Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Perjuangan Pemain Terbuang

Tiga klub divisi satu Inggris meluncur ke semifinal Piala FA. Para pemain yang selama ini tersisih membuktikan lagi kemampuan dirinya.

17 Maret 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KEGEMBIRAAN melingkupi pendukung Barnsley. Setelah klub itu tampil gemilang menghajar Liverpool, Februari silam, para pendukungnya mengundang Kayode Odejayi, 26 tahun, sang penyerang, dalam pertemuan rutin bulanan. Pertemuan seperti ini biasanya serius. Sebab, mereka membahas pendapatan yang diperoleh suporter dari penjualan tiket, sumber penghasilan utama Barnsley.

Tapi pertemuan awal Maret lalu itu berbeda. Suasananya cair, sehingga Odejayi tak grogi lagi. Dalam pertemuan yang digelar di sebuah ruangan di Stadion Oakwell itu, pria hitam ini berbicara tentang selera musiknya hingga gayanya setelah mencetak gol. ”Kami benar-benar terhibur,” ujar pengurus pendukung Barnsley.

Maklum, pemain klub divisi satu memang berasal dari kasta yang lebih rendah ketimbang para pemain klub papan atas yang masuk Liga Primer. Banyak pekerjaan yang harus dilakukan pemain di klub divisi satu seperti Barnsley. Mereka tidak saja harus bertanding di lapangan, tapi juga menghadiri rapat dengan pendukung klub. Di sana, mereka harus siap dengan berbagai pujian kalau bermain bagus ataupun caci-maki bila tampil buruk di lapangan. Mereka juga bisa mendengar tangisan para fan yang mencegah mereka hengkang ke klub lain.

Di luar tugas menghadiri rapat rutin bulanan, para pemain klub divisi satu bisa mendapat manfaat, yaitu dukungan tulus dari suporter. Sebab, bagi klub seperti Barnsley, kedekatan pemain dan pengurus klub dengan pendukung bisa dianggap sebagai nyawa klub. Pendukung bukan hanya penyemangat. Mereka juga salah satu sumber dana bagi kelangsungan hidup klub.

Di Barnsley, setiap anggota dikenai iuran tahunan 7,5 pound sterling atau sekitar Rp 140 ribu. Bagi mereka yang cacat atau berusia di atas 60 tahun, sumbangannya cukup 4 pound sterling atau Rp 75 ribu. Dari uang itulah Barnsley bisa membeli Odejayi dari Cheltenham, 31 Mei tahun lalu, dengan harga 200 ribu pound sterling atau sekitar Rp 3,75 miliar.

Bagi Odejayi, pertemuannya dengan para pendukung punya dampak luar biasa. Dia merasa diterima. Padahal, sebelumnya, dia merasa dimusuhi. Masalahnya, sejak pindah ke Oakwell, dia masih mandul, belum memberikan prestasi bagi Barnsley. Setiap kali bermain, dia seperti harus berhadapan dengan dua musuh sekaligus, yakni klub lawan dan pendukungnya sendiri. ”Tak ada yang lebih menyakitkan ketika diejek pendukung sendiri,” katanya.

Penerimaan pendukungnya ternyata berdampak baik. Tiga hari setelah pertemuan itu, dia membuat sejarah bagi Barnsley: satu gol ke gawang Chelsea, dalam babak perempat final Piala FA, Ahad dua pekan silam. Kemenangan ini membawa Barnsley melaju hingga semifinal. Prestasi yang sama sebelumnya diraih pada 1912. ”Tidak bisa dipercaya. Kami mengalahkan Liverpool dan kini Chelsea, dalam satu musim. Sangat luar biasa dan pemain tampil luar biasa,” kata Simon Davey, manajer klub itu.

Tak ada yang pernah menduga, memang. Bayangkan, Barnsley berhasil mengalahkan tim bertabur bintang—bila ditotal, harga semua pemain yang turun saat itu mencapai lebih dari 107 juta pound sterling atau sekitar Rp 2 triliun. Pers Inggris menjuluki Barnsley ”pembunuh raksasa”.

Piala FA tahun ini memang kembali berbuah keajaiban. Persis seperti yang terjadi pada 1995, tak satu pun klub besar melaju ke babak puncak. Bersama Barnsley, dua klub divisi satu, yakni Cardiff City dan West Bromwich Albion, melaju ke babak empat besar. Liga Utama Inggris hanya menyisakan klub Portsmouth.

Ini ironis. Di ajang Liga Champions, klub-klub Inggris boleh berjaya. Empat wakilnya, yaitu Manchester United, Arsenal, Liverpool, dan Chelsea, masih melaju hingga babak perempat final. Tapi klub-klub elite ini malah jeblok di negeri sendiri. ”Tidak mudah bermain di lapangan seperti di Oakwell. Kami tidak bisa mengembangkan permainan cepat seperti yang biasa kami lakukan,” kata Avram Grant, manajer Chelsea, memberikan alasan—meski kemudian laki-laki asal Israel tersebut mengakui kehebatan klub kelas kabupaten itu. ”Barnsley bermain luar biasa,” katanya.

Nah, apa yang membuat klub-klub kecil bermain gemilang dan berjaya? Banyak sebabnya. Namun yang pasti ada dua hal. Pertama, soal uang. Tentu bayaran mereka berbeda dengan pemain Chelsea yang sudah kaya. Tiap minggu, tanpa bermain pun, para bintang Chelsea sudah mengantongi gaji per bulan rata-rata 70 ribu pound sterling atau sekitar Rp 1,3 miliar. Barnsley? Harga beli Odejayi yang 200 ribu pound sterling saja sudah sering diributkan. Tidak aneh bila bonus 1.000 pound sterling atau sekitar Rp 18,5 juta per orang bila mereka lolos ke babak berikutnya menjadi penyemangat luar biasa. Mereka pun berlari seperti kuda yang tak pernah kehabisan napas. Apalagi bila sampai jadi juara. Pihak FA menyediakan hadiah uang 2,8 juta pound sterling atau sekitar Rp 52 miliar.

Hal kedua adalah semangat kuat para pemain untuk membuktikan diri bahwa mereka mampu. Soal ini tak kalah penting. Sebab, pemain di klub divisi ini sebagian besar adalah pemain yang kurang beruntung. Mereka pemain buangan yang tersingkir dari kerasnya persaingan. Kejuaraan Piala FA ini digunakan sebagai salah satu ajang pembuktian bakat mereka. Odejayi adalah satu contohnya. Sejak datang ke Inggris tujuh tahun lalu, dia hanya bisa wira-wiri di Divisi Championship alias divisi satu. Bila kali ini berjaya dengan membawa Barnsley ke final, pamor pemain asal Nigeria itu pun akan naik. Dia berharap bisa dilirik tim nasional Nigeria.

Contoh lain adalah Peter Whittingham, 24 tahun. Pemain asal Cardiff City ini juga berjuang keras membuktikan diri masih bisa kembali berprestasi. Sebelum pindah ke Cardiff, dia sempat mengecap kerasnya Liga Primer bersama klub Aston Villa. Maklum, dia adalah lulusan akademi sepak bola klub itu. Whittingham juga merupakan pemain yang masuk tim nasional Inggris untuk usia 21 tahun.

Sayang, setelah dia bermain di Villa Park, kariernya doyong. Beberapa kali dia sempat dipinjamkan ke klub lain, tapi sama saja. Permainannya tak jua berkembang. Akhirnya, dua tahun silam Whittingham terdampar di Cardiff dengan bayaran 350 ribu pound sterling atau sekitar Rp 6,5 miliar. ”Setelah bermain dalam 50 pertandingan di Premiership, aku berharap bisa membawa kemajuan pada Cardiff,” kata pemain gelandang ini. Dia tetap berharap bisa kembali ke Liga Primer.

Dua pekan lagi, babak semifinal akan digelar di Wembley, stadion kebanggaan orang Inggris. Masuknya klub-klub divisi satu ke semifinal memang merupakan kejutan. Sedangkan tampil gemilangnya pemain klub-klub itu menunjukkan bahwa mereka belum habis.

Irfan Budiman

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus