Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Menutup Celah di Kelas Bawah

DI tengah melempemnya penjualan, arus investasi otomotif terus berdatangan. Meski ada yang rontok, tak sedikit yang datang untuk mencoba peruntungan di pasar kendaraan ataupun suku cadang. Masih ada keyakinan sektor ini perlahan-lahan bangkit paling tidak dalam dua tahun ke depan.

24 Oktober 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SETIAP kali menyebut nama Sigra, Amelia Tjandra tampak bungah. Bagi Direktur Pemasaran PT Astra Daihatsu Motor itu, Sigra jadi penyambung napas di tengah lesunya penjualan mobil dalam tiga tahun terakhir. Angka penjualan Sigra memang luar biasa. Sejak diluncurkan pada 2 Agustus hingga akhir September, minibus tujuh penumpang di kelas low cost green car (LCGC) itu terjual 13.469 unit. Jika angka itu dibagi dengan jam kerja dealer, setiap menit ada satu unit Sigra yang terjual.

"Sigra laris karena sudah ditunggu-tunggu konsumen," kata Amelia saat ditemui Tempo di dealer Astra Daihatsu International Kelapa Gading, Jakarta Utara, akhir bulan lalu. Dengan pencapaian itu, Astra Daihatsu berani mematok target penjualan tak kurang dari 3.000 unit Sigra per bulan.

Nasib serupa dialami kembaran Sigra, Toyota Calya. Sepanjang Agustus lalu, ada 16.868 unit Toyota Calya yang dipesan. "Dua kali lipat dari target awal," ujar Kepala Divisi Pemasaran PT Toyota Astra Motor Anton Jimmy Suwandy.

Sebulan kemudian, angka pemesanan Calya membengkak menjadi 20.364 unit. Anton menyebut prestasi Calya melampaui Toyota Avanza, sang "kakak" yang dilahirkan 13 tahun silam. Ketika itu, Avanza dinobatkan sebagai produk Toyota terlaris di Indonesia lantaran laku 15 ribu unit satu bulan setelah dirilis.

Suksesnya penjualan Sigra dan Calya mengukuhkan posisi LCGC sebagai model andalan produsen kendaraan nasional. Mobil kembar buatan pabrik Astra Daihatsu di Karawang, Jawa Barat, ini meneruskan kiprah Toyota Agya dan Daihatsu Ayla, LCGC generasi pertama yang dirilis tiga tahun lalu. Gurihnya pasar mendorong produsen menjadikan mobil-mobil kelas bawah sebagai tulang punggung industri otomotif nasional.

Direktur Utama PT Astra International Prijono Sugiarto mengatakan pengembangan kendaraan murah membuat industri kembali bergairah. Lantaran kandungan lokalnya di atas 95 persen, biaya produksi dan harga jualnya bisa ditekan. Pasar kendaraan pun perlahan terdongkrak. "Mau tak mau tren produk LCGC akan berlanjut," katanya saat ditemui di kantornya bulan lalu.

Namun pengembangan satu model saja tak cukup untuk menjaga pertumbuhan bisnis. Saat angka penjualan tahunan mentok di kisaran 1,05-1,1 juta unit, pabrikan berupaya memperkaya lini produknya, terutama di kelas menengah-bawah yang pasarnya masif. Karena itu, selain memacu penjualan LCGC, beberapa perusahaan merilis model baru, yang spesifikasinya berdekatan dengan produk lama, demi menutup celah pasar menengah-bawah. Resep standarnya antara lain mesin 1.500 cc yang hemat bahan bakar, kabin untuk tujuh penumpang, dan harga Rp 150-250 juta.

Salah satu contohnya ialah Toyota, yang tahun ini meluncurkan minivan Sienta. Produk "perantara" Innova dan Avanza ini dirancang agar Toyota kian dominan di pasar multi-purpose vehicle (MPV) tujuh penumpang. Pesaing terdekatnya, Honda, merilis BR-V dan HR-V. Model perkawinan MPV, sedan, dan sport utility vehicle (SUV) itu menjejali segmen menengah-bawah, yang selama ini jarang diisi Honda. Adapun Suzuki mencoba peruntungan dengan memperkenalkan SX4 S-Cross dan Jimny versi baru untuk mengerek pasar small SUV yang lesu.

Deputy Managing Director 4W PT Suzuki Indomobil Sales Davy Tuilan yakin SX4 S-Cross bisa terjual seribu unit per bulan atau merebut 10 persen pangsa pasar SUV. Jika Jimny jadi meluncur tahun depan, dia yakin penjualan Suzuki kembali bergairah. "Pasar SUV pun bisa membaik," ucapnya.

Adapun Honda BR-V kini jadi bintang baru PT Honda Prospect Motor. Karena laku hingga 31.269 unit pada Januari-September, crossover utility vehicle (CUV) tujuh penumpang ini membawa Honda ke posisi kedua merek kendaraan terlaris di Indonesia. "Honda BR-V pun menjadi model terlaris di berbagai motorshow," kata Direktur Pemasaran dan Purnajual Honda Prospect Jonfis Fandy.

Melihat agresifnya manuver produsen dan membaiknya penjualan menjelang akhir tahun, banyak yang yakin industri otomotif nasional masih atraktif. Arus investasi pun bakal kian deras. Wakil Presiden PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN) Warih Andang Tjahjono mengatakan Indonesia kini punya posisi kuat di antara negara-negara yang bermain di industri manufaktur kendaraan. Toyota, misalnya, menempatkan Indonesia pada posisi keempat negara terpenting setelah Amerika Serikat, Jepang, dan Cina. "Soal penjualan, kita sudah mengalahkan Thailand, Malaysia, bahkan Arab Saudi," kata Warih.

Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto berupaya menjemput bola dengan datang ke Jepang dua pekan lalu. Di Negeri Sakura, Airlangga menagih janji Toyota dan Daihatsu untuk mengucurkan tambahan modal di Indonesia. "Kami melihat persoalan yang mereka hadapi saat ini sekaligus menanyakan komitmen atas rencana investasinya," kata Airlangga, melalui keterangan tertulis.

Hasilnya, menurut dia, Toyota Motor Corp akan menambah modal Rp 20 triliun hingga 2019. Airlangga mendorong Toyota untuk memberdayakan pemasok lokal, sebelum mendirikan perusahaan patungan dengan Daihatsu yang akan memasarkan aneka mobil kompak tahun depan. Daihatsu juga diminta mengembangkan fasilitas penelitian dan pengembangan, "Yang bisa dimanfaatkan untuk kepentingan dalam negeri ataupun ASEAN," kata Airlangga.

Di balik kabar baik itu, ada juga pemain yang mengalami nasib buruk tahun ini. Dua agen pemegang merek kendaraan, PT Ford Motor Indonesia dan PT Mazda Motor Indonesia, tutup lantaran penjualan yang tak menggembirakan. Ford, yang menutup jaringan penjualan sejak Januari, belakangan digugat ganti rugi Rp 1 triliun oleh para pemilik dealer yang kadung menanamkan modal.

Adapun nasib Mazda jauh lebih baik. Sebab, seluruh keagenan dan layanan pascajualnya dilanjutkan oleh PT Eurokars Motor Indonesia. "Jaringan distribusi dari 45 dealer Mazda akan dialihkan ke Eurokars mulai Februari 2017," kata Executive Chairman Eurokars Karsono Kwee melalui surat elektronik.

Melihat kondisi ini, Ketua Asosiasi Industri Sepeda Motor Indonesia dan Komisaris PT Indomobil Sukses Internasional, Gunadi Sindhuwinata, menilai ada fenomena berulang: pemain kolaps lantaran agresif memburu pasar tapi alpa membangun basis manufaktur. Padahal, jika memiliki pabrik lokal, kata dia, daya saingnya akan bertambah, minimal dari sisi harga dan citra merek. "Semua tentu ingin cepat tumbuh. Tapi kenyataannya memang tak bisa instan," ujarnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus