Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Cerita di Balik Berita: Jihad Melawan Mafia
Penulis: Denny Indrayana
Penerbit: PT Bhuana Ilmu Populer
Tahun: 2011
Tebal: xxxix + 387 halaman
DALAM pelbagai diskusi tentang hubungan media dan praktisi hubungan masyarakat, saya kerap mengulang-ulang sebuah kisah: cerita sukses Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum.
Didirikan melalui Keputusan Presiden Nomor 37 Tahun 2009, lembaga ad hoc ini sejatinya tak bergigi: ia tak memiliki hak menyelidik dan menyidik seperti polisi, jaksa, dan Komisi Pemberantasan Korupsi. Satuan Tugas tak bisa mengintip rekening bank seperti Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan. Ia bukan media massa: tak punya reporter atau juru kamera. Ia lembaga sementara dengan masa tugas dua tahun dan bisa diperpanjang jika diperlukan.
Dalam keputusan presiden itu disebutkan Satgas bertugas melakukan koordinasi, evaluasi, koreksi, dan pemantauan agar upaya pemberantasan mafia hukum berjalan lebih efektif. Ibarat tentara hendak berperang, Satgas tak bersenjata—kecuali secarik keputusan presiden.
Satgas adalah anak kandung politik keseimbangan ala Presiden Yudhoyono: komposisi yang sempurna antara politik kepentingan dan permainan memoles citra. Alih-alih memperkuat lembaga resmi dengan menempatkan profesional yang bersih dan bebas interest sebagai Jaksa Agung, Kepala Polisi, serta Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Presiden mendirikan Satgas. Atau mari kita berbaik sangka: melalui Satgas, Presiden ingin mengontrol aparatnya yang, karena pelbagai sebab, tak sepenuhnya bisa ia kontrol.
Maka saya ingat, Minggu, 10 Januari 2010, Denny Indrayana menelepon saya. Sekretaris Satuan Tugas sekaligus Staf Khusus Presiden Bidang Hukum, Hak Asasi Manusia, dan Pemberantasan Korupsi, Kolusi, Nepotisme itu bertanya tentang laporan utama majalah Tempo yang akan terbit esok hari. Dari publikasi di Koran Tempo, Satgas mengetahui majalah Tempo menurunkan hasil investigasi tentang penjara mewah Artalyta Suryani, terpidana kasus suap jaksa Urip Tri Gunawan. Ketika itu usia Satgas baru 11 hari.
Berbekal iklan itu dan penjelasan dari saya serta sejumlah wartawan Tempo, Satgas mendatangi penjara wanita Pondok Labu. "Jika sidak dilakukan setelah majalah Tempo terbit, sangat boleh jadi, sel Ayin yang mewah sudah dihilangkan bekas dan jejaknya," demikian Denny menulis.
Gebrakan itu mendapat publikasi luas. Keesokan harinya, cerita sel mewah itu muncul sebagai kepala berita di koran-koran. Televisi menyorot adegan Artalyta yang salah tingkah diterpa lampu kamera. Sejumlah pejabat penjara dikenai sanksi. Gebrakan pertama itu berlanjut dengan pelbagai aksi Satgas lainnya. Dari kasus Aan hingga Anggoro. Dari Gayus Tambunan hingga mafia batu bara.
Salah satu kunci sukses Satgas adalah hubungan baik dengan media massa. Melalui media, kata Denny, publikasi dilipatgandakan dan terapi kejut diduplikasi. Tujuannya meraih efek jera.
Dibanding anggota Satgas yang lain, Denny Indrayana mungkin yang paling aktif mendekati pers. Ia rajin muncul di televisi, meladeni wawancara, dan menulis kolom di media massa—sebagian dari tulisan-tulisan pendek itu kini diterbitkan dalam buku ini. Ia memanfaatkan jaringan sosial. Hingga akhir Oktober 2011, pengikutnya di Twitter telah lebih dari 47 ribu.
Ia sadar tak punya modal politik—kecuali posisi sebagai anggota staf khusus Presiden—karena itu ia mengumpulkan sebanyak mungkin modal sosial.
Tapi, dalam kasus Denny, modal sosial itu berbanding terbalik dengan modal politik yang ia punya. Semakin ia meraih, atau berusaha meraih, dukungan Yudhoyono—endorsement atau bentuk kedekatan lain antara dia dan Presiden—semakin orang ragu akan independensinya. Ia baru saja diangkat menjadi Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. Saya tahu, tak sedikit orang mencibir.
Jabatan anggota staf khusus Presiden, saat ia menuliskan kolom-kolom dalam buku ini, telah menjadi pisau bermata dua bagi Denny. Di satu pihak, posisi itu memperkuat posisi tawarnya di hadapan penegak hukum yang korup atau mafioso pengadilan, tapi di sisi lain membuatnya terjerembap sebagai pembela Yudhoyono—pekerjaan yang tampak dinikmatinya pula. Cerita di Balik Berita adalah kumpulan kisah tentang dualisme itu.
Suasana ini sebetulnya tidak terjadi jika Yudhoyono adalah presiden yang bisa membuktikan komitmennya terhadap gerakan antikorupsi—presiden yang mewujudkan tekadnya memimpin sendiri aksi mengganyang koruptor sebagaimana selama ini ia pidatokan.
Tapi, hingga pertengahan periode kedua kepemimpinan Yudhoyono, kita belum menyaksikan pidato itu terwujud. Tekad memberantas korupsi, sebagaimana langkah politik presiden lainnya, ditempatkan dalam sebuah permainan yoyo, yang naik-turunnya disesuaikan dengan konstelasi politik dan politik pencitraan Yudhoyono sendiri. Kita tak menyaksikan Presiden sebagai seorang pemberantas korupsi yang militan. Kita tak menyaksikan Presiden telah melakukan, meminjam istilah Denny Indrayana, jihad melawan korupsi.
Tapi Denny telah memilih jalannya sendiri—setidaknya begitu ia mengklaim. Dalam pengantar buku ini ia menulis:
"Sebelumnya, posisi berada di luar sistem telah saya rasakan. Yang pasti, konsistensi perjuangan dari luar harus ada, sebagaimana konsistensi perjuangan dari dalam wajib ada, dan tidak jarang lebih menantang karena godaannya lebih di depan mata."
Pilihan bekerja di luar dan di dalam sistem adalah persoalan klasik para aktivis dari masa ke masa. Mereka yang berada di dalam kekuasaan bekerja tak kalah keras dibanding mereka yang di luar, terutama dalam hal memelihara niat bekerja bagi publik, bukan kekuasaan.
Dalam kasus Denny Indrayana, godaan itu bukanlah semata harta dan takhta, tapi yang lebih penting adalah kesadaran tetap menjaga sikap kritis terhadap Presiden dan aparatnya seraya mencari jalan dan siasat—di tengah pelbagai kepentingan di Istana—agar tujuan menciptakan masyarakat bebas korupsi itu bisa tercapai. Denny kerap berhasil meniti jalan sempit itu, meski tak jarang pula ia gagal. Buku ini merupakan catatan kesuksesan dan kegagalan itu, juga "cerita" dan "bukan cerita" tentang seseorang yang memilih "bekerja di dalam sistem".
Yang saya maksudkan "bukan cerita" tentulah kisah yang saya dengar secara terang atau samar-samar dalam pergaulan saya sebagai wartawan—sesuatu yang sayangnya tak banyak dibahas dalam buku ini.
Syahdan, Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie marah besar. Ketika itu, ia bersama pejabat dan pemimpin politik lain tengah bersama Yudhoyono dalam acara menanam pohon di Bendungan Jatiluhur, Jawa Barat. Sebagai anggota staf khusus Presiden, Denny hadir.
Sebelumnya, telah ramai di media massa tentang Denny yang kerap bersuara keras tentang perusahaan keluarga Bakrie yang—menurut Gayus Tambunan—menyuap agar terhindar dari pajak. Aburizal rupanya terganggu oleh pernyataan-pernyataan itu. Dalam pertemuan itu, Aburizal menghardik dan menuding Denny telah mempolitisasi kasus Gayus. Ia mengancam akan menyelesaikan kasus ini secara politik.
Saya tak tahu bagaimana reaksi Presiden atas "serangan dari Jatiluhur" itu. Asumsi saya, sebagai Ketua Umum Golkar, Aburizal diperhitungkan dalam "permainan yoyo" Presiden. Persoalan pemberantasan korupsi pada titik itu telah sampai pada jantungnya, dan saya tak melihat Presiden berpihak pada Satgas atau aparatnya.
Yang bisa kita rasakan adalah, secara pelan-pelan, Denny mengerem suaranya. Sepak terjang Satgas juga perlahan berkurang. Enam bulan sebelum masa kerja Satgas berakhir, kita semakin jarang menyaksikan gebrakan satuan itu.
Satgas memang bukan satu-satunya alat untuk memerangi korupsi. Sebagai Wakil Menteri Hukum, Denny punya kesempatan berbuat lebih banyak. Tentu saja asalkan ia bisa memenangkan hatinya: membela publik dan bukan menyenangkan Yudhoyono semata.
Arif Zulkifli
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo