Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Konsultan mau pulang

Seorang konsultan luar negeri menyatakan terus terang, sebagian birokrasi indonesia cukup rumit, pejabat selalu pergi sehingga pekerjaan macet. konsultan tidak penting, yang penting sederhanakan prosedur.

19 Maret 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TIGA pagi berturut-turut secara kebetulan kami sarapan bersama di restoran yang lengang itu. Penampilannya sederhana, rambut dan kumis rapi, wajahnya tenang. Dari gelagatnya, dia bukan turis. Nampaknya dia seoran konsultan kulit putih yan dengan kepala dingin biasa memecakan rupa-rupa persoalan di negara yang sedang berkembang. Saya pikir kita sudah pernah bertemu di Yogya. Betul? Tidak, saya kira. Saya belum pernah ke Yogya. Begitu banyak sudah saya dengar tentang Yogya. Kota kebudayaan, kota pendidikan, gaya hidup yang menarik, dan lain-lain. Kapan-kapan saya akan ke sana. Anda berlibur atau mengerjakan sesuatu di Indonesia? Saya bekerja. Sudah saya teken kontrak sebagai konsultan untuk setahun, dan bisa diperpanjang. Sudah berapa lama di Indonesia? Delapan bulan lebih sedikit. Sejak tiba saya tinggal di hotel ini. Tenteram dan menyenangkan. Sudah delapan bulan di sini dan belum pernah kecurian. Coba di Afrika. Tentu saya sudah kecurian. Masalah itu nampaknya berkaiun dengan alkoholisme. Itu penyakit berat di Afrika dan India, dan belum menjadi penyakit di sini. Mudah-mudahan kami bebas dari penyakit itu. Dari lamban status yang mahal itu. Tahun lalu saya ke Afrika Barat, dan sedih melihat begitu banyak penjual minuman alkohol di Cotonou. Di tepi jalan, di pasar, di mana-mana. Malah air bersih (aquades) dalam botol plastik juga menjadi lambang status, diimpor dari Prancis. Akan datang juga ke Indonesia. Orang-orang muda getol mencontoh lewat iklan dan media massa. Orang Barat yang modern, yang mereka kagumi itu, minum alkohol. Dan mereka minum alkohol supaya modern. Begitu sederhana. Lihatlah Filipina. Luar biasa. Mereka mengkonsumsi bir rata-rata 40 liter per orang per tahun. Bocah-bocah minum bir di Manila. Konsumsi mereka jauh lebih tinggi dari konsumsi bangsa kami. Di negeri kami konsumsi alkohol dan rokok malah sudah menurun. Dan pilot Indonesia tentu banyak sekali merokok. Gila itu iklan. Diiklankan pilot merokok, dan itu mempengaruhi peri-laku pilot. Kalau tidak banyak merokok, bukan pilot namanya. Pekerjaan sebagai konsultan tentunya menarik. Ya . . . begitulah. Dari satu sudut menarik, karena berbagai hal yang baru dapat saya lihat dan pelajari. Tapi di pihak lain . . . Bagaimanapun tentu lebih banyak menariknya. Untuk saya tidak. Saya biasa berterus terang, karena itu beberapa rekan tak suka sama saya. Sekiranya ini penempaun saya yang pertama di luar negeri, tentu saya sudah pulang. Tidak tertahankan. Persoalan birokrasi? Ya, sebagian. Cukup rumit. Maaf saya terus terang. Pejabat di sini pergi. Pergi. Pergi. Entah ke mana, entah untuk apa, tapi pergi. Mungkin banyak pergi karena tidak becus, tak tahu saya. Atau untuk uang jalan. Seremoni, seremoni, seremoni ... Tambah makalah, tarnbah laporan, tambah pertemuan, tapi yang dikerjakan tidak ada, atau cuma sedikit. Pekerjaan kami macet. Sudah delapan bulan di sini, saya belum bisa menghsilkan apa-apa. Dalam perjanjian ada counterpart ahli orang Indonesia. Itu belum ada sampai sekarang, dan belum ada gambaran. Saya tahu, akhirnya akan "beres" juga. Semuanya beres, tujuan tercapai di atas kertas. Tapi saya tidak tahan. Ini cerita lama. Masalah sikap, masalah kelembagaan. Kebutuhan akan tenaa ahli dari luar negeri dilebih-lebihkan. Ya, saya tahu. Beberapa tahun saya bekerja di Kenya dan Thailand. Banyak persamaan dengan di Indonesia. Tanpa bekal pengalaman getir tersebut sebelumnya, saya sudah meninggalkan Indonesia. Banyakkah konsultan berpikir seperti anda? Saya kira tidak. Ini soal rezeki. Dari sudut uang, siapa tidak tertarik jadi konsultan? Lebih lama lebih baik, banyak sekali uang bisa ditabung. Tapi yang jelas saya tidak sendirian. Ada, kasus lain, dan konsultan yang itu mengagumkan. Belum lama di Indonesia dia mengundurkan diri. Mengapa? Dia bertugas meningkatkan keterampilan kelompok tertentu. Di luar dugaannya, anggota kelompok itu ternyata lebih terampil dari dia. Malah dia yang perlu belajar, bukan orang Indonesia. Dan dia begitu jujur, mengundurkan diri. Apa kami merrlerlukan konsultan asing? Ya, dan tidak. Sukar membuat generalisasi. Saya cenderung mengatakan tidak. Saya tahu betul sebuah proyek besar di Afrika dalam praktek, konsultan di situ tidak menyumbang apa-apa. Nihil. Yang tahu cuma orang dalam, tentunya. Di pihak lain, gunanya ya ada juga. Sering dana asing bisa masuk kalau ada konsultan asing di situ, dan laporan perlu dibuat dalam bahasa asing. Dalam hal saya kalau toh keadaan seperti ini, saya tidak perlu didatangkan ke Indonesia. Yang lebih penting, orang Indonesia lebih banyak berada di tempat. Sederhanakan prosedur. Lakukanlah sesuatu dengan serius. Kalau begitu anda mantap pulang. Mantap. Tidak usah diperpanjang lagi. Tapi sebelum pergi saya akan mengunjungi Yogya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus