KASET video porno dan sadisme masih mudah diperoleh. Juga
rekaman video terlarang berbahasa Mandarin. Sementara pemutaran
kaset video untuk umum dengan memungut bayaran terus berlangsung
di desa-desa, misalnya, di Kalimantan Barat. Bahkan beberapa
waktu lalu pernah dikabarkan ada bioskop di Sumatera Utara
men-sutch usahanya ke pemutaran rekaman video. "Semua itu perlu
adanya pembinaan, penertiban dan pengawasan," kata
Soelistihardjo, Direktur Pembinaan Film, Deppen.
Untuk itulah, akhir bulan lalu keluar Keputusan Presiden No.13,
tentang Pembinaan perekaman video. Kepres itu menetapkan, segala
sesuatu yang menyangkut kaset video, sepenuhnya menjadi tanggung
jawab Menteri Penerangan. Yaitu yang meliputi kegiatan
pengimporan, pengeksporan, pembuatan, peredaran,
penyiaran/pertuniukan, perizinan, dan pengawasannya.
Juga ditetapkan dalam Kepres te(hut impor rekaman video hanya
dalam bentuk induk dan harus digandakan oleh PN Lokananta,
Pusat Produksi Film Negara dan TVRI. Izin impornya harus
diperoleh dari Menteri Perdagangan dan Koperasi berdasarkan
saran Menpen dan Jaksa Agung Sedang penggandaan baru bisa
dilakukan setelah lolos sensur BSF (Badan Sensor Film).
Sebelum kaset video itu bisa direkam, kebenaran asal usulnya dan
keabsa perolehan haknya, harus diteliti lebih dulu oleh Jaksa
Agung.
"Kepres itu merupakan landasan hukum yang kukuh," kata
Soelistihardjo. Ada kepastian, maksudnya, instansi mana yang
berwenang mengurus. Asal tahu saja, selama ini memang ada
semacam perebutan wewenang antara Kejaksaan Agung dan Deppen
(BSF), dalam melakukan pengawasan terhadap perekaman video.
Kejaksaan Agung merasa, instansinya yang berhak melakukan
pengawasan, karena menganggap kaset video termasuk kelompok
"barang cetakan". "Itu sesuai dengan undang-undang (Pnps
No.4/1963)," kata Adam Nasution SH. Direktur Politik dan
Keamanan Kejaksaan Agung. Di pihak lain, BSF juga merasa
berwenang melakukan penyensuran atau pengawasan, karena rekaman
video dipandang sebagai moving image atau semacam film. "Itu
sesuai dengan rumusan Unesco," seperti dikatakan Soelistihardjo.
Ketidakpastian, mau tak mau, mengakibatkan prosedur yang cukup
berliku seperti selama ini. Seorang pengusaha kaset video,
misalnya, mengimpor copy master dari luar negeri. Pengusaha ini
harus membuat dua kopi untuk Kejaksaan Agung. Setelah diperiksa
Kejaksaan Agung, kedua kopi itu kemudian diteruskan ke BSF.
Lolos dari sensur BSF, hanya sebuah kopi yang dikembalikan
melalui Kejaksaan Agung, dan seterusnya pengusaha dapat
memperbanyaknya setelah ada izin Departemen Perindustrian.
Lalu sistem yang baru nanti? "Saya tidak tahu bagaimana sistem
pengawasan setelah ada Keppres itu," kata Thomas Sugito, ketua
pelaksana BSF. Tapi, katanya, bila rekaman itu kini dianggap
semacam film maka prosedurnya tak lagi melalui Kejaksaan Agung
melainkan Bea Cukai. "Kami di sini hanya pelaksana sensur saja,"
katanya. "Memang, seperti kata Soelistihardjo, seala sesuatunya
masih akan dijabarkan dalam peraturan pelaksanaan yang sedang
dalam proses."
Reaksi pengusaha rekaman video masih dalam bentuk
harapan-harapan. "Kami mengimbau pemerintah, agar keadaan kami
diperhatikan," kata Boesairie Abdullah SH. Sekretaris Umum
Aspevi (Asosiasi Perusahaan Industri Rekaman Kaset Video
Indonesia) yang juga Manajer Operasi PT SP Video. Sementara
Ketua Umum Aspevi, Soenarto Wirjowidado, berharap:
"Mudah-mudahan perusahaan swasta yang diberi izin perekaman
selama ini dapat kesempatan membantu pemerintah melaksanakan
Kepres itu."
Namun, dibalik harapan, ternyata muncul juga rasa cemas.
Boesairie sangat khawatir akan nasib investasi berupa mesin
perekam dan karyawan yang bekerja selama ini, bila pemerintah
tidak memberi kesempatan hidup kepada perusahaan perekaman kaset
video. Boesairie mengaku tak tahu berapa besar modal PT SP Video
pimpinan BJ Dirgantara itu. Tapi jelas karyawan yang
dipekerjakan sekitar 40-an. Sedikitnya 60 judul rekaman bisa
dihasilkan dalam setahun.
Soelistihardjo sendiri belum bisa mengungkapkan apa dan
bagaimana peraturan pelaksanaan Keppres No.13 itu nanti. "Yang
pasti pemerintah tak akan sewenang-wenang," kata
Soelistihardjo. Menurut dia semua unsur yang terlibat kegiatan
perekaman video akan mengemukakan pikiran sebelum peraturan
pelaksanaan itu diberlakukan. Sebab Keppres itu, katanya, "jelas
bukan untuk mempersulit pengusaha."
PN Lokananta, salah satu perusahaan yang ditunjuk sebagai
perekam, memang sudah siap mengemban tugas melaksanakan Keppres
itu. Menurut Sudarsono, pimpinan Lokananta, pabrik kaset dan
piringan hitam milik Deppen ini sebenarnya sudah punya rencana
1adi perusahaan penggandaan kaset video sejak 1981. Tapi,
katanya, karena belum jelas siapa pengawas dan
penanggungjawabnya, rencana itu jadi berlarut-larut. "Tapi
secara teknis kami sudah siap," kata lulusan ATN Jakarta itu.
Sejumlah tenaga ahli Lokananta yang belajar di Jepang dan Eropa,
akhir tahun lalu sudah pulang. Mereka-belajar masalah
seluk-beluk video dan semacamnya di sana. Gedung khusus
perekaman video juga sedang dibangun di sebelah utara gedung
induk Lokananta, yang terletak di Jalan Ahmad Yani, Solo. Pada
1984, katanya sudah bisa mulai produksi. Target produksinya 50%
dari yang beredar di mal syarakat. "Saya optimistis bisnis
semacam ini berkembang pesat di Indonesia," kata Sudarsono
sambil tersenyum. Berkat Keppres juga, tentunya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini