Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TUMPAH juga rasa kecewa Marsheilla Gischa Islami, 19 tahun. Saat bertanding di turnamen bulu tangkis Chinese Taipei International Masters 2016, dua pekan lalu, Gischa yang berpasangan dengan Yantoni Edi Saputra ini kalah oleh pasangan ganda campuran Taiwan dalam waktu yang sangat singkat: hanya 26 menit. "Belum capek, sudah kalah," katanya di Jakarta, Rabu pekan lalu.
Pasangan yang baru menjuarai Singapore International Series pada bulan lalu itu memang menguasai game pertama dengan skor 11-5. Tapi, setelah merasakan cepatnya set pertama berlalu, di game berikutnya mereka menjadi terburu-buru. Gischa/Yantoni pun melakukan sejumlah kesalahan. Pasangan Tsen Min Hao/Lin Jhih Yun kemudian memanfaatkan kelemahan itu dan mampu merebut tiga game berturut-turut dengan skor 10-12, 8-11, dan 7-11. "Poinnya sangat singkat," ujar Gischa saat ditemui di Pusat Latihan Bulu Tangkis Pengurus Pusat Persatuan Bulu Tangkis Seluruh Indonesia (PP PBSI), Cipayung, Jakarta.
Gischa kaget karena baru pertama kali merasakan sistem poin 5 x 11 dalam turnamen internasional. Federasi Bulu Tangkis Dunia (BWF) memang sedang menguji coba sistem penghitungan poin baru itu di turnamen level grand prix dan tingkat-tingkat di bawahnya, seperti international masters. Uji coba akan terus dilakukan hingga Desember 2017, sebelum diputuskan dipakai dalam semua pertandingan resmi BWF.
Sistem penghitungan poin baru itu membuat semua pemain, tunggal atau ganda, harus siap memainkan 5 set dengan game point 11. Pemain kemudian harus meraih skor 3-0, 3-1, atau 3-2 untuk menjadi pemenang. Sistem rally point juga berlaku, sehingga setiap bola mati akan menghasilkan angka bagi lawan. Hasilnya, pertandingan menjadi lebih cepat usai. Sementara sebelumnya satu pertandingan rata-rata berlangsung di atas 30 menit, dalam turnamen di Taiwan itu pertandingan umumnya sudah rampung sebelum 30 menit. Bahkan ada beberapa yang di bawah 20 menit.
Dengan uji coba sistem baru ini, bulu tangkis menjadi cabang olahraga yang paling sering melakukan perubahan dalam penghitungan poin. Bila jadi diterapkan, itu akan menjadi perubahan sistem poin ketiga kalinya. Awalnya game point yang berlaku di olahraga tepok bulu ini adalah 15 dengan best of three atau 3 x 15. Pada 2002, sistem itu diubah menjadi 5 x 7 dan sejak 2006 sistem 3 x 21 yang diberlakukan.
Sistem 3 x 15 dianggap terlalu menguras waktu. Sistem perpindahan bola yang dipakai membuat pemain yang melakukan servis baru bisa meraih poin saat bola mati di lapangan lawan. Pertandingan kerap berlangsung berlarut-larut. Karena itulah sistem 5 x 7 diperkenalkan. Tapi sistem ini hanya dipakai setahun dan akhirnya ditinggalkan karena pada akhirnya durasi permainan juga tak banyak berubah. Pada 2006, BWF meresmikan sistem 3 x 21 dengan rally point, yang dipraktekkan hingga kini.
Presiden BWF Poul-Erik Hoyer Larsen menyatakan, sistem 5 x 11 diharapkan menciptakan kegembiraan serta ketertarikan lebih terhadap bulu tangkis dan pada saat yang sama mengurangi durasi pertandingan. "Dalam beberapa tahun terakhir, panjangnya durasi pertandingan, khususnya saat ada perbedaan poin cukup besar, telah mengurangi tingkat kegembiraan," katanya dalam situs resmi BWF. Durasi pertandingan yang terlalu lama juga membuat cabang olahraga ini kurang mampu memikat iklan di televisi.
Hoyer Larsen, mantan atlet Denmark yang kini berusia 51 tahun, mengatakan telah berkonsultasi dengan pemain dan delegasi BWF sebelum memilih opsi 5 x 11 untuk diujicobakan. "Kami percaya penyesuaian ini bisa membawa kita lebih dekat pada apa yang hendak kita capai: meningkatkan kualitas olahraga ini dan membuatnya lebih menarik, khususnya untuk anak-anak muda, yang lebih suka olahraga cepat dan dinamis," ujarnya.
Atlet senior Indonesia, Vita Marissa, justru menilai tak semua aspek permainan terakomodasi pada sistem poin baru. Dengan poin game 11, aspek yang bisa muncul hanya kecepatan. Padahal di pertandingan bulu tangkis ada juga aspek daya tahan, strategi, dan seni bermain. Ia lebih suka sistem poin 21, yang mampu mengakomodasi semua sisi itu.
Pada sistem poin 21 dengan rally point—pemenang reli langsung mendapatkan poin tanpa harus pindah bola—bukan hanya daya tahan yang memainkan peran, tapi juga kepintaran mengatur strategi. "Yang pintar berstrategi punya kesempatan menang. Tapi yang tidak pintar pun, kalau punya daya tahan bagus, dia bisa membuat pertandingan berlangsung ketat," ucap pemain yang kini lebih banyak menjadi sparring partner para juniornya di pelatnas dan di klub ini.
Dalam sistem poin 11, menurut Vita, hanya pemain berpengalaman yang bakal dominan. "Kalau sistemnya begini, gue aja bisa main," kata pemain 35 tahun ini di Cipayung. "Tinggal cari saja satu pemain muda yang punya power kuat. Gue kan sudah berpengalaman dalam penempatan bola. Daya tahan enggak terlalu berpengaruh karena poinnya pendek."
Vita benar. Sistem penghitungan poin baru itu sempat disambut positif pemain senior di luar negeri. Lee Chong Wei, pemain Malaysia yang kini 33 tahun, misalnya, menyatakan hasratnya tampil di Olimpiade Tokyo 2020 bila sistem penghitungan poin baru sudah diterapkan. "Bahkan Lin Dan juga mungkin bermain lagi karena sistem penghitungan poin itu lebih baik bagi pemain senior seperti kami," ujarnya seperti dikutip The Star. Lin Dan adalah pemain Cina yang kini berusia 33 tahun. "Kami punya pengalaman. Bermain lebih singkat jelas lebih baik karena kami bisa mengontrol bola lebih baik," kata Chong Wei.
Selain pemain senior, pemain Eropa dinilai ikut diuntungkan. Asisten pelatih tunggal putra pelatnas, Irwansyah, mengatakan pemain Eropa lebih senang sistem penghitungan poin itu karena mereka suka permainan cepat dan tak terlalu banyak variasi. "Apalagi pemain Eropa punya tangan yang kuat," ujarnya. Ia tahu banyak soal pemain Eropa karena sempat melatih di Inggris selama sepuluh tahun dan menjadi pelatih tim nasional Irlandia selama tiga tahun, sebelum kembali ke Indonesia untuk menjadi pelatih di pelatnas.
Kepala Bidang Pengembangan PP PBSI Basri Yusuf juga menyatakan sistem penghitungan poin baru akan membuat pemain Eropa lebih berpeluang berprestasi. Saat penghitungan poin masih 15, yang lebih menguras fisik, ia melihat jarang ada pemain Eropa berusia di atas 30 tahun yang bisa menjadi juara di level dunia. Tapi dengan sistem penghitungan poin 21, apalagi 11 rally point, pemain berusia 33 tahun bisa menjuarai Olimpiade.
Namun Kepala Pelatih Ganda Campuran Pelatnas PP PBSI, Richard Mainaky, menyatakan tak terlalu khawatir dengan rencana penerapan sistem 5 x 11. "Selama ini prinsip saya adalah membatasi serangan musuh, kemudian menyerang. Caranya dengan no lob," katanya. Namun ia mengakui, dengan poin game 11 itu, para pemain harus lebih konsisten. "Mereka tak boleh panik. Tugas pelatih adalah meramu pola latihan dan strategi apa yang tepat."
Dari segi fisik, Kepala Subbidang Fisik Pelatnas PP PBSI Felix Ary Bayu Marta mengatakan sistem penghitungan poin baru menuntut pola latihan berbeda. Dengan poin singkat, intensitas permainan pun akan tinggi. Karena itu, pemain akan lebih banyak membutuhkan daya tahan anaerobik. "Kami bisa melatihnya dengan lactate tolerance training," ujarnya. Pola latihan yang dilakukan antara lain full sprint 400 meter dalam 60 detik. Bila latihan tersebut bisa dilakukan dalam dua-lima kali tiap berlatih, ia yakin fisik pemain akan mampu menghadapi sistem poin baru.
Bukan hanya soal fisik, atlet juga harus bekerja keras untuk beradaptasi secara mental. Marsheilla Gischa mengatakan sistem baru ini memaksa pemain muda seperti dia sudah harus tahu dan yakin dengan rencana permainan begitu masuk lapangan. "Tak bisa meraba-raba lagi," katanya.
Gloria Emanuelle Widjaja, pemain ganda campuran yang kandas di semifinal Taipei Masters, menyatakan sistem penghitungan poin seperti itu menuntut pemain harus sudah panas begitu masuk lapangan. Endang Nursugianti, asisten pelatih ganda putri pelatnas, sependapat dengan Gloria. "Fokus pemain harus dua kali lipat. Sebab, salah sedikit, akibatnya bisa fatal," ujar Endang.
Gadi Makitan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo