MENJADIKAN Gelanggang Olah Raga (Gelora) Senayan daerah bebas polusi. Inilah kelihatannya tujuan paling dekat Brigadir Jenderal (purnawirawan) Suhartono, sebagai direktur pelaksana Gelora Senayan yang baru. "Senayan bukan untuk mencari keuntungan semata, tapi bagaimana memberikan pelayanan sebaik mungkin bagi masyarakat, terutama atlet," katanya beberapa saat setelah menerima penyerahan jabatan direktur Gelora Senayan dari direktur lama, Gatot Soewagio, dalam sebuah upacara yang disaksikan Menteri Sekretaris Negara, Sudharmono, Sabtu pekan lalu. Memang, selama ini pusat kegiatan olah raga itu, terutama jalan-jalan aspal yang mengitari Stadion Utama dan berbagai gelanggang olah raga yang lain, menjadi kancah lalu lintas mobil dan sepeda motor. Mereka terkadang sampai-sampai menerobos masuk ke lapangan-lapangan rumput penghijau yang terdapat di situ. Udara menjadi kurang sedap dalam suasana tambah gandrungnya orang berolahraga di sana. Yang berlatih gerak jalan, jalan kaki, bersepeda, dan lari menjadi mangsa udara yang tercampur gas racun dari knalpot. Untuk menjadikan Senayan daerah yang lengang dari lalu lintas kendaraan bermotor, barangkali bukanlah pekerjaan yang terlalu pelik buat Suhartono, 56, bekas inspektur bidang pengawasan BPK, yang sekarang duduk dalam staf ahli Menteri Sekretaris Negara itu. Tantangannya yang terbesar adalah bagaimana menyelenggarakan gelanggang olah raga itu lepas dari kesulitan-kesulitan keuangan sebagaimana yang dialami dalam masa Gatot Soewagio dan para pendahulunya. Ketika dirancang tahun 1958 dan benar-benar menjadi gelanggang Asian Games 1962, Senayan tidak dipikirkan akan mengalami masalah keuangan. Sebab, waktu itu pemerintah memberikan subsidi penuh untuk penyelenggaraan dan perawatannya. Setelah Asian Games berlangsung, untuk mengelola gelanggang olah raga itu dikeluarkan Surat Keputusan Presiden tanggal 24 September 1962 tentang pembentukan Yayasan Gelanggang Olah Raga Bung Karno. Selama beberapa tahun, yayasan itu tidak menghadapi masalah. Tetapi, setelah peristiwa G-30-S PKI, 1965, kesulitan mulai membayang. Sebab, sejak 1 Januari 1966 pemerintah menghentikan subsidi. Yayasan terpaksa berjalan dengan membiayai diri sendiri. Sampai pada tahun 1967 kesulitan keuangan belum begitu terasa benar. Maklum, gedung dan berbagai fasilitas olah raga yang terletak di areal seluas 350 ha itu, masih dalam kondisi siap pakai. Tetapi pada awal 1970-an, keadaan mulai menggawat, karena beberapa gedung mulai rusak dan memerlukan biaya perawatan yang semakin besar. Menghadapi kemelut itu, yayasan mengambil jalan pintas dengan menjual sebagian dari tanah yang termasuk dalam Gelora Senayan. Tidak begitu jelas berapa luas tanah yang dijual. Sebab, beberapa bidang tanah ada pula yang dihibahkan kepada pemerintah, seperti areal yang ditempati TVRI dan areal yang di atasnya sekarang berdiri bangunan DPR-MPR serta Taman Ria Remaja. Sedangkan yang dijual kepada pihak swasta tercatat 2,2 ha, dibeli PT Amana Jaya tahun 1970. Perusahaan ini merencanakan pembangunan Hotel Diamond. Tetapi belakangan tanah ini pindah tangan ke Panin Bank. Tahun berikutnya dijual pula 13 ha kepada PT Indobuildco seharga US$ 1,5 juta dan kini di atasnya berdiri Hotel Hilton. Sementara itu, tanah yang kini ditempati Ratu Plaza, seluas 1,7 ha, dijual tahun 1973 dengan nilai Rp 483 juta. Menurut Gatot Soewagio, yang menjadi direktur yayasan sejak 1978 (yayasan kemudian berubah menjadi Yayasan Gelora Senayan) luas tanah milik yayasan, begitu diukur tahun 1982, tinggal 220 ha. Pada zaman Gatot Soewagio biaya pengelolaan kelihatannya sedikit banyak tertolong dengan adanya bantuan presiden tahun 1978. Bantuan itu berupa deposito yang tak boleh diutak-atik "induknya" yang disimpan di BNI 1946 dan Bank Bumi Daya yang berjumlah Rp 3,6 milyar. Hanya bunganya saja yang boleh dimanfaatkan, itu pun berdasarkan izin presiden. Menurut laporan yang disusun Direksi Yayasan Gelanggang Olah Raga Senayan tahun 1983, deposito itu berasa dari bantuan presiden via surat Menteri Sekretaris Negara 13 Januari 1978, yang diperoleh dari PT Indobuildco untuk penggantian dana pembangunan Balai Sidang, waktu itu dalam dolar sebesar US$ 6 juta. Yayasan yang membawahkan 1.019 karyawan itu, sebagaimana yang diceritakan Gatot, saban tahun menerima pemasukan uang Rp 1,3 milyar. Dua pertiga dari jumlah itu dipergunakan untuk perawatan. Pendapatan terbesar berasal dari penyewaan Hotel Hasta dan Wisma Aneka yang meliputi 60% dari pendapatan. Sedangkan sisanya diperoleh dari uang sewa stadion, misalnya untuk pertunjukan musik dan tes PPI serta arena lainnya yang terdapat di situ, seperti lapangan tenis, kolam renang, dan Istora. Untuk Istora misalnya, yang disewakan guna pertunjukan grup musik rock dari Inggris, Uriah Heep, tanggal 16-17 Maret, dipasang tarif Rp 500.000/malam. Sementara itu, lapangan parkir timur Senayan, yang sering dipakai untuk belajar mengemudikan mobil, sewanya satu hari Rp 100.000. Secara tak angsung Gatot mengisyaratkan bahwa Gelanggang Senayan sebenarnya tidak perlu menjerit karena dijepit kesulitan uang. Sebab, menurut dia, seretnya uang untuk mengelola gelanggang Senayan itu disebabkan oleh besarnya utang berbagai induk organisasi olah raga yang tidak melunasi sewa stadion. Untuk rekapitulasi piutang sampai akhir tahun 1982 misalnya, jumlahnya mencapai Rp 215 juta. Rekor utang dipegang PSSI sebesar Rp 82 juta. Pukulan dari luar itu kelihatannya tidak saja datang dari jumlah piutang yang bertimbun. Yayasan juga menghadapi kesulitan mengurus sertifikat tanah yang luas itu karena biayanya mencapai Rp 11 milyar. Dia menambahkan bahwa hal kesulitan keuangan itu merupakan salah satu alasan dikeluarkannya Keputusan Presiden 13 Januari lalu yang menyebutkan penguasaan, pengelolaan, dan administrasi tanah dan bangunan kompleks Gelora Senayan dilakukan oleh Sekretariat Negara (TEMPO, 11 Februari, Nasional). Sebagai pelaksanaan keputusan itu Mensesneg Sudharmono sekarang menjabat ketua Badan Pengelola Gelora Senayan dengan anggota Menpora, Menteri PU, Menteri Muda Urusan Peningkatan Penggunaan Produksi Dalam Negeri, Gubernur DKI Pangdam V Jaya, serta Gatot Soewagio. Di tengah masyarakat, masih beredar pertanyaan apakah dengan komposisi pengurus yang begitu berotot, tanah itu - yang kini ditempati Hotel Hilton dan Ratu Plaza akan kembali menjadi milik yayasan? "Untuk mengambil tanah itu kembali sulit. Mereka sudah mempunyai surat izin untuk mengelola tanah itu," jawab Suhartono, orang yang sehari-hari akan menangani masalah yang timbul di gelanggang olah raga itu. Tapi dari pengusaha hotel dan pusat perbelanjaan itu dia mengharapkan disisihkannya sedikit keuntungan untuk menolong hidup yayasan yang mengelola gelanggang olah raga terbesar di Indonesia itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini