Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Vicente del Bosque Gonzalez tak sedang berjudi. Arsitek tim nasional Spanyol ini hanya tengah mencoba sesuatu yang nyeleneh di Piala Eropa 2012: tampil tanpa pemain penyerang atau biasa disebut strategi false nine. Ia akui itu bukan pilihan. "Keadaan yang memaksa," ujar pelatih berusia 61 tahun itu.
Tapi orang tak mau tahu. Begitu Euro dibuka di Polandia, pers Spanyol, pelatih dunia semacam Jose Mourinho, legenda sepak bola Franz Beckenbauer, hingga pendukung La Furia Roja—julukan tim Spanyol—mengkritik strategi tak lazim Del Bosque itu. Mereka menganggap gaya bermain seperti itu memandulkan permainan, membosankan, dan merusak keindahan sepak bola.
Toh, Del Bosque tak surut. Ia mantap atas keputusannya. Apalagi tim Spanyol datang ke turnamen itu dengan beberapa masalah. Striker pilihan utama David Villa tak bisa tampil akibat cedera. Pemain belakang Carles Puyol setali tiga uang.
Kita tahu kemudian, apa yang diyakini Del Bosque itu berujung manis. Pada 1 Juli lalu, di Olympic Stadium di Kiev, Ukraina, Spanyol tak hanya menggebuk Italia dengan skor memalukan 4-0 di partai puncak, tapi sekaligus membungkam semua kritik pedas sepanjang Piala Eropa.
Tim Matador berhasil mempertahankan trofi Henri Delaunay, yang direbutnya empat tahun silam. Spanyol pun mampu menggabungkan Piala Eropa dan Piala Dunia. Sebuah sejarah yang sulit diulang.
"Saya melakukan apa yang saya pikir terbaik. Tak lebih dari itu," ujar Del Bosque merendah. "Saya mempersembahkan kemenangan ini untuk sepak bola Spanyol. Gelar ini untuk semua orang."
"Dia orang yang penting karena dia membuat kami nyaman. Ketenangannya di lapangan menular pada kami," ucap pemain gelandang serang Barcelona, Cesc Fabregas, tentang Del Bosque.
Apa yang menyebabkan Del Bosque memilih memasang formasi tanpa penyerang? Absennya David Villa tersebut jelas menjadi faktor penentu. Tanpa Villa, Spanyol praktis tak memiliki penyerang yang benar-benar mencorong. Fernando Torres masih belum tajam di Chelsea. Fernando Llorente dan Alvaro Negredo juga tak cukup memuaskannya.
Sebaliknya, ia menyaksikan jumlah gelandang yang melimpah dengan kualitas nomor satu. Ada Andres Iniesta, Xavi Hernandez, Xabi Alonso, David Silva, Juan Mata, dan Cesc Fabregas. Semua gelandang itu memiliki kemampuan menyerang. Mereka inilah, kata Del Bosque, yang memberi warna emas pada generasi sepak bola Spanyol.
Maka mantan pelatih Real Madrid ini pun tak ragu membangkucadangkan Llorente dan Torres. Ia memilih menempatkan gelandang serang Cesc Fabregas sedikit ke depan untuk mengisi posisi Llorente atau Torres. Strategi ini biasa disebut false nine. Ini adalah strategi ketika satu tim bermain tanpa penyerang murni.
Disebut false nine lantaran penyerang murni umumnya memakai kaus dengan nomor punggung 9, seperti Torres. Pemain yang menggantikan penyerang inilah yang lantas disebut false nine atau "penyerang palsu".
Spanyol sebenarnya menganut pola permainan 4-3-3. Tujuannya untuk menguasai lini tengah. Namun, pada awal turnamen, tim itu bermain tanpa penyerang. Banyak yang menyebut pola itu sama dengan 4-6-0 alias empat pemain belakang dengan enam gelandang.
Del Bosque menilai Fabregas mampu bermain optimal dalam memainkan perannya sebagai penyerang palsu ini. Ini terbukti ketika Fabregas berhasil mencetak dua gol ke jala lawan sepanjang Piala Eropa lalu.
Dalam partai pembuka Grup C menghadapi Italia, Del Bosque sudah memakai strategi false nine, meski dengan hasil akhir imbang 1-1. Strategi ini baru benar-benar mengena ketika Spanyol menyingkirkan Prancis 2-0 di babak perempat final.
Del Bosque bukanlah orang pertama yang menerapkan metode "penyerang palsu" itu. Francesco Totti bisa dibilang sebagai pelopor. Ia menerapkannya di klub AS Roma pada musim 2006/2007. Lionel Messi memainkan peran itu saat bertukar posisi dengan Samuel Eto’o di Barcelona pada 2008/2009. Juga ada Robin van Persie, yang mengisi peran itu untuk Arsenal pada musim 2009/2010.
Di Liga Spanyol, strategi false nine dijalankan dengan sempurna oleh klub Barcelona. Strategi itulah yang mengantar sukses bagi pelatih Pep Guardiola. Bedanya, di Barcelona ada sosok pemain Argentina bernama Lionel Messi.
Fabregas bukanlah Messi, yang bisa mengacak-acak pertahanan musuh dengan gocekan lincahnya. Del Bosque pun tak menampik kenyataan itu. Ia justru menyebutkan, "David Silva adalah Messi-nya Spanyol." Ironisnya, ia tak memberi kepercayaan kepada pemain Manchester City ini untuk menempati posisi false nine. Silva malah ditarik lebih ke kanan, seperti posisinya di klub Inggris itu.
Di Barcelona, Guardiola pernah mencoba Fabregas berperan sebagai "penyerang palsu" pada awal musim kompetisi lalu. Rupanya kurang berhasil. Fabregas pun kembali ditarik ke belakang. Messi kembali memainkan peran itu sebelum mencetak 50 gol untuk Barcelona.
Sementara Guardiola menganggap Fabregas gagal mengeksekusi perannya, Del Bosque justru berani memasang pemain berusia 25 tahun itu untuk berperan sebagai false nine. Dengan Fabregas sedikit maju, trio gelandang Xabi Alonso, Sergio Busquets, dan Xavi menjadi lebih leluasa bergerak.
Strategi ini terbukti ampuh. Spanyol tak hanya berhasil meraih gelar ketiganya berturut-turut di turnamen internasional, tapi juga menjelma menjadi sebuah kekuatan besar menjelang Piala Dunia 2014 di Brasil.
Brasil, Argentina, Jerman, dan tim lain kini harus bekerja lebih keras mencari cara menangkal kedigdayaan Spanyol. Dalam dua tahun ke depan, Spanyol tetap diprediksi masih menjadi kekuatan dahsyat sepak bola dunia yang pernah ada sejak dominasi Pele dan tim Brasil.
Mungkin satu-satunya cara mengalahkan Spanyol adalah dengan meniru gaya permainan mereka, yakni menerapkan permainan tiki-taka atau melakukan operan pendek dengan cepat. Rebut bola dari kaki pemain Spanyol dan biarkan giliran mereka berusaha mencuri bola. Setelah puas memainkan bola, hunjamkan tusukan mematikan ke arah gawang.
Spanyol menggunakan taktik tiki-taka sebagai senjata melumpuhkan sekaligus mematikan lawan. "Ketika kami mencoba meladeni permainan mereka, kami malah kelelahan dan tak bisa berbuat apa-apa," kata Miroslav Klose, menjelaskan alasan kekalahan tim Jerman dari Spanyol di Piala Dunia 2010.
Gaya permainan Spanyol dengan menguasai bola selama mungkin cukup impresif. Sejak tim Matador memainkan tiki-taka di Piala Eropa 2008, angka statistik penguasaan bola terus menanjak. Federasi sepak bola dunia, FIFA, mencatat, dalam Piala Eropa empat tahun lalu, penguasaan bola Spanyol hanya 56 persen. Dua tahun berikutnya, di Piala Dunia 2010 di Afrika Selatan, naik menjadi 65 persen, dan 68 persen di Piala Eropa 2012.
Penguasaan bola diyakini Del Bosque sebagai salah satu kunci sukses timnya. "Kami percaya dengan apa yang kami sebut ’Tiga P’, yakni pressing (menekan lawan), possession (menguasai bola), dan profundity (menusuk tajam saat menyerang). Itu yang kami lakukan dalam setiap pertandingan."
Pep Guardiola pun menambahkan, "Bermain dengan atau tanpa penyerang tengah tak akan membuat perbedaan besar dalam cara bermain Spanyol. Mereka tetap memainkan tiki-taka yang indah."
Firman Atmakusuma (Soccer, Bexleytimes, ESPN)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo