Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DUA dekade lalu, buku Saskia Eleonora Wieringa, The Politicization of Gender Relations in Indonesia, diterjemahkan ke bahasa Indonesia dengan judul Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia. Buku itu berfokus pada penghancuran gerakan wanita di Indonesia yang terjadi pada tubuh organisasi Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani), terutama ketika organisasi tersebut dituding terlibat pembantaian para jenderal Angkatan Darat. Kini Wieringa menulis aspek lain dari peristiwa 1965 yang masih menyisakan misteri itu, yakni bagaimana sesungguhnya propaganda tersebut dibangun.
Fokus buku Propaganda and the Genocide in Indonesia ini tak lagi melulu masalah gerakan perempuan, meski isu itu tetap menjadi bagian penting. Propaganda yang dimaksud buku ini adalah pengkambing-hitaman kelompok Partai Komunis Indonesia dan institusi lain yang berafiliasi dengannya sebagai dalang dan pelaku peristiwa 1965. Propaganda lain juga menyangkut keterlibatan Gerwani dalam peristiwa tersebut. Propaganda itu di antaranya mengatakan anggota Gerwani berlaku sadis, seperti menyayat tubuh para jenderal dan bahkan memutilasinya.
Wieringa, profesor di Fakultas Sosial dan Ilmu Perilaku Universiteit van Amsterdam, Belanda, dalam bukunya mengungkap bagaimana kampanye itu diorganisasi. Menurut dia, pengorganisasian kampanye negatif terhadap Gerwani itu dilakukan sejak Oktober 1965 hingga awal 1966. Kampanye dimotori dua surat kabar militer, Angkatan Bersenjata dan Berita Yudha. Di berita Angkatan Bersenjata edisi 6 Oktober 1965 tertulis “matanya dicungkil”. Adapun Berita Yudha edisi 10 Oktober 1965 menulis “ada yang dipotong tanda kelaminnya”.
Sepanjang Orde Baru berkuasa, propaganda tersebut terus dihidupkan. Barulah setelah masa Reformasi masyarakat Indonesia dapat lebih bebas menemukan dan membaca hasil autopsi dari para dokter yang memeriksa ketujuh jenazah Pahlawan Revolusi tersebut. Dari hasil autopsi terungkap bahwa semua tubuh yang diangkat dari sumur di Lubang Buaya itu utuh tak terpotong-potong dan tidak ada luka sayat pada tubuh mereka.
Di luar peristiwa 1965 tersebut, Wieringa membahas masalah keadilan dalam masa transisi yang gagal terjadi. Digambarkan bagaimana peran sejumlah sarjana psikologi kala itu yang melakukan tes terhadap ribuan tahanan politik untuk memilah mereka menjadi narapidana kelas A, B, atau C. Wieringa mencoba menemui sejumlah psikolog yang masih hidup dan bertanya tentang metode yang dulu digunakan, tapi mereka menolak dikaitkan dengan kejadian pada 1965 itu.
Ketika Wieringa menulis dengan spesifik soal propaganda yang dilakukan 54 tahun lalu, buku ini terasa agak longgar ketimbang buku sebelumnya. Sebab, ada banyak rangkaian peristiwa dan fakta yang terkesan ditempelkan dalam buku ini dan tidak dielaborasi lebih detail. Ada kesan sejumlah hal agak dipaksakan untuk dimasukkan, misalnya mengaitkannya dengan International People’s Tribunal 1965 yang dilaksanakan di Den Haag, 10 November 2015.
Jika setia pada judul buku ini, Wieringa seharusnya bisa melacak artikel di Harian Rakyat edisi 2 Oktober 1965 yang oleh banyak kalangan dianggap janggal. Kepala berita Harian Rakyat hari itu: “Letkol Untung, Komandan Bataljon ‘Tjakrabirawa’, Menjelamatkan Presiden dan RI dari Kup Dewan Djenderal”. Kemudian, ia juga dapat melacak siapa saja perwira Angkatan Darat kala itu yang bersekolah di Amerika Serikat yang mengambil studi tentang propaganda sebagai bagian dari taktik perang mereka.
Meski begitu, buku ini penting untuk menambah literatur yang membahas peristiwa 1965 karena memang peristiwa tersebut ibarat mozaik yang masih belum utuh lantaran ada keping-keping yang belum ditemukan. Mungkin saja sejumlah keping itu tak akan pernah ditemukan, seperti sejumlah pertanyaan yang tak pernah bisa dijawab salah satu tokoh besarnya: Soeharto.
IGNATIUS HARYANTO, PENGAJAR JURNALISTIK PADA UNIVERSITAS MULTIMEDIA NUSANTARA, SERPONG, BANTEN
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Propaganda And The Genocide In Indonesia: Imagined Evil
Penulis: Saskia Eleonora Wieringa dan Nursyahbani Katjasungkana
Penerbit: London & New York: Routledge, 2019
Tebal: 209 halaman
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo