Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DIIRINGI sorakan penonton di tepi lintasan, Eliud Kipchoge merentangkan ta--ngan dan tersenyum lebar saat melintasi gapura finis maraton di Kota Wina, Austria, pada Sabtu, 12 Oktober lalu. Catatan waktunya 1 jam 59 menit 40 detik. “Momen terbaik dalam hidupku,” kata Kipchoge seperti dilapor-kan ESPN.
Latihannya selama hampir lima bulan untuk ajang pemecahan rekor maraton 1:59 Challenge yang disponsori perusahaan kimia Inggris, Ineos, itu terbayar tuntas. Atlet 34 tahun asal Kenya itu menjadi pelari pertama yang bisa menempuh jarak 42,195 kilometer dalam waktu kurang dari dua jam. “Rasanya luar biasa bisa membuat sejarah seperti yang dilakukan Sir Roger Bannister pada 1954,” tutur Kipchoge. Bannis-ter adalah pelari pertama yang mampu menempuh jarak 1 mil (sekitar 1,6 kilometer) kurang dari empat menit.
Kipchoge bahkan mematahkan rekor dunia atas namanya sendiri, 2 jam 1 menit 39 detik, yang dibuatnya di Berlin Marathon tahun lalu. Meski demikian, catatan waktu-nya di Wina tak diperhitungkan sebagai rekor resmi. “Di Berlin adalah urus-an ber-lari untuk membuat rekor dunia,” ujar Kipchoge seperti dilaporkan New York Times. “Di Wina, aku berlari untuk membuat sejarah.”
Ini kedua kalinya Kipchoge mengikuti ajang pemecahan rekor maraton di bawah dua jam. Pada Mei dua tahun lalu, ia mem-bukukan waktu 2 jam 25 detik dalam acara Breaking2 yang disponsori produsen per-alatan olahraga Nike di Monza, Italia. Namun catatan waktu itu tak diakui karena maraton tersebut tak sesuai dengan stan-dar kompetisi resmi lantaran digelar di sirkuit balap serta cuma diikuti Kipchoge dan tim pendukungnya.
Asosiasi Federasi Atletik Internasional (IAAF) tak memasukkan catatan waktu Kipchoge di Wina dalam daftar resmi rekor dunia. Pasalnya, maraton itu dirancang khusus untuk Kipchoge. Presiden IAAF Sebastian Coe mengatakan tak ada kontes-tan lain. “Itu bukan kompetisi terbuka, jadi hasilnya tak bisa dinyatakan sebagai rekor dunia,” ucap Coe seperti dilaporkan Reuters.
Dalam acara 1:59 Challenge, Kipchoge mendapat sejumlah keuntungan yang tak diperoleh pelari dalam maraton biasa. Acara itu tak menerapkan aturan standar dalam maraton untuk laju kecepatan berlari (pace) dan rute lari. Kipchoge bah-kan mendapat pasokan asupan cairan dari tim pendukung yang mengikutinya dengan bersepeda—hal yang tak boleh dilakukan dalam kompetisi resmi.
Kipchoge tak pernah berlari sendirian sepan-jang rute maraton. Laju larinya pun konsisten berkat bantuan grup pe-lari pen--damping atau pacesetter yang terus mengelilinginya bak pengawal. Pacesetter adalah pelari yang bertugas meman-du ritme lari kontestan maraton untuk mencapai target waktu. Mereka juga menye-mangati pelari untuk menjaga kecepatan dan mengingatkan soal waktu minum agar tak mengalami dehidrasi yang berujung pada cedera.
Ada 41 pacesetter yang terbagi dalam sembilan kelompok bergantian mendam-pingi Kipchoge. Sebagian besar dari mereka adalah atlet top. Di antaranya juara lari 1.500 meter Olimpiade 2016, Matthew Centro-witz Jr.; peraih medali perak nomor 5.000 meter Kejuaraan Dunia 2019, Selemon Barega; serta Bernard Lagat, yang meraih gelar juara dunia nomor 1.500 meter dan 5.000 meter pada 2007.
Sepanjang rute maraton, para pelari pendamping membentuk formasi khusus di sekeliling Kipchoge bak tameng hidup untuk meminimalkan ham-batan angin. Mereka juga berotasi dengan grup yang baru demi memastikan laju lari Kipchoge stabil. Padahal aturan IAAF mela-rang pacesetter bertukar posisi di tengah maraton.
Kipchoge dan para “pengawal” juga men-dapat bantuan dari mobil listrik yang melaju di depan mereka. Mobil itu menandai jalur dan posisi ideal berlari dengan pancaran sinar laser hijau di permukaan jalan raya. Rute maraton berupa jalan raya yang datar dan lurus menambah keuntungan Kipchoge. Seperti di sirkuit, Kipchoge melin-tasi rute itu empat kali.
Pemilihan lokasi maraton di Taman Prater menggunakan perangkat lunak yang mem--perhitungkan temperatur, kelem-bapan, angin, dan ketinggian. Tikungan di lintasan, yang bisa membuat pelari menge-luarkan tenaga ekstra dibanding di jalur lurus, juga diminimalkan.
Wina terletak di ketinggian sekitar 165 meter di atas permukaan laut, lokasi yang ideal bagi Kipchoge untuk mendapat pasok-an oksigen maksimal. Perbedaan zona waktunya pun hanya satu jam dari lokasi latihan Kipchoge di Kaptagat, Kenya. Penyelenggara juga menghitung curah hujan dengan saksama. “Kami mem-butuhkan jeda tak ada hujan selama 24 jam agar lintasan tetap kering,” kata Robby Ketchell, kepala tim analis cuaca Ineos.
Kipchoge juga dinilai bisa berlari lebih cepat karena mengenakan sepatu khusus. Dari rekaman video, Kipchoge tampak me--makai sepatu Nike berwarna putih-jambon. Sepatu itu mirip dengan Nike Vaporfly Next%, yang bisa meningkatkan kemampuan berlari hingga 4 persen. Desain Vaporfly, yang dirilis pada 2016, sempat memicu kontroversi. Selain sangat ringan dan menggunakan bantalan sol empuk, sepatu itu memiliki tambahan pelat karbon di dalam sol yang membantu langkah lebih ringan dan cepat.
Lima rekor lari maraton tercepat dalam 13 bulan terakhir dibuat oleh pelari yang mengenakan Vaporfly. Salah satunya pelari putri Kenya, Brigid Kosgei, yang mematahkan rekor maraton ber-umur 16 tahun di Chicago Marathon, Amerika Serikat, pada Ahad, 13 Oktober lalu. Sepatu ini juga dikenakan Kipchoge ketika ia membuat rekor dunia di Berlin tahun lalu.
Sepatu Kipchoge, menurut lapor-an Runner’s World, belum dirilis tapi desain-nya sudah didaftarkan ke Badan Paten Amerika Serikat tahun lalu. Sepatu baru ini dilengkapi struktur bantalan dengan formasi dua baris di bagian telapak. Ada pula tambahan struktur tiga pelat karbon di dalam sol.
Kipchoge masih tak tertandingi dalam kom-petisi maraton dunia. Selain me-me-gang rekor dunia, ia adalah juara mara-ton Olimpiade 2016 dan sudah empat kali menang di London Marathon. Dia juga selalu menang dalam sepuluh maraton ter-akhir yang diikuti.
Kipchoge yakin manusia bisa berlari makin cepat dan rekor resmi maraton di bawah dua jam pun bakal segera dipe-cah--kan. Meski catatan waktunya tak masuk daftar rekor, Kipchoge tetap puas karena bisa menjadi orang pertama yang me--nuntaskan maraton kurang dari dua jam. “Setelah ini, aku berharap makin ba--nyak orang di seluruh dunia bisa melakukannya.”
GABRIEL WAHYU TITIYOGA (IAAF, RUNNER’SWORLD, THE GUARDIAN, THE NEW YORK TIMES, THE TELEGRAPH, WIRED)
Strategi Menjadi Juara
SEPANJANG maraton, Eliud Kipchoge dikelilingi tujuh pelari pendamping (pacesetter) dalam formasi khusus untuk menjaga laju larinya tetap konsisten. Mobil listrik dengan pancaran laser di depan grup Kipchoge menandai jalur terbaik yang harus dilewati.
Rute :
Jalur jalan raya yang datar dan lurus di Wina dipilih sebagai lintasan maraton. Rutenya berbentuk seperti sirkuit sepanjang 9,6 kilometer. Kipchoge melintasi rute ini empat kali. Perbedaan kemiringan sepanjang lintasan pun cuma 2,4 meter.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo