TAK kelihatan dia menderita sesuatu penyakit. Lius Pongoh, 22
tahun, berjalan gontai diantar Facarnya, Agnes Theresia Sondakh,
menuju ruang tunggu keberangkatan pesawat di Halim
Perdanakusumah, 11 Maret petang. Setelah tertunda beberapa bulan
lamanya, jadi juga dia berangkat ke Jerman Barat untuk mengobati
punggungnya yang sakit.
Nyeri punggung itu menurut beberapa sumber sudah dideritanya
sebelum masuk Pelatnas 1978. Berdasarkan pemeriksaan dokter,
dikatakan dia harus beristirahat Namun Lius berlatih terus.
Malahan terpi lih menjadi pemain tunggal kedua dalam tim Thomas
Cup Indonesia tahun 1982. "Penyakitnya itu tak tentu datangnya.
Pada waktu Thomas Cup melawan RRC tempo hari, baru pada
pertandingan kedua dia terserang. Dan kalau sudah kena serangan
mengangkat kepala saja rasanya sakit bukan main," cerita Darius
Pongoh, 50 tahun, ayah Lius Pongoh.
Menuju rumah sakit olahragawan Krankenhaus fur Sportierletzte
"Hellersen" di Kota Ludenscheid, Lius ditemani Winarto penggemar
bulu tangkis yang kebetulan sedang belajar di Jerman. Tetapi
menurut Darius Pongoh, Lius sendirilah yang akan menentukan
sikap kalau-kalau dokter di rumah sakit itu menanyakan
setuju-tidaknya dioperasi. "Di sana nyong sendiri yang
memutuskan," ucap orang tua itu menirukan kata-katanya kepada
Lius.
Sejak Desember yang lalu, ketika KONI Pusat memutuskan untuk
membantu biaya pengobatannya sebesar Rp 3,5 juta, Lius yang
tinggal di sebuah rumah yang sedangsedang saja di daerah Pasar
Minggu, Jakarta tak henti-hentinya bertukar pikiran dengan
ayahnya yang membinanya sebagai pemain bulu tangkls seJak
berumur 5 tahun.
Mereka sudah menimbang-nimbang sampai pada kemungkinan yang
terjelek. Misalnya apakah Lius akan menerima operasi dengan
risiko tak bisa berprestasi lagi. Atau tidak dioperasi dan masih
bisa berprestasi seperti sekarang (dengan gangguan penyakit yang
bisa menyerang tiba-tiba) tetapi dengan kemungkinan lumpuh di
kemudian hari umpamanya.
Pemain bulu tangkis putri, Ivanna Lie, juga berobat di rumah
sakit itu tahun lalu. Dia hanya tinggal 2 minggu setelah lendir
dari tungkai tumitnya berhasil dikeluarkan melalui operasi yang
berlangsung selama 20 menit. Ivanna sendiri yang memilih bius
lokal ketika operasi itu akan dikerjakan. Musik-musik lembut,
acara televisi berwarna ternyata tidak membikin betah anak
Bandung itu di rumah sakit tersebut.
"Pelayanannya bagus sekali," cerita Ivanna. Tetapi dia rupanya
tak betah karena dokter dan perawat hanya mau berbahasa Jerman -
bahasa yang tidak dikuasainya. Dia sempat juga kaget melihat
perawat pria yang melayani semua macam pekerjaan di situ. "Cuma
saya menolak ketika mereka datang untuk membuang pispot saya,"
ungkapnya.
Rumah sakit Hellersen yang terletak 100 km dari Bonn itu saban
tahun melayani 20.000 pasien yang berobat jalan, dan merawat
sekitar 5.000 pasien. Sebanyak 4.000 operasi besar dan kecil
pernah dikerjakan di sini. "Banyak yang kecele, karena mereka
menganggap sebagian besar pasien yang dirawat di sini hanya
datang untuk dioperasi, kata Prof. Thiel salah seorang pimpinan
rumah sakit itu kepada Pembantu TEMPO di Jerman Barat.
Terkadang, katanya, hanya diperlukan pijat, senam dan
latihan-latihan tertentu.
Rumah sakit ini sebenarnya tidak hanya melayani olahragawan,
tapi juga orangorang biasa. Cuma karena banyak atlet terkenal
yang dirawat di sini, maka dia dijuluki rumah sakit olahragawan.
Urlike Mayfarth, pemegang rekor dunia lompat tinggi putn, asal
Jerman Barat, beberapa kali dirawat di sim. Sedangkan Thomas
Wessinghage, juara lari 5.000 meter dalam kejuaraan Eropa tahun
lalu pernah bekerja di sini sebagai asisten. Rumah sakit Jerman
itu, nampaknya bakal jadi langganan olahragawan Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini