Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TANTANGAN itu datang dari CEO IndyCar Randy Bernard. Barang siapa memulai dari urutan buncit di Sirkuit Las Vegas Motorway tapi bisa masuk garis finis pertama, ia bakal membawa pulang hadiah US$ 5 juta atau sekitar Rp 44 miliar.
Pembalap asal Inggris, Dan Wheldon, 33 tahun, menerima tantangan itu. Minggu dua pekan lalu itu adalah penampilan ketiga Wheldon di ajang IndyCar. Karena dianggap bukan pembalap reguler, Wheldon bisa mengikuti pertaruhan tersebut. "Saya akan mencoba sebisa mungkin menghibur penonton," ujarnya.
Sebenarnya Wheldon bukan orang baru di ajang balap Indy. Ia orang Inggris pertama yang menjadi juara lagi di balapan sirkuit berlintasan oval itu sejak Graham Hill jadi juara pada 1966. Pria kelahiran Emberton ini menjadi juara seri Indy500 pada 2005 dan 2011. Kemampuannya terbukti ketika pada putaran ke-13 Wheldon menyodok ke posisi 26 dari total 34 mobil balap yang beraksi hari itu. Namun mendadak mobil di depannya tergelincir. Tabrakan beruntun terjadi.
Ketika itu kecepatan mobil Wheldon melebihi 350 kilometer per jam. Dia mencoba menghindar. Mobilnya yang bernomor 77 menabrak pesaingnya, terpelanting, membentur dinding sirkuit, dan terbakar. Wheldon meninggal akibat luka-luka superparah yang tak tertolong. Namun arena mengelu-elukan kematiannya. Amazing Grace dikumandangkan di sirkuit maut Vegas itu.
Mantan pembalap Formula 1, David Coulthard, tak habis pikir melihat kenekatan Wheldon. "Buat apa dia mengambil risiko mengejar hadiah itu?" ujarnya. "Susah sekali buat menyusul. Lintasannya sempit, sementara mobilnya banyak," tutur Coulthard. Ia sempat berniat ikut Indy tapi batal begitu melihat idolanya, Nelson Piquet Souto Maior, mengalami kecelakaan parah di ajang balap khas Amerika Serikat itu.
Namun dunia ini tak pernah kehabisan stok orang nekat seperti Nigel Mansell. Wheldon pun pasti memiliki alasan kuat sekaligus "gila" untuk hijrah dari sirkuit di Inggris ke jalur maut Indy. Di jalur supercepat itulah kemenangan akan menjadi hadiah yang membanggakan. Seperti yang terjadi pada Mansell, juara Formula 1 pada 1992, ia pindah ke IndyCar dan langsung juara. "Keamanan Indy jelas jauh berbeda dengan Formula 1," kata Mansell. Maksudnya, tingkat keamanan di jalur Indy lebih longgar.
Wheldon memulai karier balapnya sebagai penunggang gokar ketika masih anak-anak. Kompetisi demi kompetisi diikuti sambil berharap dikontak para pencari bakat. Presiden Klub Pembalap Inggris, Derek Warwick, menjelaskan bahwa mereka yang sukses masuk program pembinaan pembalap junior harus berjuang menembus Formula 3 sampai ke level GP2. "Setelah itu baru mereka memperoleh izin ngebut di F1," kata Warwick.
Bukan berasal dari keluarga berada, Wheldon tak sanggup bersaing dengan Jenson Button, yang berkantong tebal. Ketika Button akhirnya sukses menembus ajang Formula 1, Wheldon terpaksa pindah ke Amerika Serikat agar kariernya tak mati.
Juara dunia Formula 1 tahun ini, Sebastian Vettel, berpendapat, ketika seorang sudah memulai karier sebagai pembalap, ia tak akan bisa berhenti. Ada kenikmatan tersendiri, kata Vettel, saat memacu kendaraan dengan kecepatan tinggi bahkan saat memasuki tikungan. "Saat berada di mobil balap memang kami jadi berbeda," kata Vettel.
Vettel bercerita, seusai balapan ia sering melihat tiap tikungan yang dilaluinya. "Kadang saya heran, kok bisa saya dengan gilanya melewati tikungan dengan kecepatan 200 kilometer per jam." Nah, jalur Indy lebih cepat, mobil melesat hingga di atas 300 kilometer per jam.
Rival Vettel, Lewis Hamilton, juga keranjingan melaju dengan "jet darat". Namun, dalam kehidupan sehari-hari, Hamilton sebenarnya bukan pecandu kebut-kebutan. Sadar mobil sport menyumbang besar pada pemanasan global, ia memilih mobil bermesin diesel yang hemat bahan bakar.
Sehari-hari Hamilton pun memilih hidup tak terburu-buru. Ia menyisihkan waktu buat memilah sampah yang bisa didaur ulang. Juga mencuci dan menyetrika baju sendiri.
Namun, saat menyetir mobil Formula 1, Hamilton akan berpacu secepat mungkin dan jadi yang terdepan. "Kami sudah terbiasa menikmati adrenalin yang terpompa saat menghadapi bahaya," katanya. "Olahraga ini berbahaya, tapi saya tidak takut mati."
Menurut Hamilton, sukses di dunia balap adalah idaman banyak orang. "Saya tak akan menukar kehidupan saya ini dengan yang lain." Yang didapat Hamilton dari lintasan bukan cuma adrenalin yang terpompa, tapi juga penghasilan jumbo, yang tahun ini sekitar Rp 35 miliar. Musim depan ia ditaksir bisa mengantongi duit dari sirkuit dan rupa-rupa kontrak komersial hingga Rp 140 miliar.
Tak mau uang hasil ngebut-nya itu terpotong pajak penghasilan yang mencekik, Hamilton yang besar di Inggris pindah rumah ke Swiss. Ia mengikuti jejak pembalap senior Kimi Raikkonen dan David Coulthard, yang juga mencari keringanan pajak ke sana.
Selain menikmati pajak yang kecil, yang menarik para pembalap ke Swiss adalah jalan di pegunungan yang kosong. "Jalan kosong dan pemandangan yang indah membuat mereka bisa kebut-kebutan dengan nikmat pada saat libur kompetisi," kata seseorang yang dekat dengan para pembalap tersebut.
Juara dunia balap MotoGP 2011, Casey Stoner, juga memilih menetap di Swiss. Namun pria asal Australia ini tak senang kebut-kebutan di jalanan atau mencari olahraga ekstrem. Berbeda dengan rivalnya, Valentino Rossi, yang gemar snowboarding bahkan ketika cedera, Stoner memilih mengerem hobi menantang mautnya. "Sejak menikah, saya menghentikan aktivitas yang memicu adrenalin," kata Stoner.
Stoner, yang sempat menekuni skyÂdiving, kemudian memilih jadi penonton saja. Malah ia mengaku sering gemetar juga jika melihat teman-temannya menantang maut. Sebagai ganti olahraga ekstrem, Stoner memilih memancing dan fotografi. Motor yang ada di garasinya pun bukan untuk ngebut, tapi buat diotak-atik mesinnya. "Kecuali di sirkuit, aksi-aksi menantang maut sudah tak menarik lagi buat saya."
Oktamandjaya Wiguna (berbagai sumber)
Sirkuit Mematikan
Kecelakaan mematikan yang menimpa Dan Wheldon pasti bukan yang pertama terjadi di lintasan balap. Sebagian kecelakaan terjadi gara-gara desain sirkuit tak memperhatikan faktor keselamatan pembalap dan penonton. Berikut ini sirkuit yang banyak menelan korban jiwa tersebut:
1.Nurburing, Jerman
Seri balap Formula 1 mencatat sirkuit ini paling berbahaya. Lima pembalap F1 meninggal dalam kurun waktu 15 tahun di Nurburing. Dibangun pada 1927, lintasannya beberapa kali didesain ulang terutama setelah demo pembalap pada 1969 yang menganggapnya kelewat berbahaya. Sebanyak 25 pembalap dari seri di luar seri F1 juga tewas di sini. Bekas pembalap F1, Jackie Stewart, menyebutnya, "Sirkuit paling berbahaya di dunia."
2. Indianapolis Motor Speedway, Amerika Serikat
Lebih dari 40 pembalap tewas di sirkuit ini sejak dioperasikan pada 1911. Seorang bocah bahkan jadi korban tertimpa ban yang lepas dan melesat dari mobil yang bertubrukan di lintasan. Kecelakaan terburuk di lokasi balap Indy500 ini terjadi pada 1973, tatkala Swede Savage kehilangan kendali mobilnya dan menubruk pagar pembatas. Mobilnya meledak dan Savage terlempar lalu terjatuh di kubangan bensin yang terbakar. Savage akhirnya meninggal 33 hari setelah itu.
3. Isle of Man, Inggris
Pulau di lepas pantai Inggris ini jadi tempat kompetisi tahunan Tourist Trophy. Ajang balap motor yang sudah berjalan lebih dari seabad ini bukan sirkuit khusus balap. Sehari-hari jalurnya adalah jalan raya biasa sehingga tak dilengkapi tembok pengaman. Selain jalan yang sempit, pembalap berhadapan langsung dengan jurang dan tebing batu. Sebanyak 227 pembalap meninggal akibat kecelakaan sejak pulau ini dijadikan arena ngebut pada 1907.
4. Imola, San Marino
Imola tak menelan korban jiwa sebanyak sirkuit lainnya. Namun di sinilah juara dunia Formula 1, Ayrton Senna, meninggal setelah mobilnya menabrak tembok beton pada Mei 1994. Sehari sebelumnya, kecelakaan dalam babak kualifikasi juga merenggut nyawa Roland Ratzenberger. Dua kecelakaan ini membuat F1 menaikkan standar keamanannya. Selain pembalap, dua petugas lintasan meninggal di Imola.
OW
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo