Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Teater Bertendens Tiga Perempuan

Niniek L. Karim, Rieke Diah Pitaloka, Ria Irawan melakukan pentas monolog. Pertunjukan enteng, segar, dan kontekstual.

17 Maret 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Apa yang terjadi bila tiga perempuan cerdas yang superaktif tampil bersama di atas panggung teater? Tetap saja kisah liris yang stereotipik, seperti kita lihat di mana-mana: tabloid, televisi, atau rumah sebelah. Perempuan-perempuan yang cemburu, marah, jengkel, nyinyir, sinis, melawan dunia pria yang ditudingnya mendominasi secara kultural.

Ekspresi itulah yang muncul kuat dalam pentas monolog Perempuan Menuntut Malam produksi Yayasan Pitaloka, di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, 8-9 Maret lalu. Tiga orang perempuan yang padat energi itu menampilkan drama perorangan yang cantik (tentu, sebagaimana para pemainnya), serius namun rileks.

Maka tersebutlah seorang ibu (Niniek L. Karim), yang sambil meramu bumbu memasak nasi goreng (lengkap dengan asap dan bau pedasnya), berkisah tentang kesendirian bersama sang anak, suami yang meninggalkannya, kebodohannya mencintai dan ketegaran perempuan yang independen.

Lalu, seorang politikus perempuan (Rieke Diah Pitaloka), yang dengan gaya khasnya, memberikan singset siluet tubuhnya di kamar mandi, mengomentari tokoh-tokoh dan peristiwa politik mutakhir dengan kegelisahan tipikal wanita karier. Dan terakhir, ini yang menarik, pelacur cerdas (Ria Irawan) yang berkisah tentang hidup getirnya (tanpa romantisme), germo licik, atau para lelaki busuk langganannya, yang—nyatanya—juga datang dari kalangan terhormat.

Dalam 130 menit lebih penonton pun diberi hidangan sedap laiknya masakan ibu/istri di rumah. Renyah, gurih, penuh selera. Permainan Niniek penuh kematangan, Rieke komedis dan tangkas berdialog. Ria spontan. Dialog mereka tidak kompleks, persoalan yang mereka tawarkan memang sudah menjadi isu umum.

Maka pertunjukan pun mengalir seperti air segar di kerongkongan musim panas. Tiga perempat waktu panggung membuat penonton tersenyum, terbahak, bahkan memaki karena gemas. Teater pun seperti pulang kepada publiknya. Mendekati hidup dan masalah keseharian masyarakat. Menjadi kelanjutan dari momentum de-alienasi teater yang sudah diinisiasi Teater Koma dan diberi kontur oleh Teater Gandrik.

Betapapun kelemahan dramaturgis menyebar sana-sini, seperti set panggung kurang tertata baik. Set yang diarahkan oleh sutradara Marzuki ”Kill the DJ” yang merupakan penggemar hip-hop lebih mengesankan panggung musik atau diskotek. Adanya video display yang secara artifisial berusaha memvisualisasi dialog justru kerap mengganggu permainan. Sentuhan directing Marzuki minim, kostum terasa kurang mengindahkan keluasan gedung 600 tempat duduk.

Namun drama yang ditulis Rieke ini tetap menawarkan keistimewaannya sendiri dalam tiga hal. Pertama, identifikasi keperempuanan yang kuat membuat pertunjukan ini memberikan marka yang belum ada presedennya: teater dengan independensi perempuan, yang membuat dominasi teater tradisional kita yang machoistik tergusur karenanya.

Kedua, teater tematik semacam ini memiliki daya persuasi dan artikulasi masalah yang ternyata kuat dan mempesona (setidaknya bagi penonton umum yang masih bias gender). Dan terakhir, tesis teater dapat berakrab-akrab dengan publik bukanlah sesuatu yang sulit, secara estetik bahkan akademik.

Di luar soal judul yang tampak agak ”meleset” dengan signifikansinya, drama yang persiapannya hanya tiga bulan, dengan latihan dua kali seminggu, seakan memberi kita semacam premis bahwa teater yang familiar di sini haruslah teater yang hadir dengan tendens(i) (politik) yang kuat.

Dan ini satu kecenderungan yang mengancam sofistikasi artistik sebuah teater. Sebagai seni, bagaimanapun, estetika juga harus menjadi tumpuan utama. Tapi di lain pihak teater bertendens—tentu—bukan sebuah kekeliruan.

Sebuah tendens(i) pada akhirnya memang dapat dipulangkan pada intensi kreatornya. Dan intensi politis semacam di atas juga tak dapat disalahkan, ketika situasi sosio-politik mutakhir memang membuat frustrasi publik dan mencemaskan seniman yang peduli.

Jadi, selamat datang teater bertendens, teater perempuan, teater yang kembali pada publik, yang renyah, gurih, dan penuh pesona. Hmm.…

Radhar Panca Dahana

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus