Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
POKOK soal yang dihebohkan ini sesungguhnya tidak mempunyai nilai sebagai berita yang layak tulis. Tak pantas urusan ini disingkap-singkap dan dikorek-korek, karena menyangkut ranah privat—biasanya jadi santapan lezat tayangan gosip infotainment. Barangkali tidak terlampau sulit melacak isu dan gosip ini, tapi tak ada kepentingan publik yang mendasarinya. Jadi, pada mulanya, soal ini benar-benar non-isu.
Pemantiknya pun bukan berita spektakuler. Seorang Zaenal Ma’arif, Wakil Ketua DPR, kecewa berat setelah diberhentikan Presiden sebagai anggota Dewan. Zaenal merasa diperlakukan tidak adil, dicopot lantaran berpoligami. Ia lalu melansir kabar yang kemudian dikutip sejumlah media massa bahwa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah menikah sebelum menjadi taruna Akabri. Sekeping cakram VCD disodorkan Zaenal sebagai bukti.
Tentu saja sas-sus ini sulit diterima akal sehat. Masak iya sih seorang Yudhoyono muda sudah menikah pada usia 16 tahun? Aneh benar kalau seleksi ketat di Akabri, yang mensyaratkan calon taruna harus masih lajang, bisa gampang diterobos. Rasanya mustahil kalau figur yang selalu berhati-hati ini mengambil risiko begitu tinggi. Ia pasti tahu, menerabas segala peraturan militer akan mendatangkan sanksi tanpa ampun—jika ketahuan. Lebih tak masuk akal bila diingat bahwa Gubernur Akabri waktu itu adalah Mayjen Sarwo Edhie, seorang militer dengan reputasi tak diragukan. Pastilah SBY sudah melalui ”uji tuntas” sebelum Mayjen Sarwo mengambilnya sebagai menantu.
Celakanya, isu berkembang tanpa kendali. Patut disesalkan, andil paling besar dalam menggelembungkan isu tadi justru datang dari reaksi SBY terhadap lontaran Zaenal. Genderang perang yang ditabuh Zaenal rupanya merupakan berita besar yang menggerus-gerus emosinya. SBY menganggap fitnah itu sudah keterlaluan dan sangat menyinggung harkat dan martabat diri dan keluarganya. Sampai di sini, isu belum beranjak dari wilayah pribadi, sehingga belum menarik untuk ditulis.
Nilai beritanya kemudian terangkat ketika sang Presiden spontan mengadakan jumpa pers di luar jadwal, saat berada di Bali, sepulang dari kunjungan resmi ke Korea Selatan. Setumpuk rasa kesal dan kecewa terhadap Zaenal dia tumpahkan. Berita penting Presiden selama melawat ke Negeri Ginseng itu pun sirna, terbenam oleh haru-biru seputar kemarahannya yang tak tertahankan. Sejak itulah, tanpa disadari, ”arena bermain” bagi Zaenal justru dibuka lebar oleh Presiden sendiri.
Tadinya kami menduga (dan berharap) perseteruan yang kontraproduktif ini segera diakhiri. Bisa saja, misalnya, Presiden acuh tak acuh terhadap isu tadi. Anggap saja angin lalu. Biar saja, tak usah repot-repot menanggapi orang kecewa lantas marah dan bertindak tak terpuji dengan jurus usang. Masyarakat pasti bisa menilai siapa yang patut mendapat empati, siapa pula yang layak dicaci. Presiden bukan dipilih dan digaji untuk melayani isu sampah ini. Masih setumpuk urusan urgen yang harus ditangani.
Bahwa Presiden berhak memperkarakan pencemaran nama baik, siapa pun mafhum. Di zaman kini, ketika pasal-pasal penghinaan terhadap kepala negara telah dicabut, seorang presiden tak bisa lagi seenaknya menciduk lawan-lawan politiknya. Tapi, kalau mau menunjukkan bahwa Presiden betul-betul menegakkan hukum, pintunya bukan lewat kasus ”pribadi” ini. Bisa saja dia saban tahun melaporkan kekayaan pribadinya ke Komisi Pemberantasan Korupsi atau menuntaskan kasus pembunuhan Munir, misalnya.
Namun Presiden memilih panggung terbuka. Serta-merta ia ditemani Ibu Negara, berbusana batik sewarna dan semotif, melapor ke Kepolisian Daerah Metro Jaya. Sebuah teater digelar. Kepala Polda Adang Firman dan jajaran teras menyambutnya. Foto bersama dibuat di sana. Puluhan fotografer dan kamera televisi beraksi. Dari area privat, urusan mencelat ke pentas nasional. Sulit untuk tidak mengatakan bahwa sang pelapor itulah sutradara pertunjukan kolosal ini. Zaenal hanya ”figuran kecil” di sana.
Panggung sudah digelar, dan media berlomba untuk membongkar apa gerangan di balik dokumen yang diyakini Zaenal bukan fitnah tadi. Media bergerak dari pernyataan sensitif yang terucap dari tokoh perempuan bernama Cica di dalam keping VCD heboh itu.
Kini, semua telanjur basah, susah pula menghentikannya. Yang ditimpa kesulitan justru SBY. Ia dalam dilema besar. Mau islah? Itu sulit dilakukan tanpa ada inisiatif dari Zaenal. Zaenal-lah yang perlu mengaku salah dan menyatakan dokumen yang dibawanya hanya rekayasa. Tapi, sampai akhir pekan kemarin, Zaenal belum meralat ucapannya dan masih yakin dengan keaslian dokumennya. Islah belum kelihatan akan terjadi.
Prosedur hukum yang ditempuh SBY boleh-boleh saja dinilai sebagai keinginannya mewujudkan kaidah bahwa semua warga negara setara di muka hukum. Tapi itu berarti persidangan harus digelar berbilang bulan. Yudhoyono harus datang sebagai saksi dan siap dicecar pertanyaan tim penasihat hukum lawannya. Kalau ia menang, paling-paling lawannya kena hukuman percobaan atau paling banter diganjar setahun kurungan.
Lalu rakyat menyaksikan: untuk pertama kali seorang presiden mengerahkan tenaga ekstra ke pengadilan untuk urusan pribadinya, bukan urusan negara. Perlu sebegini seriuskah Presiden menggebuk Zaenal?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo