Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tiga ratus orang penduduk bersama-sama mendirikan kayu setinggi hampir delapan meter. Mereka menariknya dengan tali dari tiga penjuru. Masing-masing tali ditarik seratus orang. Kayu berdiameter hingga satu meter itu pun berdiri bersama tiga kayu lainnya. Kekuatan kayu itu lebih keras daripada jati. Penduduk setempat menyebutnya kedimbil.
Maka selesailah pemasangan empat tiang utama untuk pembangunan rumah adat Sumba, Nusa Tenggara Timur, pada 17 Agustus lalu. Semua warga Desa Rateng Garo, Kabupaten Sumba Barat Daya, ikut serta melanjutkan pembangunan rumah adat. Bahkan ada sekelompok laki-laki dan perempuan yang khusus bertugas menyemangati dengan menari dan menyanyi di sekitar lokasi. Gong ditabuh terus-menerus. "Sangat epik," kata pengurus Yayasan Rumah Asuh, Paskalis Khrisno Ayodyantoro, kepada Tempo, Rabu pekan lalu.
Akhir pekan lalu, mereka selesai mengerjakan pengatapan, yang menandai tuntasnya keseluruhan pembangunan. Atapnya menjulang tinggi, seperti rumah adat Jawa, joglo. Bagian ini berfungsi menyimpan persediaan makanan dan benda pusaka. Di bawahnya terdapat rumah tinggal. Adapun kolong rumah panggung itu digunakan sebagai kandang ternak.
Yayasan Rumah Asuh, yang didirikan arsitek Yori Antar sejak 2008, menjadi fasilitator pengerjaan dua rumah adat itu. Alasan memilih Desa Rateng Garo, menurut Paskalis, adat masyarakat masih kuat sehingga perlu dilestarikan. Warga di sana menolak rumah adatnya dibangun orang lain. "Bahkan soal dana mereka hanya mau terima setengahnya," ujarnya.
Kerja bareng arsitek dan warga membangun kembali rumah adat mereka juga terjadi di Kasepuhan Banten Kidul. Lokasinya di kaki Gunung Halimum, berbatasan dengan Kabupaten Sukabumi dan Bogor, Jawa Barat. Menuju kasepuhan tersebut dibutuhkan sekitar enam jam bermobil dari Serang. Daerahnya terpencil, jalan tanah berliku dan berlubang.
Di Kasepuhan Cicarucub, Kecamatan Cibeber, Kabupaten Lebak, Banten, sedang dibangun pondok untuk tamu, rumah juru basa (juru bicara), dan ruang komunal. Ketika Tempo bertandang pada Jumat dua pekan lalu, tampak bangunan-bangunan tersebut sudah hampir jadi.
Namun proses pembangunan sedang berhenti. "Sekarang bulan hapit," kata Samyudin, 28 tahun. Hapit atau kejepit berada di antara Syawal dan Zulhijah. Penduduk pantang melakukan aktivitas besar, seperti pernikahan, khitanan, atau membangun rumah.
Masyarakat di Kasepuhan Cicarucub memang masih mempertahankan adat istiadat. Mereka juga menjaga kelestarian rompok adat atau rumah tinggal untuk olot (ketua), yang usianya telah puluhan tahun. Karena itu, penduduk menolak bangunan ini direnovasi. Seluruh konstruksi rumah olot terbuat dari kayu. Berdinding gedek dan kayu, atapnya alang-alang dan ijuk.
Posisinya tertinggi dibanding rumah penduduk lain. Yang tinggal pemimpin adat bergelar abah dan keluarganya. "Abah tidak pernah ke luar rumah," kata Samyudin, anak tertua pemimpin kasepuhan itu. Kecuali ada acara pertemuan olot dari kasepuhan lain atau bertemu pejabat negara.
Proyek di Sumba dan Banten Kidul memiliki kesamaan tujuan: melestarikan budaya setempat dan agar kearifan lokal tetap terjaga. Keduanya sama-sama berlokasi terpencil yang jarang tersentuh masyarakat luar.
Untuk mewujudkan pembangunan rumah adat tersebut, dananya tidak kecil. Proyek di Sumba memperoleh sekitar Rp 100 juta untuk satu rumah dari Yayasan Tirto Utomo. Di Banten Kidul pemerintahlah yang mendanai, melalui Kementerian Pekerjaan Umum, sebesar lebih dari Rp 1 miliar untuk satu kasepuhan.
BEBERAPA arsitek memang punya misi dan berpihak pada pembangunan desa dan kampung yang terabaikan. Arsitek Erwinthon Napitupulu sedang membuat koperasi untuk pemerah sapi di Lembang, Jawa Barat. Awalnya, ia hanya iseng bertani sayur di tanah seluas satu hektare di Desa Batu Loceng, Lembang. Beberapa kali datang ke sana, sering penduduk setempat menawarinya membeli tanah.
Penduduk merasa hasil pertanian mereka tidak jelas karena ulah tengkulak. Mereka pun ingin menjual tanah untuk beternak sapi perah. Dari sini, Erwin menemukan ide membuat koperasi. Ia memakai sistem kepemilikan saham 30 sampai 70 persen bagi setiap sapi yang harganya mencapai Rp 11 juta per ekor.
Sebagai gantinya, setiap peternak memberikan sekitar 40 liter susu per bulan yang nilainya Rp 125 ribu. "Nanti anak sapinya untuk mereka juga," ujar arsitek lulusan Institut Teknologi Bandung itu. Kegiatan ini baru berjalan sekitar setahun. Erwin menghitung, untuk satu keluarga perlu empat hingga lima ekor sapi untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka.
Selain membangun koperasi yang menghasilkan modal, ia menargetkan perbaikan rumah penduduk desa itu. Erwin telah menanam pohon di kebunnya yang bisa dimanfaatkan untuk pembangunan rumah. Ia memprediksi jumlah penduduk desa sekitar 350 orang akan bertambah dalam 10 tahun ke depan. Mayoritas penduduk hanya lulusan sekolah dasar, sehingga kehidupan mereka sangat miskin dan tidak punya akses informasi cukup. "Mereka perlu tempat tinggal layak dan sehat," katanya.
Sekarang anggota koperasinya baru mencapai tiga keluarga dengan 11 ekor sapi. Ia sedang mencoba menjual tanah miliknya untuk membeli sapi perah tambahan. "Jadi saya tidak pusing cari dana dari yayasan atau lembaga donor," ujarnya.
Menurut dia, yang terpenting dari gerakan ini adalah hubungan manusia dan tempat tinggal. Hal tersebut ia pelajari dari karya-karya Romo Mangun. "Romo pernah mengatakan orang miskin yang penting harga dirinya ditumbuhkan," kata Erwin. Ia selalu mengatakan kepada para penduduk, dia bukan Sinterklas, tidak punya banyak uang, tapi siap bekerja sama untuk kesejahteraan mereka.
Senada dengan gerakan Erwin, arsitek Yu Sing dan mahasiswa Universitas Negeri Sebelas Maret dan Universitas Trisakti melakukan pemberdayaan kampung di Solo, Jawa Tengah. Mereka melakukan pendampingan di tiga kampung. Kampung pertama berada di Potrojayan, tempat perajin blangkon. Kedua, di Jagalan, yang letaknya di pinggir sungai. Terakhir, Kampung Gandhekan, pusat perajin sandal kulit.
Salah satu anggota kelompok, Tri Suryo Kuncoro, 29 tahun, menyatakan mulai masuk ke Gandhekan pada awal April lalu. Ketika itu perajin sandal kulit tinggal satu orang saja. Padahal di era 1970 bisa mencapai 30 orang. Kondisi perajin semakin terjepit karena kalah bersaing dengan produk Cina yang banyak dijual di Yogyakarta.
Alumnus Universitas Negeri Sebelas Maret ini bersama teman-temannya mencoba mendongkrak penjualan sandal kulit dengan membuat merek dan kemasan baru. "Pemasarannya kami lakukan melalui Facebook," katanya.
Ia berharap, setelah perajin semakin terampil, Kampung Gandhekan bisa bergairah kembali. Perkampungannya yang berada di pinggir sungai berangsur-angsur bisa tertata. "Sehingga bisa menjadi tujuan wisata," kata Suryo.
Penataan lingkungan menjadi tujuan wisata juga dilakukan arsitek Mukoddas Syuhada. Secara swadaya ia menggarap tanah seluas empat hektare milik keluarganya di kawasan empang Karangantu, Serang. Lahannya kering dan gersang karena berbatasan langsung dengan hutan bakau di Laut Jawa.
Arsitek lulusan Institut Teknologi Bandung itu melihat para petambak bisa diberdayakan jika diberi pengetahuan tentang tata lingkungan yang tepat. Selama ini mereka harus berjalan hingga satu kilometer untuk menuju tambaknya. Mayoritas mereka adalah orang Bugis yang datang pada 1960-an. Ia pun mencoba menciptakan kampung nelayan berbasis perikanan dan kelautan.
Kebetulan rencana itu klop dengan program Kementerian Perikanan dan Kelautan untuk membuat pelabuhan nusantara—untuk kapal bermuatan 60 gross per ton—di Karangantu. Mukoddas pun merancang desa nelayan ramah lingkungan. Ia membangun dua pembangkit tenaga angin berkapasitas 300 kilowatt dan 500 kilowatt. Sayangnya, awal tahun lalu satu dari dua rumah apung dan menara karyanya hancur karena puting beliung.
Kepala Satuan Kerja Penataan Bangunan dan Lingkungan Provinsi Banten Kementerian Pekerjaan Umum ini tidak putus asa. Ia membuat desain rumah apung baru yang nantinya tersusun berhadap-hadapan sehingga tampak dari atas seperti dedaunan.
Ia mengakui memang modal menjadi hambatan. Tapi hal itu, menurut dia, bisa teratasi dengan meningkatkan jumlah pengunjung ke empangnya, yang bernama Tapak Bumi Village. Yang penting, menurut Kodas, adalah menjadikan desanya itu sebagai destinasi. Untuk itulah dia rajin mengadakan berbagai acara di kawasan tersebut, seperti lomba foto dan menggambar pada Hari Habitat Dunia awal Oktober lalu.
Sorta Tobing
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo