DENGAN handy-talky di tangannya Suryohadi tampak sibuk di salah
satu ruang Gedung MPR/DPR di Senayan Jakarta. Koordinator tim
wartawan Sinar Harapan itu sedang menyampaikan penugasan dan
pesan agar rekan-rekannya bergerak meliput suatu acara sidang
atau mewawancarai seseorang. "Sidang Umum MPR 1983 jauh berbeda
jika dibandingkan dengan 1978," tuturnya. Sidang umum sekarang
ini, menurut dia, tak ada apa-apanya. "Kalau ditunggu terasa
capek, bila tak ditunggu . . . salah!" keluhnya.
Tapi tak urung koran sorenya Suryohadi telanjur menurunkan tim
terdiri dari 11 orang yang diwajibkan menginap di Hotel Asri di
Senayan. Mereka tak boleh pulang ke rumah selama ada sidang.
"Kalau pulang ke rumah, saya khawatir pikiran mereka jadi
terganggu persoalan rumah tangga," ujar Suryohadi.
Tapi Kompas lebih unggul daripada SH dalam jumlah anggota tim.
"Kami semula memperkirakan akan terjadi sesuatu yang mengejutkan
seperti tahun 1978," tutur August Parengkuan, yang memimpin tim
wartawan Kompas. Maka jauh-jauh hari, katanya, tim beranggotakan
16 wartawan, termasuk fotograer, disiapkan. Namun tatkala
kenyataannya berbeda dari yang diperkirakan, taktik liputan pun
diubah, diarahkan ke penggalian isu-isu yang kemudian
dikembangkan. Misalnya, kata August, isu "kabinet bayangan".
Yang "spektakuler" tentu saja tim TVRI. Dipersiapkan sebulan
sebelum SU MPR, TVRI membuka studio mini di pojok kanan belakang
gedung utama MPR, dengan mengerahkan 60 tenaga yang aktif
seharihari dan 210 yang seralu stand by. Studio mini TVRI itu,
menurut Drs. Ishadi, koordinatornya, fungsinya komplit. "Ya
merekam, mengedit, memproses dan menyiarkan."
Sejumlah reporter TVRI dari berbagai daerah pun ikut dilibatkan
dengan maksud memperoleh pengalaman. "Saya grogi waktu
mengadakan wawancara, karena ini persoalan politik, tutur Dewi
Anti Risnawati 31 tahun, reporter TVRI Balikpapan menuturkan
pengalaman mewawancarai Gubernur Ja-Teng Soepardjo Roestam.
Dengan 16 kamera elektro dan tia mobil unit, pernah dalam
sehari TVRI melakukan wawancara sebanyak 26 kali. "Siaran kami
selalu imbang dan mengambil hal-hal up to date, serta terbatas
pada soal fakta," kata Ishadi. Kelima fraksi di MPR harus
mendapatkan porsi yang berimbang di siaran TVRI, begitu pesan
Deppen, katanya. Dan secara teknis tentu saja siaran televisi
mengungguli pemberitaan koran dan majalah. "Itu merupakan
kebanggaan kami sebagai jurnalis," kata Ishadi tersipu-sipu.
Memang banyak kalangan media massa mengelu karena berita habis
di"lalap" TVRI.
Radio Republik Indonesia (RRI) tak mau ketinggalan. Di bawah
koordinator Sjamsul Mu'in Harahap, RRI Jakarta menurunkan tim
bertenaga 75, dan hampir sepertiga di antaranya reporter --
termasuk sembilan dari daerah. Ada dua pemancar mobil unit dan
seperangkat peralatan siaran ditempatkan di balkon gedung utama
MPR di lantai IV. "Siaran berlangsung seimbang dari
masing-masing fraksi," kata Sjamsul Mu'in Harahap. Tapi siaran
RRI, katanya, "tak mampu menampilkan latar belakang suatu berita
dan opini - karena dikejar waktu." Untungnya RRI bisa menyiarkan
liputannya lebih cepat dari yang lain, termasuk TVRI.
Seksi sibuk yang lain adalah kantor berita LKBN (Lembaga Kantor
Berita Nasional) Antara menurunkan sepuluh wartawannya - semua
senior. Dengan koordinator Sugiarto, Antara menyebar 3-5
wartawannya secara bergilir, berburu straight News, varia,
komentar dan catatan-kesimpulan. Dari ruang Humas DPR, yang
dilengkapi tiga pesawat teleks, Antara dapat langsung
mengirimkan berita ke daerah-daerah. "Saya senang bisa melayani
masyarakat pembaca dengan cepat," kata Sugiarto.
KNI (Kantor Berita Nasional Indonesia) tak mau kalah. Dengan 21
reporter, KNI berusaha menyadap isu yang berkembang agar tak
didahului yang lain, kata Sarwoko yang mengkoordinasikan
teman-temannya. Meski merasa tak ada sensur dalam memberitaka
kegiatan SU MPR, Sarwoko bersikap "sensur lebih banyak dilakukan
oleh diri sendiri."
Juga tak ada sensur bagi wartawan asing. "Enak bertugas di sini,
isa bicara secara gampang dengan siapa saja," tutur Melinda Liu,
kepala biro NesuJeek di Hongkon. Dalam menggali berita ia
memang lebih mengutamakan bicara dengan sebanyak mungkin sumber.
Selain meliput SU MPR, Melinda Liu ditugasi keliling Indonesia.
Ia sudah dua kali berkunjung ke Indonesia. Apa yang
dilaporkannya ke kantorNeseek di New York? "Pandangan umum
keadaan menyeluruh Indonesia dan sedikit perubahan akibat
pergantian di pemerintahan," tuturnya. Ia cukup sekali saja
menulis laporan untuk majalahnya.
Sedang bagi Susumu Awanohara, Far Eastern Economic Revie "sulit
menyusun berita karena tak membawa highlights yang menonjol." Ia
merasa cukup sekali saja menulis di Revieqei, yakni tentang
"perubahan" kecil dalam pemerintahan, seperti juga jadi
perhatian Melinda tadi. Yang agak antusias adalah Alexander
Fedonine dari Radio dan TV Moskow. Ia merasa pantas melaporkan
tiga kali pembukaan, suasana sidang dan pengambilan sumpah
presiden. "Setiap laporan meliputi gambar 2-3 menit," katanya.
Alhasil para wartawan tak pernah diliputi ketegangan mengkover
SU MPR 1983. Toh, mereka memerlukan jua semacam obat pengendur
saraf. Maka, lewat Ketua Unit Wartawan DPR/MPR Sarwoko, mereka
menyebarkan angket: Siapa angota MPR yang dinilai paling
simpatik, tidak simpatik/angkuh serta yang berbusana terbaik dan
tidak.
Hasilnya, Tatto S. Pradjamanggala (FKP) terpilih sebagai anggota
paling tidak simpatik. Sederetan nama lagi masuk kategori sama:
E.W.P. Tambunan (F-UD), Amir Moertono (F-KP), Isyana Sudjarwo
(F-KP), yang pernah menjadi ketua sementara DPR/MPR, Aulia
Rahman (F-KP) dan Sudardji (F-PP). Menyusul yang paling simpatik
ialah Sabam Sirait (F-PDI) dan Barlianta Harahap (F-PP) sebagai
pembicara terbaik. Sedang yang berbusana terbaik terpilih
Darjatmo (F-KP, bekas ketua DPR/MPR). Sayang, angket yang masuk
cuma 46, padahal yang bertugas tercatat 422 wartawan domestik
dan 44 wartawan manca negara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini