kehilangan ibu tirinya. ”Kami sudah kehilangan banyak orang,” kata Hussein Saeed, Ketua Federasi Sepak Bola Irak. ”Sebelum berangkat ke turnamen ini, fisioterapis kami tewas kena bom.”

Nah, dalam kondisi yang seperti itu, sangat mengagetkan jika bisa muncul tim yang tangguh. Namun, menurut Younis, sang kapten, justru perang saudara itu yang memompa semangat mereka untuk menjadi yang terbaik di Asia. ”Kemenangan ini kami persembahkan kepada rakyat Irak yang tengah menderita akibat perang,” begitu selalu yang diucapkan Younis setiap kali menang dalam pertandingan.

Hal yang sama diutarakan Noor Sabri. Bagi dia, apa pun yang mereka lakukan di lapangan tak lain merupakan ajakan pada pihak yang bertikai di sana untuk segera bersatu. ”Tim kami terdiri dari mereka yang Sunni, Syiah, dan Kurdi, namun kami tak peduli,” kata pemain klub Mes Kerman, Iran, ini.

Harapan Younis dan Sabri memang beralasan. Bukan cuma perang yang menghantui tim Irak. Bahkan kematian juga terjadi ketika kemenangan itu datang. Pada saat rakyat negeri itu merayakan keberhasilan tim berjulukan Singa Mesopotamia ini menundukkan Vietnam di perempat final, tiga orang tewas akibat peluru nyasar dari senapan yang ditembakkan ke udara.

Korban berikutnya malah lebih banyak. Saat rakyat Irak berpesta setelah kesebelasannya mengalahkan Korea di semifinal, kaum pengacau mengambil kesempatan. Mereka meledakkan dua bom di dua kawasan padat penduduk. Insiden yang menewaskan 50 orang ini membuat pasukan Irak mengenakan ban hitam ketika bertanding di final.

Bagdad memang telah berubah menjadi kota 1.001 bom. Itu juga yang membuat pemerintah Irak melarang perayaan kemenangan tim Irak saat mendarat di negerinya. Tim Irak bahkan harus berputar-putar dulu sebelum kembali. Kesebelasan Irak harus mampir dulu ke Dubai, Uni Arab Emirat, dan Amman, Yordania.

Dua negara itu memang menjadi bagian penting dari kesebelasan Irak. Selama kualifikasi Piala Asia 2007, Irak memilih Stadion Al-Ain di Dubai sebagai kandang ketika menjamu lawan-lawannya. Sedangkan Amman dijadikan base camp saat tim itu mempersiapkan diri menghadapi putaran final.

Dubai pun menyambut tim Irak dengan hangat. Mereka langsung ditemui Wakil Presiden dan Perdana Menteri UAE Sheikh Mohammed bin Rashid al-Maktoum, yang juga penguasa Dubai. Selain mengganjar mereka dengan bonus US$ 5,5 juta (Rp 50 miliar), Sheikh Mohammed juga menyediakan pesawat khusus untuk menjemput mereka di Bangkok. Baru Jumat lalu mereka tiba di Bagdad.

Semua pujian atas kemenangan ini, tak pelak, melayang ke arah Jorvan Vieira, 55 tahun, pelatih asal Brasil. Tangan dinginnya tidak saja menentukan aksi di lapangan, tapi juga semangat yang menggebu pada pemainnya. ”Ah, saya bukanlah pesulap. Ini semua merupakan hasil kerja keras dari para staf dan tentu saja pemain,” kata Vieira merendah.

Secara kualitas, sepak bola Irak tidaklah buruk. Beberapa kali mereka tampil di tingkat Asia. Di Asian Games tahun lalu di Doha, Qatar, mereka menjadi runner-up setelah dikalahkan tuan rumah. Akhir Juni lalu, mereka juga menjadi nomor dua dalam kejuaraan antarnegara Asia Barat setelah dikalahkan Iran. Di ajang Piala Teluk, mereka sudah empat kali juara, terakhir pada 1988.

Prestasi mereka sesungguhnya bisa lebih maknyus lagi kalau saja Uday Hussein, anak Saddam, tidak berlebihan saat memimpin sepak bola di sana. Ketika menjadi Presiden Federasi Sepak Bola Irak, dia tak segan-segan menghukum pemain yang tampil jelek. Hukumannya bisa kurungan penjara, sengatan listrik, sampai potong kaki. Dan semua itu dilakukan tanpa pengadilan.

Satu yang mengalaminya adalah Saith Hussein, anak emas sepak bola Irak. Striker klub Al-Zawra ini sangat berbakat. Bahkan Johan Cruyff, pelatih Barcelona ketika itu, sempat ingin ”meminangnya”. ”Saddam tidak pernah mengizinkan saya untuk pergi,” kata Saith yang sempat beberapa kali menikmati penjara dengan bermacam ”kesalahan” itu.

Hukumannya tergantung pada kesalahan yang dilakukan. Salah menjaga pertahanan, kata Saith, bisa dibui dua atau tiga hari. ”Kalau gagal menendang penalti, ya bisa sampai tiga minggu berada di sana,” katanya. Untunglah, Uday sudah tewas.

Kendati demikian, tak berarti tidak ada masalah. Sejak awal, Jorvan Vieira sudah dibelit berbagai persoalan. Pelatih yang pernah menangani tim nasional Maroko, Qatar, Kuwait, Mesir, Oman, dan Arab Saudi ini menerima tugasnya di Irak hanya sebulan sebelum turnamen dimulai.

Selain itu, Irak yang panas menyebabkan mereka sulit menemukan tempat berlatih yang benar-benar aman. Konflik antarkelompok bisa pecah di mana saja. Alhasil, tim itu tak ubahnya seperti nomaden yang harus pindah-pindah tempat. ”Setiap hari saya harus pergi ke tempat yang berbeda untuk mencari tempat berlatih,” katanya sambil geleng-geleng kepala.

Itu sebabnya dia memboyong semua pemainnya untuk berlatih di Amman. Di sana, dia bisa lebih leluasa melatih dan mendapatkan ketenangan batin. Di luar itu, Vieira bertindak keras pada pemainnya. Sekalipun dia tidak pernah mengizinkan pemainnya pulang. Alasannya, mereka bisa saja tidak kembali. ”Mungkin saja terbunuh. Banyak orang hilang. Irak adalah negeri yang sedang bergolak,” katanya.

Satu hal yang menguntungkannya adalah sikap para pemainnya. Biarpun keadaan di Irak tak ubahnya neraka jahanam, menurut dia, tak satu pun pemainnya terimbas. Kata Vieira, anak asuhnya tidak pernah mencampuradukkan politik ke dalam tim.

Bisa jadi itu karena sebagian besar pemain tidak merumput di dalam negeri. Younis, 24 tahun, adalah top scorer Liga Qatar bersama klub Al-Gharafa, bek Bassim Abbas, 25 tahun, dan gelandang Saleh Sader, 25 tahun, bermain di Libanon, atau Mahdi Karim, 23 tahun, dan Hawar Mulla, 25 tahun, di Apollon Limassol Siprus.

Hasilnya tidak percuma. Irak bertarung dengan gagah. Raksasa Asia mereka libas satu per satu. Tempaan di masa sulit dan dengan segala keterbatasan menghasilkan semangat juang yang berlipat-lipat. Mirip Kisah 1001 Malam.

Irfan Budiman

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus