Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DARI reshuffle ke reshuffle, tontonan yang disuguhkan "Teater Cikeas" tak menunjukkan kemajuan signifikan. Pembabakannya pun begitu-begitu saja. Sebagai prolog, isu perombakan ditiupkan, yang segera menerbitkan gelombang tanggapan dan "evaluasi". Kemudian, seolah-olah menjawab harapan orang banyak dan dengan pertimbangan matang, Presiden menyatakan secara resmi memang akan ada reshuffle. Ketegangan mulai dibangun lewat pertemuan Presiden dengan pemimpin partai-partai koalisi.
Bertebaranlah spekulasi dan sejumlah nama. Presiden tampak sekali menikmati betul babak ini. Bahkan ia ikut aktif meramaikan permainan dengan menebar teka-teki kepada wartawan, "Sudah dapat bocoran?" Pada tahap selanjutnya, calon menteribahkan wakil menteriditampilkan di "pusat teater" di Cikeas. Mereka mendapat panggung untuk menyapa publik lewat juru warta yang senantiasa membanjiri Cikeas.
Rutinitas berikutnya adalah pemeriksaan kesehatan. Sulit menghindari kesan pemeriksaan ini tak lebih dari sekadar basa-basi. Mungkin karena itu, Menteri Badan Usaha Milik Negara yang baru, yang selama ini dikenal sebagai wirausaha workaholic dan tahan banting, dengan enteng menceritakan kepada wartawan bahwa ia hidup dengan hati cangkokan, limpanya hanya berfungsi lima puluh persen, bahkan empedunya telah tiada.
Selama proses ini, hampir semua menteri bersatu padu dalam kor: "Itu hak prerogatif Presiden." Semuanya tampak pasrah, tulus, penuh kemakluman. Bahwa ada yang mengeluh, bahkan marah, setelah dicopot, itu urusan lainmemang lidah tak bertulang. Seperti biasa, sebelum Presiden mengumumkan dengan resmi susunan baru kabinetnya, hampir semua nama sudah bocor ke ranah publik.
Kekecewaan mulai merebak: mengapa menteri yang sedang diusut tetap bercokol, menteri yang gagal melindungi hak beribadah kalangan minoritas masih dipakai, menteri yang main-main kuota tetap dipasang, menteri yang takluk pada kepentingan konglomerasi masih dipertahankan, dan seterusnya. Wallahu a’lam bissawab. Adapun babak terakhir, sebagaimana telah diduga, tiada syak lagi merupakan antiklimaks.
Sesungguhnyalah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yang mendapat dukungan lebih dari 62 persen suara dalam pemilihan presiden, telah melepaskan peluang untuk menata ulang kabinet yang bersih dan berkemampuan. Reshuffle, yang seyogianya bisa menjadi momentum membersihkan kabinet dari unsur-unsur pengganggu dan pelamban, akhirnya tak lebih dari kompromi-ulang koalisi propemerintah yang lebih mencerminkan kalkulasi politik ketimbang pertimbangan kerja.
Jumlah menteridan kementeriantetap dipertahankan 34. Ada rokade beberapa menteri, pencopotan lima menteri, serta berkurangnya kursi menteri dari Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera masing-masing satu. Paling tidak, tiga dari lima menteri diberhentikan bukan karena problem kinerja atau ketersangkutan dengan kasus korupsi, melainkan tersebab persoalan keluarga dan penyakit. Dua lainnya tak terlalu jelas, karena memang sulit mendapatkan parameter yang transparan dalam penyusunan ulang kabinet ini.
Kriteria penempatan wakil menteri pun membingungkan. Misalnya, mengapa perlu ada wakil menteri untuk kementerian baru seperti Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, sedangkan Kementerian Dalam Negeri, yang lingkup kerjanya lebih luas dan pelik, tak mendapat jatah satu wakil menteri pun. Menunjuk sembilan belas wakil menteri, dari sebelumnya sepuluh, jelas bukan bagian dari penghematan anggaran yang justru dibutuhkan negeri ini.
Presiden mungkin ingin memberi kesan, sisa tiga tahun masa jabatannya akan merupakan tahun kerja keras untuk menuntaskan sisa-sisa masalah yang terbengkalai, sehingga sejumlah menteri perlu diberi wakil. Tapi tujuan itu tak akan mudah dicapai dengan kabinet baru ini. Memang Presiden mempertahankan sejumlah menteri berkinerja baik, tapi ia tak mencopot menteri berkinerja "merah". Presiden seperti membiarkan sejumlah kementerian tetap dikuasai menteri yang berasal dari partai anggota koalisinya, walaupun sudah terungkap sejumlah "permainan" di sana.
Siapa pun mafhum, di negeri ini tak ada partai yang merebut mayoritas suara, dan koalisi pun sulit dihindari demi menyelamatkan pemerintahan. Dalam kondisi begini, tak mungkin presiden menyingkirkan kepentingan koalisi yang menyokongnya. Politik akomodasi semestinya diperankan tanpa menghambat pencapaian target kerja pemerintah. Seorang presiden yang tegas, lugas, dan tangkas akan mampu memainkan peran itu dengan baik. Bersikap ragu-ragu, menempatkan citra sebagai prioritas, akan menegaskan kesan bahwa presiden semakin tersandera kepentingan koalisi "dua muka" yang mendukungnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo