Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Saat Jiwa dan Pikiran Pecah

Skizofrenia biasanya muncul saat remaja sampai dewasa muda. Makin lama tak ditangani, makin merusak otak.

19 Oktober 2019 | 00.00 WIB

Ilustrasi penderita skizofrenia. Shutterstock
Perbesar
Ilustrasi penderita skizofrenia. Shutterstock

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

RUMAH bukan tempat yang menyenangkan bagi Fery Yogi Setiawan, 30 tahun. Semenjak kecil, ia jarang mendengar gelak tawa pecah di tempat tinggalnya di Jakarta Timur. Makian, bentakan, hujatan, dan perlakuan kasar ayahnya kepada ibunya adalah hal lazim di rumah itu. “Bapak saya alkoholik, apa saja dia ributin,” kata Fery, Sabtu, 12 Oktober lalu.

Tak ada hari tanpa pertengkaran mereka. Fery kecil pernah mencoba menengahi, tapi ia malah ikut dihajar oleh bapaknya. Kepalanya dipukul dan dibenturkan ke kaca. Sejak itu, ia memilih bersembunyi di gudang jika melihat mereka mulai cekcok. “Saya bengong saja di gudang,” ujarnya.

Perselisihan rumah tangga adalah menu sehari-hari Fery sampai ia dewasa. Maka, begitu kuliah, ia mencari cara agar bisa sesering mungkin keluar dari rumah. Fery mengambil pekerjaan sambilan membantu proyek bangunan. Namun ia malah jatuh dari lantai dua sehingga tangannya patah.

Saat istirahat untuk memulihkan kondisinya, Fery mulai memperlihatkan gelagat aneh. Berhari-hari ia tak tidur, malah menangis. Lama-kelamaan ia sering membentak dan menyerang seisi rumah, bahkan menonjok teman yang ingin menengoknya. “Ada suara yang bilang, ‘Tuh temen-temen kamu berkomplot mau menyerang kamu.’ Jadi saya pukul mereka,” katanya.

Supardi alias Hadi, 37 tahun, punya cerita lain. Guru mengajinya melecehkannya secara seksual sejak usianya baru 6 tahun. Awalnya Hadi dicium, lalu alat kelaminnya dipermainkan, lama-lama kemudian ia diperkosa. “Saya mengalami hal itu sampai empat tahun, tapi enggak bisa cerita,” ujarnya. Sampai sekolah menengah atas, Hadi kesulitan tidur.

Sylvia. id.doc.dokter.com

Ketika usianya menginjak 23 tahun, Hadi merasa otaknya menjadi bising. Ia sering mendengar suara-suara asing. Salah satunya suara seorang kakek yang meyakinkannya bahwa ia adalah seorang demang di kampungnya di Mester, Jatinegara, Jakarta Timur. Kadang suara itu juga memperingatkan Hadi bahwa ia dikejar-kejar malaikat maut atau layang-layang hitam. “Dalam bayangan saya, lantai rumah juga panas, jadi saya enggak mau menginjak lantai,” ucapnya. Keluarganya segera membawanya ke rumah sakit.

Baik Hadi maupun Fery didiagnosis menderita skizofrenia, gangguan mental yang terjadi dalam jangka panjang. Skizofrenia banyak diperbincangkan karena -Arthur Fleck dalam film Joker diduga menderita penyakit tersebut. Masalah mental ini juga dibahas dalam Hari Kesehatan Jiwa Sedunia, yang diperingati setiap 10 Oktober.

Skizo, kata dokter spesialis kesehatan jiwa Sylvia Detri Elvia, berarti pecah. Sedangkan frenia memiliki arti jiwa. “Orang yang menderita skizofrenia itu pikiran, jiwa, dan perilakunya tak sejalan,” ujarnya. Orang disebut menderita skizofrenia jika mengalami gejala tersebut minimal selama enam bulan. Jika di bawah 14 hari disebut psikotik akut.

Misalnya, kata Sylvia, penderitanya merasa dirinya adalah raja yang menguasai negeri. Namun sehari-hari ia hanya duduk bengong di rumah dan berhari-hari tak berganti pakaian. Omongannya pun sulit dipahami. Data Riset Kesehatan Dasar 2018 mencatat 7 dari 1.000 penduduk Indonesia penyandang skizofrenia atau psikosis—gangguan jiwa yang juga melibatkan halusinasi dan waham.

Penyebabnya adalah adanya gangguan di otak. Menurut dokter spesialis kesehatan jiwa Agung Kusumawardhani, neurotransmiternya, terutama dopamin, tak seimbang. Neurotransmiter adalah senyawa kimia organik yang berperan sebagai penghantar stimulus atau pesan berupa rangsangan ke sel saraf, baik di otak maupun di otot. “Ada peningkatan dopamin di otak sehingga muncul gejala-gejala psikotik,” ujarnya.

Dopamin merupakan hormon yang antara lain bertugas mengendalikan emosi. Dalam kadar normal, dopamin akan meningkatkan suasana hati, sehingga membuat orang akan lebih senang dan bahagia. Namun, kalau kadarnya meruah, justru yang timbul adalah halusinasi dan waham.

Pada penyandang skizofrenia, mereka meyakini waham itu adalah kenyataan, meskipun itu tak cocok dengan latar belakangnya dan orang di sekitarnya sudah mengatakan bahwa itu khayalan.

Fery, misalnya, meyakini dia adalah bagian dari wali yang menyebarkan Islam di Nusantara. “Padahal saya Nasrani,” katanya. Pengetahuan tentang wali itu ia dapat saat belajar tentang sejarah. Setelah diobati, Fery baru menyadari bahwa ini adalah waham.

Gangguan di otak yang menyebabkan derasnya dopamin tersebut disebabkan oleh gabungan faktor, yakni sosiokultural, psikologis, dan genetik. Faktor genetik bisa disebabkan oleh keturunan atau mutasi genetik. Sedangkan sosiokultural adalah kondisi lingkungan penderita. Adapun psikologis merupakan kondisi kejiwaannya.

Salah satu yang mempengaruhi psikologis adalah pola asuh dalam keluarga. Menurut Sylvia, baik anak yang disia-siakan maupun dimanjakan sama-sama rentan menderita skizofrenia. Disia-siakan ataupun dimanjakan akan membuat anak memiliki kepribadian yang tak cukup kuat untuk menghadapi dunia luar saat dewasa. Ketika mereka mengalami stres dan tak bisa menanganinya, otaknya kemudian menciptakan dunia sendiri yang ia inginkan.

Berbeda kalau anak tumbuh dalam lingkungan yang seimbang. Orang tuanya mencurahkan kasih sayang dan perhatian. Tapi mereka juga melatih anaknya berjuang, seperti dengan tak langsung mengabulkan apa yang diinginkan anak. “Lingkungan yang seimbang menguatkan kepribadian anak. Dia bisa menghadapi stres ketika dewasa,” ujar Sylvia.

Karena ada gangguan di otak, salah satu penanganan wajib yang diberikan adalah dengan memberikan obat antipsikotika. Makin cepat ditangani, kerusakan sel-sel di otak juga akan lebih cepat diperbaiki. Maka penyandang skizofrenia juga bisa disembuhkan. “Orang yang awalnya psikotik akut pun bisa menjadi skizofrenia kalau tak ditangani,” kata Agung.

Masalahnya, stigma di masyarakat yang menganggap orang dengan gangguan jiwa disebabkan oleh kekurangan iman, atau tak bisa disembuhkan, atau hal yang memalukan membuat kebanyakan orang terlambat ditangani. Keluarga biasanya mencari pengobatan alternatif, seperti ke dukun, pendeta, atau kiai, sebelum ke rumah sakit. Padahal, makin lama tak mendapatkan pengobatan, kerusakan di otaknya makin luas.

Selain memberi pengobatan, psikiater biasanya memberikan terapi sesuai dengan kebutuhan. Misalnya pada orang yang masih sering berprasangka buruk, psikiater akan melatihnya mempertimbangkan apakah pikirannya benar atau tidak.

Fery pun sudah 9 tahun tak mengalami gejala waham lagi. Ia bisa melakukan kegiatan sehari-hari seperti orang lain, misalnya bekerja dan berkumpul dengan teman-temannya. “Sudah normal. Dan saya tetap minum obat,” ujarnya.

Demikian juga Hadi. Ia sudah tak menunjukkan gejala waham ataupun halusinasi sejak 13 tahun lalu. “Mungkin karena waktu itu keluarga langsung bawa ke rumah sakit, saya langsung diobati,” katanya.

NUR ALFIYAH


 

Kenali Sejak Dini

SKIZOFRENIA biasanya muncul saat usia remaja sampai dewasa muda (15-25 tahun untuk laki-laki dan 18-30 tahun untuk perempuan). Agar kerusakan otak tak makin berat, keluarga bisa mendeteksinya sedini mungkin. Menurut dokter spesialis kesehatan jiwa Heriani, berikut ini beberapa gejala yang bisa diamati.

Gejala awal
1. Depresi dan menarik diri dari lingkungan sekitar.
2. Nilai sekolah merosot.
3. Gangguan tidur.
4. Kepribadian yang berubah dari biasanya, misalnya dulu ceria menjadi pemurung.

Gejala lanjutan yang lebih khas
1. Berbicara sendiri tapi seperti berbicara dengan seseorang. Padahal mungkin ia menanggapi halusinasinya.
2. Marah-marah tanpa sebab yang jelas atau bereaksi berlebihan terhadap sesuatu. Padahal mungkin dia marah karena halusinasinya mengatakan hal-hal yang menakutkan atau membuatnya marah.
3. Berbicara melantur, tidak runut.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Nur Alfiyah

Nur Alfiyah

Bergabung dengan Tempo sejak Desember 2011. Kini menjadi redaktur untuk Desk Gaya Hidup dan Tokoh majalah Tempo. Lulusan terbaik Health and Nutrition Academy 2018 dan juara kompetisi jurnalistik Kementerian Kesehatan 2019. Alumnus Universitas Jenderal Soedirman.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus