Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Cahaya di ruangan yang luas itu remang-remang tapi nyaman. Di bagian tengah ruangan terdapat beberapa perangkat kursi dan meja tamu. Di bagian lain seperangkat kursi dan meja makan serta sebuah sofa. Sebuah cello tergeletak di pojok. Lampu di atas meja-meja itu juga bercahaya redup, dan vas berisi bunga dahlia putih menemaninya. Di belakang segala perabotan itu tegak rak-rak kayu dengan berbagai judul dan tema buku. Dindingnya dihiasi gambar rak-rak buku yang ramai.
Begitulah kira-kira gambaran ruangan keluarga di rumah-rumah penduduk Islandia. Rumah di sana khas, karena selalu memiliki perpustakaan pribadi, sepotong ruangan yang menjadi tempat favorit keluarga. Bentuk sederhananya dibangun di Ruang Ebene, ruang khusus tamu kehormatan Pameran Buku Internasional Frankfurt 2011.
Para pengunjung menikmati suasana itu dengan duduk-duduk santai sambil menyilangkan kaki dan membaca di kursi dan sofa serta ditemani secangkir kopi atau menulis sesuatu di laptop. Ada pula yang asyik menonton video dan foto yang ditayangkan di sebuah layar besar di beberapa dinding ruang. Video itu menampilkan kecintaan warga Islandia pada buku. Ada gadis cilik berkacamata yang asyik membaca sambil bertelekan tangan, kakek yang membaca di sofa membelakangi rak yang sarat dengan buku di rumahnya, dan ibu rumah tangga berbaju merah yang membacakan buku untuk anak-anaknya.
"Kami ingin memperkenalkan tradisi di negeri kami ini kepada dunia. Di sini kami mengajak pengunjung memasuki dunia buku Islandia," kata Halldor Guomundsson, Direktur Fabulous Iceland. Kali ini Islandia menampilkan sekitar 40 pengarang dan penerbit serta lebih dari 200 judul buku.
Orang Islandia dikenal getol membaca. Setiap orang rata-rata membeli delapan buku setahun. Dari 12 ribu judul buku yang terbit setiap tahun, 2,5 juta buku habis diserap penduduknya, yang berjumlah sekitar 300 ribu orang. Bisnis buku pun sangat menguntungkan. Pada 2009, misalnya, 130 penerbit mencatatkan keuntungan 30 juta euro atau sekitar Rp 45 miliar. Jadi, setiap penerbit rata-rata mengantongi sekitar Rp 350 juta.
Dunia baca diperindah lagi karena toko-toko buku, seperti toko buku besar Arnaldur Indridason dan Yrsa Sigurdardottir di Reykjavik, ibu kota Islandia, buka lebih lama daripada toko lainnya. Toko buku di sana buka hingga pukul 22.00, sedangkan toko pakaian dan lainnya sudah tutup pukul 18.00. Buku juga dapat dengan mudah ditemukan di toko swalayan.
Meski buku itu sudah usang atau kuno, mereka tidak pernah membuangnya. Buku lama peninggalan leluhur tetap terpajang rapi di perpustakaan rumah. Buku itu umumnya diwariskan turun-temurun dari orang tua ke anak-anaknya.
Negara kepulauan seluas 103 ribu kilometer persegi di Laut Atlantik itu amat menghormati bahasanya. Semua bukunya ditulis dalam bahasa Islandia, yang bersama Norwegia masuk rumpun bahasa Jerman Utara, meskipun penduduknya fasih berbahasa Inggris, bahasa kedua mereka. Bahasa Islandia berubah di Abad Pertengahan, tapi bahasa asli tetap terjaga, sehingga anak-anak sekolah bisa membaca karya nenek moyangnya. "Inilah upaya kami mempertahankan bahasa. Tidak satu pun kata bahasa Inggris menyelip ke bahasa Islandia," kata Halldor.
Tak mengherankan jika kisah-kisah saga, prosa epik kuno Nordik yang merekam peristiwa sejarah di masa sekitar abad ke-10, tetap menjadi bacaan favorit sampai sekarang, seperti Saga Erik, yang menggambarkan perjuangan Erik Si Merah membangun permukiman orang Eropa pertama di Greenland. Sastra mereka dihiasi petualangan nenek moyang mereka, bangsa Viking yang gagah berani, dan para dewanya, seperti Thor dan Odin.
Namun penguasaan terhadap bahasa Inggris ini ternyata merepotkan para penerbit buku terjemahan, seperti Bjartur-Verold, yang menerbitkan seri Harry Potter dan The Da Vinci Code versi Islandia. Kami harus cepat menerjemahkan buku-buku bagus itu sebelum buku aslinya masuk ke Islandia," kata Petur Mar Olafsson, wakil penerbitan tersebut. "Kami menyadari bisnis ini rentan, karena harus bersaing dengan sastra Skandinavia yang amat populer. Entah sampai kapan kami bisa bertahan."
Sejarah sastra modern Islandia dimulai dengan munculnya sastrawan abad ke-19, Jonas Hallgrimsson (1807-1845), yang bukunya banyak menceritakan keindahan alam negeri itu. Menjelang abad ke-20, Thorbergur Thorsson (1889-1974) dan Halldor Laxness (1902-1998) menjadi pelopor sastra modern. Bahkan Laxness, yang dianggap berhasil mengungkapkan keindahan sejarah, sosial, dan budaya Islandia, meraih Nobel Sastra pada 1955. Setelah itu bermunculanlah pengarang era 1960-1970, seperti Svava Jakobsdottir (1930-2004) dan Thor Vilhjálmsson (1925-2011), yang berpengaruh besar terhadap munculnya pengarang-pengarang baru.
Serikat Penulis Islandia mencatat ada sekitar 300 penulis dan pengarang buku di sana. Sayangnya, kata Rakel Bjoerndottii, Asisten Manajer Fabulous Iceland, para pengarang belum dihargai selayaknya. Meskipun demikian, itu bukan alasan untuk malas menulis, karena jaminan sosial di sana tergolong yang terbaik di Eropa. Pemerintah juga mendukung pertumbuhan buku dengan mematok pajak buku yang rendah, sekitar 7 persen dari harga buku.
Tapi, "Kebanggaan berkarya tidak bisa diukur dengan uang," kata sastrawan Oskar Arni Oskarsson. Bukunya, Skuggamydir ur ferdalagi ("Siluet dari Sebuah Perjalanan"), yang terbit pada 2008, masuk nominasi Hadiah Sastra Islandia dan telah diterjemahkan ke bahasa Jerman.
Hal senada diungkapkan Gyroir Eliasson, pemenang Hadiah Sastra Nordik 2011, penghargaan bagi pengarang di negara-negara Skandinavia, lewat cerita pendek Militjanna, dan penulis perempuan Oddny Eir Evarsdottir, sarjana filsafat dari Universitas Islandia dan Universitas Sorbonne, Prancis, yang terkenal lewat buku Ilmskyrsla um arstid a haeli ("Rumah bagi Hatiku").
Sastra Islandia telah pula memasuki era digital. Puluhan ribu buku lama sedang dipindai dan disimpan di arsip Internet. Buku modern seperti Travels in the Island of Iceland, During the Summer of 1810 yang disusun George Steuart Mackenzie, dan A Pilgrimage to the Saga Steaks of Iceland oleh W.G. Collingwood & Jon Stefansson, telah dikemas dalam bentuk buku elektronik yang bisa dibaca di iPad dan media lain oleh Bibliolife, arsip digital Inggris yang di awal 2012 akan menggunakan HTML 5 agar koleksinya bisa dibaca dalam berbagai media elektronik.
Namun digitalisasi tidak sampai mempengaruhi eksistensi percetakan. Percetakan Uppheimar milik bekas pengarang Kristjan Kristjansson di pinggiran Kota Reykjavik, misalnya. Uppheimar, yang berdiri pada 2007, pada mulanya cuma mampu menerbitkan satu buku setahun. Tapi, setelah melansir buku karya Gyrdir Eliasson, pemenang Hadiah Sastra Dewan Nordik 2011, usahanya meningkat pesat. "Sehingga kami bisa mencicipi tahun-tahun menguntungkan. Bahkan, ketika Islandia dilibas krisis ekonomi pada 2008, usaha kami malah naik 40 persen," kata Kristjansson.
Uppheimar tidak mengangkat tema populer semacam saga dan misteri Skandinavia, melainkan, misalnya, foto-foto letusan gunung berapi Eyjafjallajoekull, yang pada 2010 memicu kehebohan karena asapnya mengganggu lalu lintas penerbangan internasional di Eropa. Buku luks berukuran besar yang juga sudah diterjemahkan ke bahasa Jerman itu sukses dan dimuat di halaman depan koran The New York Times dan menjadi sampul majalah National Geographic.
Budaya buku di Islandia telah melegenda di dunia. Awal bulan ini Kota Reykjavik menjadi satu-satunya kota di negara yang tidak berbahasa Inggris yang dinobatkan sebagai Kota Sastra oleh UNESCO. Kota lainnya adalah Edinburgh di Skotlandia, Iowa di Amerika Serikat, Melbourne di Australia, dan Dublin di Irlandia. "Literatur adalah bagian terpenting masyarakat Islandia. Cerita dan buku telah menghangatkan negara ini," kata bekas Presiden Islandia Vigdis Finnbogadoottir suatu kali.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo