Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bahasa

Madong Lubis: Lagu dan Buku

24 Oktober 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bandung Mawardi
*)Pengelola Jagat Abjad Solo

TIGA tahun sebelum peristiwa bersejarah Sumpah Pemuda, Madong Lubis (1890-1959) mempersembahkan lagu-lagu bocah. Lirik lagu berbahasa Indonesia. Kita menganggap sebutan bahasa Indonesia sudah berlaku sebelum 1928. Sebuah lagu mungkin bukti kecil untuk melacak geliat bahasa Indonesia. Madong Lubis memajukan bahasa Indonesia melalui lagu-lagu merdu, sebelum rajin menulis buku pelajaran bahasa Indonesia.

Buku berisi lagu-lagu gubahan Madong Lubis berjudul Taman Kesoema (1925). Buku digunakan dalam pengajaran lagu di sekolah rendah. Lagu-lagu berlirik sederhana agar gampang disenandungkan bocah-bocah di tanah jajahan. Lagu berjudul Selamat Tinggal Tanah Airkoe memuat gagasan-gagasan tanah air mendahului kalimat tercantum di Sumpah Pemuda: Selamat tinggal tanah airkoe/ Tanahkoe, tempat darah tertoempah/ Hilanglah engkau dari matakoe/ Akoe ini pergi mentjari nafkah. Di lagu, tanah air itu Sumatera. Pengertian tanah air serupa dalam puisi gubahan Muhammad Yamin. Tanah air belum paten untuk Indonesia.

Madong Lubis tak selalu memikirkan dan mengimajinasikan Sumatera. Beliau memiliki kemauan memuliakan Indonesia. Bocah-bocah pun diajak bersenandung Indonesia melalui lagu apik berjudul Indonesia Permai. Judul memastikan Indonesia adalah ide besar pada masa 1920-an. Lirik buatan Madong Lubis: Tengok bagoesnja tanah Indonesia/ Tjantik dan molek besar bagia/ Soeboer sentosa sangat moelia/ Kita oetjapkan, madjoelah dia. Di sekolah, lagu-lagu pujian Indonesia membuat bocah-bocah semakin bermimpi kebahagiaan tanpa penjajahan. Lirik lagu berbahasa Indonesia tentu berdampak ke tata cara mengimajinasikan Indonesia, berbeda rasa dan haluan dari kaum elite terpelajar saat memikirkan Indonesia menggunakan bahasa Belanda.

Persembahan buku lagu mendahului Sumpah Pemuda (1928), Kongres Bahasa Indonesia I (1938), dan Kongres Bahasa Indonesia II (1954). Siapakah Madong Lubis? Buku-buku mengenai kesaksian dan sejarah Sumpah Pemuda tak mencantumkan nama Madong Lubis. Kongres Bahasa Indonesia I di Solo juga belum memuat nama Madong Lubis. Kita mulai menemukan informasi dalam Kongres Bahasa Indonesia II di Medan, 28 Oktober-2 November 1954. Beliau turut menjadi anggota panitia dan pembicara di seksi D bertopik "Bahasa Indonesia dalam Pergaulan Sehari-hari". Peran dalam kongres menggenapi keseriusan menulis buku-buku kebahasaan untuk pendidikan-pengajaran: Paramasastera Sederhana, Paramasastera Landjut, dan Keindahan Bahasa Indonesia. Jusuf Abdullah Puar memuji Madong Lubis telah "meninggalkan tonggak-tonggak bernilai" selaku penulis buku bahasa, Ketua Lembaga Bahasa Indonesia, dan penggubah lagu (Pandji Masjarakat, 1 Januari 1960).

Madong Lubis sering marah jika orang-orang menggunakan bahasa Indonesia sembarangan dalam pelajaran di sekolah, pers, dan sastra. Beliau biasa dianggap "gila bahasa". Awaludin Ahmad dalam tulisan berjudul "Madong Lubis: Guru Bahasa dan Ahli Bahasa Indonesia yang Dilupakan" di Horison edisi nomor 3, 1979, mencatat pengabdian Madong Lubis sebagai guru bahasa Indonesia. Pada 1911-1953, beliau adalah guru di pelbagai sekolah di Sumatera. Kiprah selama memajukan bahasa Indonesia dihormati kaum intelektual, sastrawan, dan pemerintah dengan mengabadikan Madong Lubis sebagai nama jalan di Medan dan Taman Perpustakaan Madong Lubis. Dulu kalangan pendidik dan penggerak bahasa Indonesia di Medan pernah mengusulkan ke pemerintah agar Madong Lubis diangkat sebagai pahlawan nasional. Usaha dan usul tak pernah berlanjut sampai Madong Lubis perlahan tak lagi dikenali oleh para pembelajar bahasa Indonesia.

Ketekunan dan gairah memajukan bahasa Indonesia melalui lagu dan buku pelajaran gampang dilupakan tanpa sesalan. Lagu untuk bocah (1925) dan pemikiran-pemikiran mumpuni dalam Kongres Bahasa Indonesia II (1954) seperti catatan terselip dalam buku sejarah besar bahasa Indonesia. Buku-buku pelajaran bahasa Indonesia garapan Madong Lubis pun menghilang dari rak perpustakaan dan tak pernah masuk lagi di sekolah-sekolah. Konon bahasa Indonesia telah maju meski harus menghilangkan buku-buku lawas berdalih kedaluwarsa. Bermula dan berakhir di Medan, Madong Lubis terus mengumumkan bahasa Indonesia sebagai bahasa mulia dan berkhasiat. Episode itu nostalgia kecil saat kita terbiasa memperingati Sumpah Pemuda tanpa ingin menambah daftar tokoh bahasa Indonesia, dari masa ke masa.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus