Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Ketika Tak Satu Hati Lagi

Perpecahan panitia Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri merugikan calon mahasiswa. Gara-gara pembagian rezeki tidak merata?

17 Maret 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lasmaniar Mutiara Stephany bingung. Di usianya yang belia, 18 tahun, masih pelajar kelas III SMA di Jakarta, ia diombang-ambingkan pilihan untuk mengukir masa depannya. Gara-gara pecahnya kongsi perguruan tinggi negeri di Perhimpunan Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru Nusantara, ia harus tes dua kali agar bisa masuk ke dua universitas pilihannya, Universitas Padjadjaran di Bandung atau Universitas Indonesia, Depok.

Padahal, jika kedua universitas papan atas itu masih dalam satu wadah, ia cukup tes sekali di Jakarta. Pilihan praktis pun diambilnya. ”Daripada ribet, mending masuk swasta saja,” katanya.

Kondisi Agustin Korwa bahkan lebih sulit. Pelajar SMU 2 Jayapura ini harus terbang ke Jakarta untuk bisa tes di UI. ”Kalau sistemnya seperti ini, kita di Papua banyak yang tidak bisa kuliah di luar Papua, karena biaya tiket pesawat saja bisa sampai Rp 5 juta,” ujarnya.

Anak-anak muda ini korban pertikaian orang-orang yang lebih tua dan lebih berpendidikan karena masalah uang. Pada Ahad dua pekan lalu, 41 rektor perguruan tinggi negeri (PTN)—belakangan dua PTN membatalkan diri—menyatakan keluar dari perhimpunan yang menyelenggarakan Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Karena itu, akan ada dua tes masuk PTN. Ujian masuk yang digelar oleh 39 rektor tadi—antara lain Institut Pertanian Bogor, Universitas Gadjah Mada, Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya—akan diadakan pada 25-26 Juni. Sedangkan SPMB, yang didukung oleh 16 PTN, termasuk Universitas Indonesia dan Institut Teknologi Bandung, diselenggarakan pada 2-3 Juli.

Pangkal kisruh ini adalah perbedaan interpretasi pengelolaan uang pendaftaran SPMB, setelah hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada 27 Juni 2007 menyebut dana itu masuk kategori penerimaan negara bukan pajak (PNBP), sehingga harus disetor ke kas negara.

Dengan masuknya uang pendaftaran itu sebagai penerimaan negara, PTN yang belum menjadi badan hukum milik negara haram menerima dana itu. Padahal sampai saat ini perguruan tinggi negeri yang sudah menjadi badan hukum negara belum sampai sepuluh.

Audit ini membuat banyak rektor takut tersandung masalah hukum karena dianggap melanggar Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Tata Cara Pengelolaan PNBP. ”Kalau tidak diikuti, nanti kita berurusan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi,” kata Rektor Universitas Udayana, Denpasar, Made Bakta.

Uang pendaftaran yang didapat dari tes masuk PTN memang tidak kecil. Tahun lalu, perhimpunan ini meraih Rp 59 miliar dari 397 ribu peserta. Tak mengherankan bila ada yang menduga geger ini sebenarnya akibat pembagian rezeki yang tidak merata. Tuduhan yang segera dibantah oleh Sekretaris Pengurus Pusat Perhimpunan SPMB, Soesmalijah Soewondo. Katanya, semua PTN kecipratan dana ini. Bahwa ada yang tidak mendapat bagian besar, karena ”Dana itu dialokasikan ke 14 pos, di antaranya beasiswa dan pelaksanaan ujian,” ujarnya.

Penjelasan detail meluncur dari Rektor Universitas Negeri Surabaya (Unesa), Haris Supratno. Menurut dia, persentase terbesar hanya diperoleh PTN yang menjadi pilihan pertama calon mahasiswa. ”Yang pilihan kedua dan ketiga tidak dapat apa-apa,” ujar Sekretaris Jenderal Paguyuban Rektor se-Indonesia yang mengaku institusinya hanya mendapat Rp 28 juta tahun lalu ini.

Itu sebabnya, PTN yang memutuskan ke-luar telah menyiapkan konsep pembagian uang hasil pendaftaran secara lebih merata. Untuk kelompok IPC (ilmu pengetahuan campuran) dengan tiga pilihan, perguruan tinggi prioritas pertama mendapat 55 persen, yang kedua dan ketiga kebagian 30 dan 15 persen dari uang pendaftaran. Sedangkan untuk peserta tes jurusan IPA dan IPS yang bisa menentukan dua pilihan, perguruan tinggi prioritas pertama dan kedua mendapat bagian masing-masing 60 dan 40 persen.

Menurut sumber Tempo di Departemen Pendidikan Nasional, jika pola pengelolaan dana pendaftaran mahasiswa baru ini disetujui pemerintah, PTN sempalan akan menangguk pendapatan lebih besar dibanding saat bergabung dalam perhimpunan. ”Ujung-ujungnya duit juga,” katanya.

Meski mengakui PTN penyelenggara UMPTN akan mendapat pemasukan lebih besar, Haris mengatakan itu tak penting. ”Kembali ke jalan yang benar jauh lebih penting,” ujarnya. Ujian masuk versi UMPTN nanti akan dibagi tiga wilayah, yakni wilayah barat dengan koordinator IPB, wilayah tengah dikomando Universitas Diponegoro, dan ITS sebagai koordinator wilayah timur.

Menanggapi aksi pemisahan ini, Perhimpunan SPMB tak ambil pusing. ”Mereka berhak memutuskan dan tidak ada sanksi,” kata Soesmalijah. Hingga akhir pekan lalu, Perhimpunan SPMB belum menentukan teknis pelaksanaan setelah perpisahannya dengan 39 PTN. Kemungkinan besar panitia SPMB tak akan membuka posko di daerah PTN yang memutuskan keluar.

Hal senada juga disampaikan Rektor Universitas Cenderawasih, Papua, Baltazar Kambuaya. Meski bertekad menggelar UMPTN, dia berharap seleksi nasional tetap dilaksanakan agar tidak merugikan calon mahasiswa, terutama yang berasal dari Papua. ”Jika menerapkan sistem lokal, mereka tak bisa masuk PTN di luar Papua,” kata Baltazar.

Pemerintah kemudian lintang-pukang mencari jalan keluar. Departemen Keuangan, yang memasukkan uang pendaftaran sebagai penerimaan negara, akan mengeluarkan peraturan untuk mengelola dana itu. ”Setelah itu akan dikeluarkan peraturan Dirjen Pendidikan Tinggi tentang panitia bersama SPMB,” kata Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Fasli Jalal. Dalam peraturan tersebut akan dibahas konsep dan sistem penerimaan mahasiswa baru secara nasional sesuai dengan peraturan perundangan. Artinya, pemerintah akan kembali menggabungkan sistem seleksi mahasiswa baru ini.

Apa boleh buat, peraturan tadi telah membuat perpecahan. Perlu waktu dan tenaga lagi untuk menyatukan orang-orang pandai di pucuk lembaga pendidikan terpandang di negeri ini, agar mulai memikirkan Lasmaniar, Agustin, dan sekitar 400 ribu anak muda yang berebut menjadi mahasiswa dan kini sedang kebingungan.

D.A. Candraningrum, Reh Atemalem Susanti, Rofiqi Hasan (Denpasar), Cunding Levi (Jayapura)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus