Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Goyang Maut Pantai Utara

Sepanjang dua dekade terakhir, tarling dangdut menjadi hiburan populer di kawasan pesisir utara Jawa Barat, terutama Cirebon dan Indramayu. Musik yang mengawinkan tarling, musik tradisional Cirebon, dengan dangdut ini juga telah identik sebagai pentas hiburan rakyat ketika musim panen tiba atau pada bulan-bulan besar, Mei hingga Juli.

Gelegak tarling dangdut yang identik dengan goyang mautnya melahirkan sejumlah superstar lokal dengan ribuan penggemar fanatik. Pertunjukan hiburan ini juga memunculkan grup tarling baru, yang jumlahnya mencapai ratusan. Tempo menelusuri fenomena yang tengah menggelora di Pantura—Pantai Utara Jawa—itu hingga cerita mistik di balik panggung tarling dangdut.

9 Juli 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI atas panggung seluas 11 x 11 meter, Yuliana Zn. tak henti bergoyang sambil melantunkan lagu andalannya: Rada Edan. Suara gendang dan gong yang mengiringinya berdentam-dentam memecah malam. Goyangannya makin edan saat tabuhan gendang dan tiupan seruling kian cepat. Yuliana, yang memakai rok mini, disambut teriakan dan siulan nakal ratusan penonton di Desa Sabawan, Tegal, Jawa Tengah.

Tapi, sabar, Yuliana baru penyanyi pembuka. Penyanyi utamanya, Diana Sastra, naik panggung dengan agak dramatis. Efek asap disemprotkan dari kedua sisi panggung dan sinar lampu ratusan watt menyorot kedatangannya bersama lima penyanyi lain ke atas pentas. Mereka menghampiri Yuliana, lalu bersama-sama menyanyikan Salam Dian Prima—lagu pembuka pertunjukan grup tarling Dian Prima.

Diana, sang pemimpin grup, kemudian menuju bibir panggung, berjalan mendekat ke tempat duduk sahibulhajat yang menikahkan anak bungsunya. Dengan keras ia berkata dari atas panggung: "Selamat malam semuanya...!" Salamnya disambut gemuruh tepuk tangan. Maka pesta tarling dangdut yang digelar pertengahan Mei lalu itu pun resmi dibuka.

Diana Sastra, yang malam itu berdandan kasual, punya nama begitu harum di desa tersebut. Tembangnya, Remang-remang dan Keder Balike, amat dikenal. Tanpa diminta pun penonton akan ikut bernyanyi bersama-sama. "Remang-remang itu lagu yang menyentuh banget," ujar Deli Afriyana, 21 tahun. Lagu ini berkisah tentang seorang gadis yang terjebak menjadi pelacur di warung remang-remang agar bisa mengirim uang dan membahagiakan orang tuanya.

Menjelang tengah malam, panggung kian ramai. Para pria yang membawa segepok uang mulai naik pentas. Di tengah lagu, mereka memberikan uang pecahan mulai seribu hingga seratus ribu rupiah ke tangan penyanyi. Yang berani nakal menyelipkan uang ke balik baju biduanita. Perang sawer pun terjadi.

Setiap kali seorang penonton menyawer, penyanyi akan menyiarkan namanya keras-keras. Hal ini seperti membuat penonton lain iri dan berebut menyawer agar disebut juga namanya. Para penyanyi sudah lihai merayu. Mereka memuji penyawer dengan panggilan bos. Ada bos beras kalau dia penjual beras, ada yang dipanggil bos warteg kalau dia buka warung Tegal. Pokoknya, malam itu semua adalah bos.

Keesokan harinya, perang sawer juga terjadi di Desa Wotgalih, Cirebon, Jawa Barat. Sejumlah undangan di sebuah pesta pernikahan merogoh saku dan naik ke atas panggung. Mereka "mengelus" pipi dan tubuh mulus sang penyanyi, Iis Apita (Anak Pinggir Tanggul), dengan uang. Namun Iis tetap bergoyang syur sambil membawakan lagu andalannya: Berondong. "Asalkan sawernya tidak berlebihan, aku nyaman saja," kata Iis, yang tampil menor dengan gaun merah pendek, jauh di atas lutut.

Dalam acara hajatan itu, tak hanya lelaki yang menyawer. Ibu-ibu juga melakukannya, disaksikan anak-anak yang masih duduk di sekolah dasar. Soal jumlah saweran, kaum ibu tidak kalah. Mamayuna, 35 tahun, bahkan berani memberi saweran sebesar Rp 100 ribu. "Saya jawara joget dan nyawer," ujar warga Desa Gamel, Plered, Cirebon, itu bangga.

Dalam dua dekade terakhir, tarling dangdut memang menjadi hiburan terpopuler di kawasan Pantai Utara Jawa (Pantura), terutama Cirebon dan Indramayu. Biasanya pertunjukan tarling marak pada musim panen. Mereka mengisi pelbagai hajatan, mulai pesta panen, perkawinan, hingga khitanan. "Rezeki penyanyi tarling juga mengikuti petani saat musim panen," ujar Nunung Alvi, pemimpin grup tarling Nada Ayu. "Bahkan sehabis Lebaran sudah full," kata Aas Rolani, penyanyi dangdut tarling kenamaan sekaligus pemimpin grup Gamelor.

Padahal menyewa grup tarling tidak murah. Untuk mendatangkan penyanyi sekelas Diana Sastra, mereka harus keluar duit Rp 18-25 juta. Khadijah, 52 tahun, warga Desa Sabawan, Tegal, sudah ketiga kalinya mendatangkan grup tarling. "Mulai yang harganya Rp 9 juta sampai Rp 19 juta seperti Diana Sastra," kata perempuan dengan aneka perhiasan emas di leher dan tangannya itu.

Suami Khadijah, Irawan, mengatakan keluarga besarnya, yang rata-rata pengusaha warteg di Jakarta, memang pencinta tarling. Ia tidak pernah banyak perhitungan soal menghibur masyarakat. Karena itu, Irawan dan istrinya mendatangkan grup Dian Prima. "Kalau tarlingnya biasa saja, saya juga malas melihatnya," ujarnya.

Sesungguhnya ini bukan hanya soal kualitas. Bagi masyarakat di pesisir Pantura, menggelar hiburan dengan mengundang grup tarling ternama juga menandakan status sosial. Sang pengundang akan menjadi omongan di lingkungannya. Apalagi kalau yang diundang artis kondang, seperti Diana Sastra.

Saling adu gengsi untuk bisa mendatangkan hiburan mewah itu kerap menjadi bumerang. Fajar Andianto, suami Diana Sastra, mengatakan banyak pengundang yang menunggak pembayaran karena sebenarnya tak mampu. Sampai-sampai pihaknya membuat surat perjanjian bayar utang dengan mereka. "Orang pesisir ini gengsian," ujar Fajar.

l l l

Tarling (kependekan dari gitar dan suling) berawal dari Desa Kepandean, Indramayu, Jawa Barat. Suatu hari pada 1931, seorang komisaris Belanda, Antonio, meminta tolong kepada warga bernama Mang Sakim—ahli gamelan yang sebenarnya tak bisa bermain gitar—untuk memperbaiki gitar akustiknya.

Setelah gitarnya diperbaiki, Antonio ternyata tidak mengambil kembali gitar buatan Spanyol itu. Kesempatan itu digunakan Mang Sakim untuk mempelajari gitar dan membandingkannya dengan nada pentatonis gamelan. "Senar gitar itu dicoba-coba. Disamakan dengan suara gamelan," kata Sunarto Marta Atmadja, 68 tahun, sesepuh tarling, yang akrab dipanggil Kang Ato.

Anak Mang Sakim, Sugra, melakukan hal sama. Suara gitar ternyata memperindah tembang-tembang (kiser) Dermayo­nan (Indramayuan) dan Cerbonan, yang biasanya diiringi gamelan. Keindahan semakin lengkap setelah petikan gitar diiringi juga dengan suling bambu. Inilah awal mula kesenian tarling.

Alunan gitar dan suling bambu ini mewabah pada akhir 1930-an. Pada 1935, para anak muda yang memainkan musik ini saat nongkrong di warung-warung melengkapi alunan gitar dan suling dengan kotak sabun, yang berfungsi sebagai gendang, dan kendi sebagai gong. Kemudian mereka melengkapinya lagi dengan alat musik lain, berupa baskom dan ketipung kecil sebagai perkusi.

Namun nama tarling saat itu belum digunakan sebagai jenis aliran musik. Saat itu nama yang digunakan untuk menyebut jenis musik ini adalah Melodi Kota Ayu untuk wilayah Indramayu dan Melodi Kota Udang untuk wilayah Cirebon.

Nama tarling baru diresmikan oleh Ketua Badan Pemerintah Harian Drs Memed pada 17 Agustus 1962 di Arjawinangun, Cirebon. Waktu itu Kang Ato menjadi MC ciliknya. Oleh Memed, nama tarling, selain diidentikkan dengan nama instrumen gitar dan suling, dilekatkan dengan istilah yen wis mlatar gage eling, yang artinya andai banyak berdosa, segeralah bertobat.

Pada 1950-an Uci Sanusi, seorang seniman orkes keroncong Irama Famili, mengkreasi nada tarling hingga menjadi sama dengan keroncong. Uci juga yang pertama kali membawa tarling ke atas panggung lengkap dengan penyanyi dan tujuh alat musiknya: dua gitar, satu seruling, dua gong, satu kecrek, dan satu gendang.

Pada 1960-an, seniman tarling, seperti Kang Ato, Abdul Abjid, Lulut Casmaya, dan Yoyo Suwaryo, mengawinkan tarling dengan dangdut. Hal itu memunculkan istilah tarling dangdut modern. Namun Kang Ato lebih suka menyebutnya Cirebon Modern, meski pencinta lagu tarling berasal dari Indramayu dan wilayah sepanjang Pantai Utara.

Menurut Kang Ato, aliran Cirebon Modern atau tarling dangdut sama sekali tidak terpengaruh oleh dangdut Rhoma Irama dan Ellya Khadam, yang populer di Ibu Kota pada 1970-an. Meski demikian, ia mengakui ada kemiripan dalam instrumen gitarnya. Namun cengkoknya berbeda. "Kalau cengkok Cirebon lebih panjang," ujarnya.

Perbedaan lainnya adalah pemakaian gendang. Dangdut biasa memakai gendang ala India, sementara tarling memakai gendang besar yang disebut blangpak dan gendang kecil yang disebut ketipung. "Ini perbedaan yang paling signifikan," kata Kang Ato. Bahkan berbeda dengan kendang dangdut koplo, yang juga populer di Pantura. "Koplo beat-nya lebih cepat," ujar Mulad, penabuh gendang grup tarling Dian Prima.

Perkembangan lirik tak kalah menarik. Awalnya, lirik tarling diambil dari syair wangsalan dan tarikan (pantun dan sastra lisan Cirebon). Lagu tarling ciptaan Jayana dan Uci Sanusi yang cukup dikenal saat itu adalah Kiser Manunggal, Kiser Gerombol, dan Cerbonan Mergot, yang masih bisa dinikmati hingga kini. "Lirik lagu tarling klasik waktu itu sudah bertema cinta," kata Kang Ato.

Salah satu lagu tarling yang paling populer pada 1960-1970-an adalah Warung Pojok karya Abdul Abjid (almarhum). Lewat lirik lagunya, Abjid mengangkat cerita tentang kecantikan pelayan warung pojok di terminal Gunung Sari, yang sekarang dirombak menjadi Gunung Sari Trade Center, Cirebon. Setiap selesai manggung, Abjid selalu mampir ke warung itu, sekadar mengopi dan makan gorengan.

Kepopuleran lagu Warung Pojok sampai ke telinga pendengar radio di Australia dan Malaysia. Bahkan dibuatkan filmnya dengan judul yang sama pada 1977. Pernah juga, kata Insan S. Abjid, anak kedua Abdul Abjid, dinyanyikan oleh pasukan pengibar bendera dalam upacara di Istana Negara pada 1983. "Dewi Yul juga minta izin ke Bapak untuk menyanyikannya di Den Haag, Belanda," ujar Insan.

Kini lirik tarling dangdut modern banyak melukiskan kisah percintaan dan masalah perempuan. Lirik lagu tarling kuat karena lekat dengan kenyataan hidup masyarakat pesisir Cirebon dan Indramayu, yang berlatar belakang budaya biasa kawin muda, kawin-cerai, dan poligami. Lagu Remang-remang Diana Sastra salah satu contohnya. Kadang lagu-lagu itu agak vulgar. Namun ada juga yang berisi nasihat, seperti yang dipopulerkan Dariyah. Ia membawakan lagu Gambaran Urip, Nuntun Sapi, dan Pikir-pikir Dingin.

l l l

Setelah mengalami masa suram pada 1980-an, tarling dangdut kembali bangkit pada 1998. Tarling mencapai puncaknya pada 2002-2006. Di Indramayu, misalnya, tercatat 285 grup tarling dangdut berdiri. Boleh dibilang hampir setiap desa di sana memiliki satu grup tarling dangdut.

Saat ini tarling dangdut tak hanya menggelegak di panggung-panggung, tapi juga telah merambah ke rumah, warung, dan angkutan umum. Di Cirebon, misalnya, setiap pagi Teguh, 32 tahun, selalu ditemani lagu-lagu Nunung Alvi dan Diana Sastra sembari membuka warung empal gentongnya di depan Hotel Zamrud. Di telepon selulernya terdapat puluhan lagu tarling berformat mp3. "Kalau lagi galau, tinggal milih saja lagunya," katanya sambil tertawa.

Lagu-lagu tarling juga memekakkan telinga penumpang angkutan kota. Meski bertampang gahar, sopir angkot hafal lagu-lagu tarling yang mendayu. Misalnya Budi Anto, 35 tahun. Sopir angkutan 05 rute Gunung Sari-Ciperna ini menyukai lagu dangdut tarling yang dibawakan Wulan Affandi. "Ngadu Adon, Layung Biru, dan masih banyak lagi," kata warga Desa Ciperna, Cirebon, ini malu-malu.

Penjualan album-album dangdut tarling juga laris. Bukan hal aneh jika dalam sehari satu toko bisa menjual 70-an keping cakram padat album tarling. Tentunya album tersebut hampir 99 persen terdapat dalam format bajakan dengan harga cuma Rp 5.000. "Tapi sekarang sudah mulai tersaingi sama lagu Korea," kata Seno, pemilik kios Yopi VCD Collection di Jalan Pekalipan, Cirebon.

Salah satu yang banyak menuai untung dengan berkembangnya tren ini adalah label rekaman di sepanjang Pantura. Hal itu diakui Titin Maksus Affandi, produser label rekaman Maju Bersama (MB) Records. "Setiap bulan, 3-4 artis tarling bikin album di sini," katanya. Artis top tarling yang di bawah label ini adalah Iis Apita, Wulan Affandi, Diana Sastra, Edy Jacky, dan Boy Leo. Jika satu perusahaan rekaman bisa mengeluarkan 3-4 album, di seluruh Cirebon setiap bulan muncul selusin album baru.

Beberapa waktu lalu, Tempo menyaksikan proses pembuatan album dangdut tarling di studio MB Records di Gang Damai, Ciperna, Cirebon. Tempatnya cukup sederhana. Hanya ada beberapa alat musik, seperti gitar, serta perangkat perekam untuk kegiatan recording, mixing,­ dan mastering, ditambah dua unit komputer.

Menurut Nurwadi, editor MB Records, sebagai awal pembuatan album, penyanyi harus melalui tes vokal selama satu pekan. Setelah matang, suara penyanyi itu akan dimasukkan ke perangkat lunak audio, untuk membuang suara yang fals. Data suara ini kemudian di-mixing untuk harmonisasi nada, sekaligus tahap akhir.

Selesai itu, proses pembuatan album akan masuk ke pembuatan klip video. Syuting klip video biasanya dilakukan di hotel atau studio, tergantung pesanan artis. Setelah semua unsur itu lengkap, data suara dan gambar akan digabungkan ke video, ditambah dengan teks karaoke. Penyanyi harus merogoh kocek sebesar Rp 24 juta untuk memiliki satu album yang berisi 12 lagu. "Prosesnya sekitar sebulan lebih," ujar Nurwadi.

Di studio rekaman Mantra Asmara, Indramayu, biaya produksi albumnya lebih murah. Namun jumlah lagunya lebih sedikit, yaitu berisi 10 lagu." Dalam sebulan, Mantra Asmara bisa mendapatkan 2-3 artis dangdut tarling," kata wakil pemilik studio, Rohid Falak, yang juga penyanyi dan pencipta lagu.

Banyaknya album yang dirilis akhir-akhir ini karena peran uang. "Kalau punya duit dijamin bisa rekaman. Tidak usah bagus-bagus suaranya," ujar Boy. Dulu, kata dia, kekuatan vokal dalam rekaman amat penting, meskipun penampilan sang penyanyi biasa saja. "Sekarang yang dilihat bukan vokalnya, melainkan goyangannya," tutur Boy.

Menurut Iis, penyanyi dangdut tarling harus bergoyang. Kalau tidak, silakan menyanyi lagu pop atau yang lain. Penyanyi Aan Anisa, yang goyangannya memang edan, mengatakan, ketika di atas panggung, seorang penyanyi harus bisa menghibur penonton. "Kalau sudah di panggung, aku menggila. Pengeras suara pun aku goyang," ujar pelantun lagu Pengen Dibolongi ini sembari tertawa.

Heru Triyono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus