Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Mencari Penembak Steven Adam

Pembunuhan Steven Adam, letkol TNI AU (Tempo, 11 juni 1983) terungkap. Pembunuhnya sebuah komplotan yang diduga juga sebagai pengedar narkotik. (krim)

24 Maret 1984 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERMOHONAN prapengadilan dari Pengacara Ronggur Hutagalung, yang ditolak Rabu pekan lalu, menyingkapkan hal lain. Yakni pembunuhan terhadap Letnan Kolonel TNI AU Steven Adam hampir setahun yang lalu, yang tampaknya sulit dijejaki, kini menampakkan petunjuk-petunjuk. Ronggur, sang pengacara, atas nama kliennya, Leonardus Lasarudin, mengajukan permohonan prapengadilan ke Pengadilan Negeri Bandung. Masalahnya, Leonardus yang ditahan sejak 8 Agustus 1983, dengan tuduhan "membunuh Letnan Kolonel Steven Adam," tak kunjung dimajukan ke meja hijau. Menurut Ronggur, ini menyalahi KUHAP (lihat: Hukum). Dari kasus inilah akhirnya diketahui masyarakat luas bahwa Polda Jawa Barat ternyata sudah melangkah maju dalam mengusut pembunuhan pada 29 Mei dinihari tahun lalu itu. Semula, memang, jejak seperti sama sekali terhapus. Steven Adam, yang dikenal sebagai perwira cemerlang, cepat naik pangkat. Pada hari naas itu sejumlah orang mendatangi rumahnya di Kampung Badak Gedung Jaya, dekat perumahan Cimanggu Permai, Bogor. Meski Steven tampak waspada - sekitar tiga hari sebelumnya ada pula yang mencoba mendekati rumahnya, tapi dapat diusir dengan tembakan peringatan - tak urung peluru menghunjam ke dadanya, dan ia tewas. Polisi waktu itu tak menemukan tanda-tanda siapa kelompok yang menghabisi nyawa perwira penuntun di Sekolah Staf AU, Jakarta, itu (TEMPO, 11 Juni 1983). Pun, lewat wawancara dengan Nyonya Ningsih, istri Steven, tak ada petunjuk bahwa calon atase militer itu punya musuh. Baru setelah polisi menangkap Joni Pelor, tahun lalu, pembunuhan itu sedikit terungkapkan. Joni, yang dikenal sebagai salah seorang tokoh kejahatan, rupanya akrab dengan komplotan itu. Kepada polisi, dia menceritakan penembakan terhadap Steven Adam. Maka, langsung sejumlah orang yang disebut-sebut Joni, menurut polisi, ditangkap - termasuk Leonardus. Leo, lelaki bertubuh kecil ini, dicurigai polisi berkomplot merencanakan dan melakukan pembunuhan. Konon, dia dan Robert Tampubolon, temannya, berutang Rp 50 juta kepada Steven. Mungkin untuk menghapuskan utang itu, keduanya merencanakan melenyapkan sang letkol. Tapi sejauh yang bisa diusut pihak kepolisian, rencana pertama gagal - mungkin merekalah yang diusir dengan tembakan ke atas oleh Steven Adam, beberapa hari sebelum dia ditembak. Empat hari kemudian, Leo mencoba menyusun rencana baru. Kali ini melibatkan Wallen Barimbing, temannya yang lain. Dalam rencana inilah Leonardus ditugasi meminjam sepucuk pistol dari Kapten Nicodamus, yang waktu itu menjadi Kepala Bagian Operasi Koresta Bogor. Dengan senjata itu, Johny Sembiring bertindak sebagai algojo. Johny, konon, dalam melaksanakan tugas ini disertai empat temannya, termasuk Wallen Barimbing. Robert tak ikut serta, karena dia tetangga dekat dan sangat akrab dengan korban. Menurut polisi, komplotan ini, selain terlibat pembunuhan, juga diduga terlibat perdagangan narkotik. "Kami juga dituduh memperdagangkan 80 kg heroin," kata Leonardus, yang ditahan sejak Agustus 1983 bersama beberapa orang anggota komplotannya, termasuk Kapten Nicodamus. Yang agak merepotkan polisi ternyata penemuan dua pistol. Pistol pertama milik Kapten Nicodamus, yang menurut pengusutan sementara diduga digunakan menembak Steven. Pistol kedua disita dari tangan Leonardus, sebuah FN kaliber 32 berikut 32 peluru. Pistol itu, menurut Leo, dibelinya Rp 175.000 dari seorang oknum ABRI di Jatiwangi pada 1973. Leo memerlukan senjata itu untuk jaga diri karena sebagai salesman ia sering pergi ke luar kota. Karena Leo sendiri memiliki pistol, ia tak bisa mengerti tuduhan polisi. "Masak saya punya pistol sendiri, masih perlu pinjam kepada Pak Nicodamus," katanya. Tuduhan menjual heroin menurut Ronggur, "tak terbukti sama sekali." Yang bisa memberikan indikasi tidak baik adalah karena Leo ternyata tak punya pekerjaan menentu. Awal 1982 ia berusaha menjual secara kredit sejumlah sepeda motor ke Kanwil P & K Jawa Barat. Gagal. Lalu ia jadi penyalur pembersih lantai. Cuma dua bulan. Tiba-tiba dia sudah berada di Lampung, bekerja di sebuah pabrik kopi. Tapi di situ dia tak lebih dan tiga bulan. Lantas Leo jadi salesman ikat pinggang dan dompet. Cuma empat bulan, karena dia keburu ditangkap. "Orangtua bilang umur sa cap lak itu sial, nyatanya memang betul," kata Leo atau Liem Hok Liong itu. Umurnya sekarang memang 36 tahun. Tentu kisah pembunuhan versi polisi ini masih harus dibuktikan di pengadilan nanti.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus