Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Petisi kepada Sebuah Buku

Peluncuran buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh memicu polemik. Nama Denny Januar Ali dinilai tidak layak.

27 Januari 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sebuah spanduk dibentangkan di depan kantor Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin di kawasan Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Jumat sore dua pekan lalu. Isinya penolakan terhadap buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh, yang diluncurkan pada awal Januari 2014. "Selamatkan sejarah sastra Indonesia! Tolak pembodohan buku 33 Tokoh Sastra Paling Berpengaruh," begitu tulisan di spanduk.

Inilah buku sastra yang paling kontroversial pada awal 2014. Seminggu setelah peluncurannya, belasan orang yang terdiri atas sastrawan, kritikus, pencinta buku, dan aktivis itu juga mengeluarkan petisi penolakan peredaran buku terbitan Kepustakaan Populer Gramedia tersebut di situs www.change.org. Dimotori Saut Situmorang, Faruk H.T., Dwicipta, Eimond Esya, Nuruddin Asyhadie, dan Wahyu Adi Putra Ginting, petisi itu mendesak Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menunda atau menghentikan sementara peredaran sang buku.

Nuruddin Asyhadie menyebutkan Tim 8 sebagai juri sekaligus penyusun buku bukanlah orang-orang yang berkompeten dalam bidang kesusastraan dan telah kehilangan integritas. Tim 8 terdiri atas Jamal D. Rahman (ketua), Acep Zamzam Noor, Agus R. Sarjono, Ahmad Gaus, Berthold Damshäuser, Joni Ariadinata, Ma­man S. Mahayana, dan Nenden Lilis Aisyah. Ia keberatan terhadap tokoh-tokoh pilihan buku yang antara lain memasukkan nama Denny Januar Ali, yang lebih dikenal sebagai konsultan politik ketimbang sastrawan. Puisi-puisinya-yang masuk genre puisi esai-dinilai belum memberi pengaruh dan melampaui zaman.

Di buku setebal 777 halaman itu, para penulis mengupas satu per satu pengaruh 33 tokoh sastra sejak 1900-an baik dari karya maupun perilaku mereka. Tokoh-tokoh sastra yang berangkat dari zaman Balai Pustaka, seperti Marah Roesli dan Muhammad Yamin, hingga para penulis kontemporer, seperti Ayu Utami dan Helvi Tiana Rosa.

Jamal mengatakan buku itu digarap sejak akhir 2011. Embrionya berawal dari pertemuannya dengan Ariany Isnamurti, Kepala Pelaksana Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) H.B. Jassin. Dengan melihat limpahan dokumentasi koran di PDS, muncul keinginan kedua pihak untuk membuat buku berdasarkan bahan yang sangat bernilai itu.

Ahmad Gaus, anggota Tim 8, mengatakan Jamal mendapatkan mandat tertulis dengan kop surat dari PDS H.B. Jassin untuk menulis buku tersebut. Klaim itu dibantah Ariany. "Prinsipnya PDS sebagai penyedia dokumentasi bagi delapan penulis dalam rangka mereka menulis buku dan sebagai penyelenggara peluncuran buku," ujar Ariany. Adapun biaya yang diminta PDS kepada Tim 8 meliputi biaya peluncuran buku Rp 60 juta dan biaya fotokopi dokumen.

Berbekal mandat itu, Jamal kemudian berdiskusi dengan teman-teman di kalangan sastrawan soal rencana menerbitkan buku yang relatif baru, bukan antologi atau ensiklopedia, itu. Gaung bersambut. Rencana itu disepakati oleh delapan orang. Dari awalnya lewat e-mail, kemudian berlanjut pertemuan tatap muka untuk menetapkan nama berdasarkan kriteria yang telah mereka tetapkan.

Awalnya, kata Jamal, masuk ratusan nama sastrawan sejak 1900 hingga sekarang. Dalam menetapkan nama, pada pertemuan awal Maret 2013 di Cisarua, beberapa nama secara bulat diterima, seperti H.B. Jassin, Sutan Takdir Alisjahbana, Amir Hamzah, dan Chairil Anwar. Namun, memasuki angka 20-21, perdebatan nama mulai muncul. Jamal mencontohkan nama tokoh yang sama sekali bukan sastrawan, seperti Arief Budiman, tapi ada yang mengusulkan. Mereka pun akhirnya memilih tokoh sastra, bukan sastrawan.

Jamal mengakui ada beberapa nama tidak diterima secara bulat di Tim 8. Apakah Denny? "Tidak etis saya sebutkan," ujarnya. Pada akhirnya, kata dia, 33 nama itu dipilih Tim 8. "Kami sepakat itu keputusan Tim 8." Dia juga menolak menyebutkan pengusul nama Denny. "Saya lupa. Sebab, begitu masing-masing mengusulkan, kami masukkan ke list," ucapnya. "Bagi kami, tidak penting lagi siapa mengusulkan siapa."

Yang penting, tokoh tersebut memenuhi salah satu dari empat kriteria: pengaruhnya berskala nasional dan relatif berkesinambungan; menempati posisi kunci, penting, dan menentukan; menempati posisi sebagai pencetus atau perintis gerakan baru yang kemudian melahirkan pengikut, penggerak, atau bahkan penentang, dan akhirnya menjadi semacam konvensi, fenomena, dan paradigma baru dalam kesusastraan Indonesia.

Maman S. Mahayana, salah satu anggota tim, ikut menandatangani hasil diskusi. Namun, "Penandatanganan itu lebih merupakan bentuk penghargaan saya pada perbedaan," ujarnya. Maman dihubungi Jamal D. Rahman dan Agus R. Sarjono pada Februari 2013. PDS H.B. Jassin meminta Ma­man menulis buku tentang sastrawan Indonesia yang fenomenal. Dia diminta membuat draf dasar pemikiran, kriteria, dan senarai 40-50 nama sastrawan penting untuk didiskusikan.

Maman kembali mendapat kiriman e-mail dari Jamal pada 26 Februari 2013, yang memintanya berkumpul di Cisarua atas undangan PDS H.B. Jassin. "Kegiatan ini secara formal dilaksanakan oleh PDS H.B. Jassin. PDS H.B. Jassin telah memberikan mandat kepada Jamal D. Rahman untuk mengkoordinir kegiatan dimaksud," begitu bunyi e-mail itu.

Pada 1 Maret, Maman dijemput Jamal dan Ahmad Gaus di Bogor. Sementara itu, di Hotel Grand Ussu, Cisarua, Bogor, sudah ada Berthold Damshäuser dan Agus R. Sarjono. Tapi Maman mengaku tidak menjumpai orang dari PDS H.B. Jassin. Malamnya, penulis lain datang sehingga lengkap delapan orang.

Dalam daftar terakhir yang dikirim Jamal sudah ada nama Denny. Namun ia sendiri menolak Denny dalam tiga hal: kiprahnya baru seumur jagung dan kontribusinya yang masih harus dilihat dalam tahun-tahun ke depan, buku Denny J.A. belum memiliki pengaruh signifikan bagi perkembangan sastra Indonesia, dan terakhir soal kepantasannya jika dibandingkan dengan sastrawan lain.

Menurut Maman, meski Jamal tidak eksplisit menyebutkan proyek itu dibiayai Denny J.A., indikasinya ke arah sana jelas. Menjelang dan seusai diskusi di Cisarua, dia menambahkan, salah seorang dari Tim 8 menyebutkan bahwa panitia yang mengurus diskusi di Cisarua adalah orang-orang atau pegawai Denny. "Waktu itu saya tak terlalu mempersoalkannya benar. Toh, saya sudah menyatakan sikap ketidaksetujuan saya atas masuknya nama Denny J.A. dan Wowok (Wowok Hesti Prabowo, penyair buruh)," ujarnya.

Perdebatan tak berhenti di kalangan internal Tim 8. Memasuki tahap penerbitan, Candra Gautama, Manajer dan Editor Copublishing Kepustakaan Populer Gramedia, mewanti-wanti Tim 8 bahwa naskah mereka akan memicu kontroversi terkait dengan nama Denny J.A. dan Wowok Hesti Prabowo serta bangunan di pengantar yang bisa dianggap lemah. "Tapi mereka sudah menyatakan siap dan kami tetap menerbitkan buku itu untuk memberikan hak mereka untuk menyatakan pendapat di ruang publik," katanya.

Kritik atas masuknya nama Denny J.A. dipertanyakan Ahmad Gaus. Menurut dia, Denny memiliki rekam jejak sebagai penulis, meski yang signifikan adalah puisi esai. "Saya kira obyektif, tidak hanya menciptakan, tapi dia juga mendorong untuk membuat puisi esai," ujar penulis untuk bagian Denny J.A. ini.

Gaus juga membantah kabar bahwa Denny menjadi sponsor buku itu. Menurut dia, pendanaan secara keseluruhan berasal dari sumber-sumber panitia di luar. "Ada ET, pengusaha properti, dan FE, pengusaha tambang," ucapnya tanpa merinci lebih jauh. "Bung Denny salah satu tokoh yang dipilih, riskan kalau minta dana ke dia."

Seorang sumber mengatakan Denny memang mengeluarkan sampai Rp 2 miliar untuk buku ini. "Jawaban saya itu tidak benar. Terlalu banyak gosip dan fitnah di dunia sastra rupanya," ujar Denny. Ia juga mengatakan tak pernah berjumpa dan berhubungan dengan Maman. "Saya tak kenal dia."

Menurut Denny, buku ini harus dilihat juga secara positif karena menstimulasi sastra. "Ini sebuah ikhtiar dan hasilnya boleh tak sempurna. Generasi selanjutnya silakan menyempurnakannya," ujarnya. Sebuah buku, ia menambahkan, bisa buruk, salah, dan tak sempurna. "Ini bukan kitab suci. Kritik buku dengan buku."

Erwin Zachri, Rosalina

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus