TIGA pagi berturut-turut secara kebetulan kami sarapan bersama
di restoran yang lengang itu. Penampilannya sederhana, rambut
dan kumis rapi, wajahnya tenang. Dari gelagatnya, dia bukan
turis. Nampaknya dia seoran konsultan kulit putih yan dengan
kepala dingin biasa memecakan rupa-rupa persoalan di negara
yang sedang berkembang.
Saya pikir kita sudah pernah bertemu di Yogya. Betul?
Tidak, saya kira. Saya belum pernah ke Yogya. Begitu banyak
sudah saya dengar tentang Yogya. Kota kebudayaan, kota
pendidikan, gaya hidup yang menarik, dan lain-lain. Kapan-kapan
saya akan ke sana.
Anda berlibur atau mengerjakan sesuatu di Indonesia?
Saya bekerja. Sudah saya teken kontrak sebagai konsultan untuk
setahun, dan bisa diperpanjang.
Sudah berapa lama di Indonesia?
Delapan bulan lebih sedikit. Sejak tiba saya tinggal di hotel
ini. Tenteram dan menyenangkan. Sudah delapan bulan di sini dan
belum pernah kecurian. Coba di Afrika. Tentu saya sudah
kecurian. Masalah itu nampaknya berkaiun dengan alkoholisme. Itu
penyakit berat di Afrika dan India, dan belum menjadi penyakit
di sini.
Mudah-mudahan kami bebas dari penyakit itu. Dari lamban status
yang mahal itu. Tahun lalu saya ke Afrika Barat, dan sedih
melihat begitu banyak penjual minuman alkohol di Cotonou. Di
tepi jalan, di pasar, di mana-mana. Malah air bersih (aquades)
dalam botol plastik juga menjadi lambang status, diimpor dari
Prancis.
Akan datang juga ke Indonesia. Orang-orang muda getol mencontoh
lewat iklan dan media massa. Orang Barat yang modern, yang
mereka kagumi itu, minum alkohol. Dan mereka minum alkohol
supaya modern. Begitu sederhana. Lihatlah Filipina. Luar biasa.
Mereka mengkonsumsi bir rata-rata 40 liter per orang per tahun.
Bocah-bocah minum bir di Manila. Konsumsi mereka jauh lebih
tinggi dari konsumsi bangsa kami. Di negeri kami konsumsi
alkohol dan rokok malah sudah menurun. Dan pilot Indonesia tentu
banyak sekali merokok. Gila itu iklan. Diiklankan pilot merokok,
dan itu mempengaruhi peri-laku pilot. Kalau tidak banyak
merokok, bukan pilot namanya.
Pekerjaan sebagai konsultan tentunya menarik.
Ya . . . begitulah. Dari satu sudut menarik, karena berbagai hal
yang baru dapat saya lihat dan pelajari. Tapi di pihak lain . .
.
Bagaimanapun tentu lebih banyak menariknya.
Untuk saya tidak. Saya biasa berterus terang, karena itu
beberapa rekan tak suka sama saya. Sekiranya ini penempaun saya
yang pertama di luar negeri, tentu saya sudah pulang. Tidak
tertahankan.
Persoalan birokrasi?
Ya, sebagian. Cukup rumit. Maaf saya terus terang. Pejabat di
sini pergi. Pergi. Pergi. Entah ke mana, entah untuk apa, tapi
pergi. Mungkin banyak pergi karena tidak becus, tak tahu saya.
Atau untuk uang jalan. Seremoni, seremoni, seremoni ... Tambah
makalah, tarnbah laporan, tambah pertemuan, tapi yang dikerjakan
tidak ada, atau cuma sedikit. Pekerjaan kami macet. Sudah
delapan bulan di sini, saya belum bisa menghsilkan apa-apa.
Dalam perjanjian ada counterpart ahli orang Indonesia. Itu belum
ada sampai sekarang, dan belum ada gambaran. Saya tahu, akhirnya
akan "beres" juga. Semuanya beres, tujuan tercapai di atas
kertas. Tapi saya tidak tahan.
Ini cerita lama. Masalah sikap, masalah kelembagaan. Kebutuhan
akan tenaa ahli dari luar negeri dilebih-lebihkan.
Ya, saya tahu. Beberapa tahun saya bekerja di Kenya dan
Thailand. Banyak persamaan dengan di Indonesia. Tanpa bekal
pengalaman getir tersebut sebelumnya, saya sudah meninggalkan
Indonesia.
Banyakkah konsultan berpikir seperti anda?
Saya kira tidak. Ini soal rezeki. Dari sudut uang, siapa tidak
tertarik jadi konsultan? Lebih lama lebih baik, banyak sekali
uang bisa ditabung. Tapi yang jelas saya tidak sendirian. Ada,
kasus lain, dan konsultan yang itu mengagumkan. Belum lama di
Indonesia dia mengundurkan diri. Mengapa? Dia bertugas
meningkatkan keterampilan kelompok tertentu. Di luar dugaannya,
anggota kelompok itu ternyata lebih terampil dari dia. Malah dia
yang perlu belajar, bukan orang Indonesia. Dan dia begitu jujur,
mengundurkan diri.
Apa kami merrlerlukan konsultan asing?
Ya, dan tidak. Sukar membuat generalisasi. Saya cenderung
mengatakan tidak. Saya tahu betul sebuah proyek besar di Afrika
dalam praktek, konsultan di situ tidak menyumbang apa-apa.
Nihil. Yang tahu cuma orang dalam, tentunya. Di pihak lain,
gunanya ya ada juga. Sering dana asing bisa masuk kalau ada
konsultan asing di situ, dan laporan perlu dibuat dalam bahasa
asing. Dalam hal saya kalau toh keadaan seperti ini, saya tidak
perlu didatangkan ke Indonesia. Yang lebih penting, orang
Indonesia lebih banyak berada di tempat. Sederhanakan prosedur.
Lakukanlah sesuatu dengan serius.
Kalau begitu anda mantap pulang.
Mantap. Tidak usah diperpanjang lagi. Tapi sebelum pergi saya
akan mengunjungi Yogya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini