Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Rambut Gimbal di Zaman Batu

Roland Emmerich maunya menampilkan kehidupan manusia 12 ribu tahun silam. Gagasan yang tak terwujud dengan baik dan akurat di layar putih.

17 Maret 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

10,000 B.C.Sutradara: Roland EmmerichSkenario: Harald KloserPemain: Steven Strait, Cliff Curtis, Camilla BelleDistributor: Warner Bros Pictures

INILAH sepenggal masa yang terjadi 12 ribu tahun silam. Penuh kegelapan, dan akal manusia belum sempurna betul, belum tahu cara bercocok tanam. Alkisah, di sebuah gunung berdiamlah masyarakat yang menyambung hidup dengan berburu binatang. Mereka menyantap daging binatang apa saja. Tak terkecuali mammoth alias gajah raksasa yang berukuran setinggi menara.

Mereka adalah lelaki hebat. Setelah digiring dari sebuah bukit, gajah itu mati terhunus satu bilah tombak saja. Binatang boleh saja takluk. Namun mereka tak kuasa dengan serbuan para penjahat. Kawanan itu menyerbu kampung mereka dan menculik orang-orang yang dipilihnya untuk dijadikan budak. Hanya dalam sekejap, kampung mereka luluh-lantak. Evolet (Camilla Belle), perempuan cantik, mereka culik. Nah, guliran kisah berikutnya sudah bisa ditebak.

Di sinilah dimulainya sebuah perjalanan panjang. D'Leh (Cliff Curtis), kekasih Evolet, tak mau menyia-nyiakan waktu. Dia segera berkemas untuk mengambil pulang sang pujaan hati. Beberapa kawannya kemudian ikut mengawal, meski mereka tahu perjalanan kali ini akan menempuh bahaya.

Sejatinya inilah kisah roman di zaman masih penuh dengan binatang buas dengan ukuran raksasa, senjata seadanya, dan ketidakberdayaan manusia menghadapi alam. Perlawanan si baik terhadap si jahat, yang berbalut dengan cinta kasih, dan berbagai adegan kekerasan dikemas dalam film ini. Judul film ini sungguh menawan, 10,000 B.C., "10.000 Tahun Sebelum Masehi".

Sebenarnya kisah seperti ini bukanlah barang baru. Dulu, di Amerika Serikat, gudangnya film laris, pernah muncul film dengan setting sejenis, One Million B.C. pada 1940 dan One Million Years B.C. pada 1966. Tiada yang berbeda kecuali kemajuan teknologi grafik komputer, yang belakangan seperti tak bisa dibendung. Dengan teknologi ini, apa pun bisa menjadi hidup.

Tak pelak, setting cerita yang diangkat memang menerbitkan sebuah harapan. Rolland Emmerich, yang pernah menggarap Independence Day dan The Day After Tomorrow, setidaknya menjanjikan hal itu. Sayang sekali, kehebatan film hanya berhenti pada "rekonstruksi" setting zaman itu lewat visualisasi yang lumayan kuat. Selebihnya? Banyak ngawur. Serius.

Manusia yang hadir dalam film ini tampaknya sudah lebih dulu mencapai evolusi yang sempurna. Mereka tidak saja berukuran lebih singset dan punya akal yang lebih, tapi juga licin kulitnya, lebih mulus daripada perempuan zaman sekarang yang sering pergi ke spa atau salon kecantikan untuk sekadar luluran. Lihat saja si Evolet. Tidak saja mukanya bersih dan bercahaya, matanya pun terlihat lebih indah dengan maskara yang melingkarinya.

Kaum laki-lakinya juga tak kalah keren. Meski terlihat lebih kumuh, gaya penampilan mereka tak kalah dengan Zack de La Rocha-vokalis Rage Against the Machine yang sudah bubar itu-atau Bob Marley, yang memilin rambutnya dengan gaya gimbal yang sangat rapi. Kumis dan jenggotnya pun terurus dengan baik. Di tangan Emmerich, manusia zaman itu bolehlah masih cetek berpikirnya, tapi soal gaya, mereka sudah maju.

Pembangunan piramida di Mesir Kuno pun tersaji di layar. Ini juga ngawur. Dalam sejarah, piramida dibangun beberapa ribu tahun kemudian dari setting film ini. Tak hanya itu, ternyata piramida ini juga ikut dibangun, lagi-lagi, oleh kawanan mammoth yang dipergunakan untuk mengangkut bebatuan hingga ke puncak.

Ada apakah dengan Roland Emmerich? Ke mana pula riset dan pendalaman materi yang mereka buat dalam film ini? Ini yang mengejutkan. Dalam sebuah wawancara, pasangan Emmerich dan Harald Kloser, si penulis cerita, mengaku tidak menyaksikan film-film sejenis yang pernah dibuat atau sekilas film-film dokumenter yang mencoba membesut kehidupan di masa itu.

Keteledoran pembuat film tidak juga berakhir hingga film ini memasuki bagian akhir, itu juga kalau masih tahan menontonnya. Dia menyulapnya menjadi kisah happy ending khas Hollywood. Sempurna sudah. Sepertinya Emmerich dan timnya terlalu asyik menggarap film ini sehingga dia berperilaku seperti manusia di zaman itu. Menyelesaikan masalah dengan tombak. Mati, semuanya beres. Terlalu berpikir sederhana.

Irfan Budiman

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus