PENAMBANGAN bauksit di Bintan, Kepulauan Riau dewasa ini
kritis. Cadangan bijih bauksit kwalitas ekspor yang dikuras
sejak 1935 kini tinggal 7 tahun lagi. Sesudah itu kegiatan
penambangan bauksit akan terpaksa disetop bila tidak segera
dibangun proyek alumina yang mengolah bauksit berkadar rendah.
Untuk kelanjutan umur pertambangan tersebut, kini ada 2 daerah
lokasi proyek alumina yang telah selesai dilakukan studi
kelayakannya, masing-masing di Bintan dan Kuala Tanjung
(Asahan).
"Kedua okasi itu ada plus minusnya," kata Hadianto Martosubroto
Dir-Ut PT Aneka Tambang kepada Tim Komisi VI DPR yang meninjau
ke sana baru-baru ini. Komisi VI DPR tampaknya cenderung memilih
Bintan sebagai tempat lokasi proyek. "Idealnya di Bintan,
apalagi kalau dikaitkan dengan program pengembangan wilayah dan
proyek Batam," kata Jakob Tobing Ketua Komisi VI.
Adalah Kaiser Engineers dari Amerika Serikat yang diserahi tugas
oleh PT Aneka Tambang untuk mengadakan studi kelayakan proyek
alumina Bintan pada 1974, dengan pembiayaan dari Bank Exim
Amerika. Kapasitas produksi pabrik alumina ketika itu sebesar
500.000 ton. Kemudian untuk memungkinkan gambaran ekonomi yang
lebih baik Kaiser meningkatkan kapasitas pabrik menjadi 600.000
ton setahun. Untuk pelaksanaan pembangunannya pemerintah RI
menawarkannya kepada Rusia. Tapi karena kesulitan teknis serta
jadwal waktu untuk pembangunan proyek ini tidak jelas, Juli 1977
pemerintah memutuskan tidak menggunakan kredit Rusia.
Terakhir proyek ini ditawarkan kepada perusahaan Klockner dari
Jerman Barat dengan Alcoa sebagai kontraktor umum. Tapi hasil
studi kelayakan yang disodorkan Klockner dan Alcoa itu pun
ditolak pemerintah. "Biayanya 36% lebih tinggi dari perkiraan
Kaiser Engineers," ucap ir. Abdulmajid, Direktur PT Aneka
Tambang. Misalnya untuk membangun kantor proyek saja mereka
sodorkan biaya sampai $ 1 juta, padahal, menurut Hadiyanto
"cukup dengan biaya $ 100 ribu saja."
Namun demikian masalahnya bukanlah itu. Bila proyek alumina ini
didirikan di Kuala Tanjung banyak biaya yang harus dikeluarkan.
Yang menguntungkan, menurut pejabat Aneka Tambang, hanyalah
tersedianya listrik yang cukup dari proyek Asahan. Meskipun
begitu masih dibutuhkan tenaga uap 50-70% dari kebutuhan listrik
untuk memproses alumina itu. Tanah tempat lokasi pabrik
berawa-rawa, perlu pengurukan dan tiang pancang. Untuk
pembongkaran bauksit di Kuala Tanjung perlu pula investasi
tambahan untuk pelabuhan. Selain itu juga diperlukan armada
kapal laut untuk mengangkut sebanyak 1,7 juta ton bauksit
setahun. Juga tempat pembuangan kotoran pencegah polusi.
Tapi yang memusingkan Dirut Aneka Tambang adalah soal dana.
Diperkirakan kalau proyek ini diteruskan di Bintan akan menelan
investasi $ 400 juta. "Dari mana dananya belum terbayang oleh
saya," katanya. Dana yang demikian besar tidaklah mungkin
diperoleh dari hasil ekspor bauksit sendiri. Dengan harga $ 8,33
per ton tahun 1977 hanya diperoleh devisa senilai $ 9,5 juta.
Meskipun tahun lalu harganya naik menjadi $ 9,83'setiap ton
f:o.b. pelabuhan Kijang, total nilai ekspornya hanya $ 9,6 juta.
Dan mulai April 1979 lalu harganya naik lagi menjadi $ 10,85 per
ton f:o.b. pelabuhan Kijang di Bintan. Tingkat harga ini masih
di bawah harga yang dianjurkan Asosiasi Bauksit Internasional
(IBA) untuk Indonesia sebesar $ 15 per ton f.o.b .
Jakob Tobing mengungkapkan "sulit untuk dipikul APBN dalam 5
tahun ini." Artinya, sekalipun semua pihak sepakat pabrik
alumina itu harus menjadi kenyataan, namun soal kapannya masih
merupakan tanda tanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini