TAHUN ini tahun Maradona .... Kehormatan itu agaknya pantas diberikan kepada Diego Armando Maradona, 25, kapten tim Argentina. Sebab, dialah memang bintan kejuaraan sepak bola Piala Dunia ke-13 di Meksiko. Namanya bahkan terus jadi bahan perbincangan di pelosok dunia setelah berakhirnya pesta kejuaraan akbar empat tahun sekali itu Minggu pekan lalu. Pelbagai pujian dilontarkan orang pada jutawan muda yang masih bujangan ini. Bukan semata-mata karena keberhasilannya menaikkan lagi pamor timnya -- juara dunia 1978, yang tersisih tragis karena terdepak sebelum semifinal di Kejuaraan Dunia 1982 -- ke jenjang juara. Melainkan lebih banyak karena penampilannya yang memikat: gesit, tak kenal lelah, dan cerdik menggemaskan sewaktu bertarung di lapangan hijau. Empat gol diborongnya tatkala meloloskan Argentina ke final. Dan gol-gol itulah (dua gol ketika mengalahkan Inggris 2-1 di perempat fmal, dan dua gol lainnya sewaktu menumbangkan Belgia 2-0 di semifinal) yang mula-mula membuat dia jadi buah bibir. Memang, di samping ada yang memuji, banyak juga yang mencibir, terutama untuk gol pertama yang dimasukkannya lewat "sundulan tangan kirinya" ketika melawan Inggris. Namun, mereka kemudian toh memuji gol kedua yang dibuatnya -- waktu itu ia melewati sedikitnya lima pemain belakang Inggris termasuk kiper ternama Peter Shilton. Gol inilah -- yang kemudian diulanginya dengan cara yang tak begitu jauh berbeda ketika menjebol gawang Belgia -- yang dinilai Panitia Pertandingan termasuk di antara gol terindah yang tercipta di Meksiko. Untuk itu, bersama Miguel Nugrete, penyerang tim Meksiko yang juga membuat gol yang bagus ketika Meksiko mengalahkan Bulgaria 2-0 di putaran kedua, Maradona akan diberi hadiah khusus. Panitia membuatkan semacam prasasti dari logam yang ditempelkan di Stadion Azteca, Kota Meksiko. "Untuk mengenang suatu permainan yang luar biasa oleh seorang pemain di Kejuaraan Piala Dunia 1986," kata Jaime de Haro. Administratos Stadion Azteca. Buat Maradona ini tentulah sekadar hadiah tambahan. Sebab pelbagai bonus dan hadiah lainnya bakal diterima pemain termahal di dunia ini seusai kejuaraan ini. Dari panitia pertandingan saja tim finalis masing-masing bakal menerima sekitar Rp 1,5 milyar. Para pemain Argentina akan membagi rata separuh dari Jumlah itu. Separuhnya lagi merupakan bagian Federasi Sepak Bola Argentina. Sedangkan dari pemerintah Argentina bonus tambahan sudah dijanjikan, tapi belum disebutkan besarnya. Yang jelas, hampir semua negara peserta memang menjanjikan bonus khusus buat kesebelasan mereka jika membuat prestasi bagus di Meksiko. Besarnya bervariasi. Dari puluhan hingga ratusan juta rupiah jika para pemain bisa mencapai final. Italia, juara 1982 yang tersingkir, misalnya, sudah menyediakan bonus sekitar Rp 125 juta buat setiap pemainnya, jika mereka mampu mempertahankan piala kejuaraan. Bukan hanya bonus resmi itu yang ditunggu sekitar 500 pemain dari 24 tim yang bertarung di Meksiko. Tapi, ada yang lain: tawaran bayaran lebih tinggi dari para pemilik klub bayaran. Ratusan pemilik klub datang atau mengirimkan wakil mereka, guna mengincar dan kemudian menarik pemain yang menonjol di kejuaraan ini. Tarik-menarik di antara klub-klub inilah yang ditunggu para pemain. Sebab, bergaji sekitar Rp 2,5 milyar setahun -- ini di luar perolehan sebagai bintang iklan di pelbagai perusahaan -- Maradona, misalnya, mungkin saja keluar dari klubnya sekarang Napoli, Italia, jika ada tawaran lebih tinggi dari pemilik klub lain. Pemilik Napoli mungkin tak keberatan, jika klub yang berrninat itu mau membayar uang pindah di atas Rp 8,3 milyar, dana yang dikeluarkannya ketika menarik Maradona dua tahun lalu. Sampai kini, inilah rekor jumlah uang pindah tertinggi yang pernah dibayar sebuah klub profesional. Bisnis sepak bola bayaran memang salah satu penghangat kejuaraan dunia. Kejuaraan dunia memang selalu menjadi "pasar" yang dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh klub-klub dan terutama oleh para pemain sendiri. Inilah tempat bagi pemain untuk "pamer" kebolehannya bermain bola, sekaligus promosi "menjual diri" untuk memperoleh tawaran tarif setinggi-tingginya. Sebelum kejuaraan di Meksiko dibuka, misalnya, bahkan sudah terjadi sejumlah transaksi antarklub atas sejumlah pemain. Umpamanya, klub Racing, Prancis, tiba-tiba membeli dengan uang pindah sekitar Rp 4 milyar, gelandang berbakat Uruguay, Enzo Fracescoli, 24, dari klub River Plate, Argentina. Pemilik Racing rupanya cemas, pemain yang sudah lama diincarnya itu bakal naik tarif pindahnya, jika ia main bagus ketika membela negerinya di Meksiko. Ini juga yang dikhawatirkan pemilik klub AC Milan, Italia, sehingga berani menarik Giuseppe Galderissi, 24, ujung tombak klub Verona, untuk menggantikan Paolo Rossi. Milan mengikat Galderissi sebelum Piala Dunia dengan uang pindah sekitar Rp 3 milyar. Klub ini sebelumnya juga sudah menarik pemain muda lainnya Claudio Borghi, 21, dari klub Argentinos Juniors, Argentina, dengan uang pindah-sekitar Rp 2,2 milyar. Claudio ditarik Milan, karena ia santer disebut-sebut sebagai calon pengganti Maradona, maestro kejuaraan di Meksiko itu. Italia memang dikenal sebagai ladang paling menarik bagi pemain bola bayaran di Eropa. Kendati baru mengizinkan masuknya pemain bayaran dari luar Italia sejak 1980, Liga Pro Italialah -- dibandingkan Liga Pro Inggris, misalnya -- yang terbanyak menampung pemain-pemain beken dunia. Sekarang saja tercatat dua pemain besar, Maradona dan Platini, bernaung di klub-klub Divisi I yang terbilang kaya: Napoli dan Juventus. Selain didukung perusahaan-perusahaan raksasa -- Juventus, misalnya, oleh perusahaan raksasa FIAT -- hampir semua klub itu mampu membiayai diri mereka. Ini karena adanya kompetisi yang teratur dan minat menonton sepak bola yang tinggi di negeri itu. Dari hasil pertandingan itu saja setiap tahun setiap klub di sana bisa mengumpulkan sekitar Rp 7 milyar per musim pertandingan. Ditambah pemasukan dari hasil penjualan hak siaran televisi yang terkadang bisa menyumbangkan sekitar Rp 2 milyar pada klub-klub kaya, tak usah heran jika sebuah klub besar seperti Napoli, misalnya, mampu membayar seorang Maradona sekitar Rp 2,5 milyar per tahun. Selain Maradona, sejumlah nama lain juga sudah menikmati hasil kejuaraan dunia. Empat tahun lalu, salah seorang di antara mereka adalah Paolo Rossi, pahlawan Italia ketika menjuarai Piala Dunia. Ia kini main di klub AC Milan dan sudah hidup tenang sebagai jutawan, yang berpenghasilan sedikitnya Rp 200 juta setahun. Lalu Michel Platini, kapten tim Prancis di Meksiko. Ia jua tenar setelah kejuaraan di Spanyol empat tahun lalu. Kin main di klub Juventus, Italia, ayah du anak ini sudah memiliki lima lapangan bol dan 30 lapangan teni serta rumah-rumah ukuran mewah di Prancis. Bergaji sekitar Rp 400 juta setahun, Platini tampaknya bakal melesat naik dalam tarif pindah dari terakhir sekitar Rp 3 milyar -- setelah timnya tampil sebagai salah satu semifinalis di Meksiko. Tak semua agaknya pemain menerima nasib sebaik mereka. Beberapa pemain harus mau menerima nasib turunnya pendapatan dan tarif uang pindah. Ini karena menurunnya kemampuan mereka. Salah satu contoh, Paolo Rossi yang melesat sejak Kejuaraan Dunia 1982, tapi mungkin melorot setelah kejuaraan sekarang. Ketika tampil gemilang sebagai pegol terbanyak empat tahun lalu, dia sempat diminta dengan uang pindahan sekitar Rp 4 milyar. Tapi kini karena kemampuan sudah berkurang -- ia ternyata tak dipakai sama sekali oleh Pelatih Enzo Bearzot memperkuat Italia di Meksiko -- ia harus puas mendengar kepindahannya dari Verona hanya dibayar sekitar Rp 2,7 milyar. Nasib serupa bakal diterima emain lain, seperti Socrates dan Zico dari Brasil, serta Boniek dari Polandia, bintang-bintang yang seangkatan dengan Platini. Dan tempat mereka secara berangsur bakal diduduki beberapa bintang baru yang mulai bersinar di Meksiko. Mereka di antaranya, Garry Lineker, 25, salah satu pencetak gol terbanyak (6 gol) dari Inggris. Ujung tombak klub Everton, Inggris, ini bahkan kini sedang diperebutkan dua klub Spanyol, Barcelona dan Real Madrid. Lalu, Igor Belanov, 25, ujung tombak Uni Soviet yang sudah menyatakan niat mau main di Eropa. Agennya Holger Klemme mengatakan pemerintah Soviet mengizinkan Belanov main di luar negeri, jika diberi uang pindah sekitar Rp 2 milyar. Belanov pencetak 4 dari dari 9 gol yang dibuat timnya hingga putaran kedua. Dia memang salah satu pemain yang membikin hattrick (mencetak tiga gol berturut-turut dalam satu pertandingan) ketika melawan Belgia sekalipun kalah 4-3, di perdelapan final. Berlangsung sebulan sejak 31 Mei lalu, kejuaraan yang menghasilkan pemasukan sekitar Rp 200 milyar -- dari penjualan karcis dan hak siaran televisi saja -- ternyata cukup melecut beberapa negara untuk berbuat lebih baik di kejuaraan berikutnya. Marokko, misalnya, yang membuat sejarah baru ketika tampil sebagai negara Afrika pertama yang bisa lolos ke babak kedua putaran final Piala Dunia sejak 56 tahun silam, tampak bersemangat untuk meningkat prestasi sepak bola mereka. Raja Hasan II bahkan sudah mengizinkan dibukanya sepak bola bayaran di negeri itu. Bahkan dia pula yang meminta bawahannya agar mengajukan permohonan kepada Federasi Sepak Bola Internasional (FIFA), agar menunjuk Marokko jadi tuan rumah kejuaraan 1994, setelah Italia. Raja yang senang bola ini juga telah meminta pelatih kelahiran Brasil yang memimpin tim Marokko ke Meksiko, Jose Faria, agar terus melatih di negeri itu. Seperti halnya pemain, tarif pelatih juga banyak ditentukan oleh prestasi mereka di kejuaraan dunia. Mereka memiliki andil yang sama -- mungkin lebih besar dari pemain -- untuk bisa berbuat banyak di setiap kejuaraan. Itu sebabnya ada juga pelatih yang bernasib buruk gara-gara gagal di Meksiko. Irak, salah satu wakil Asia bersama Korea Selatan, misalnya, langsung memecat pelatih asal Brasil, Evaristo Macedo, yang mereka kontrak untuk Piala Dunia 1986, begitu tim mereka gagal. Dan Uday Hussein, anak sulung Presiden Saddam Hussein, yang memimpin Persatuan Sepak Bola Irak, sudah mengatakan niatnya tak lagi memakai pelatih dari Brasil. Ia merencanakan akan mencari pelatih dari Jerman Barat. Wakil-wakil Asia memang belum satu pun bisa lolos ke putaran kedua Piala Dunia ke-13. Kejuaraan ini memang masih tetap didominasi tim Eropa dan Amerika Latin. Ada 14 negara Eropa dan 5 wakil Amerika Latin bertempur sejak putaran pertama. Dihantui oleh kecemasan pada teror dari luar dan trauma pada kerusuhan yang menewaskan 39 orang di Stadion Heysels, Belgia, tahun lalu, FIFA rupanya agak mengetatkan -- lewat instruksi mereka pada 36 wasit yang diturunkan di kejuaraan ini -- pengawasan di kejuaraan ini. Sayang, beberapa wasit kerap tergelincir dalam memberikan putusan hingga beberapa tim merasa dirugikan. Tapi yang mencolok dan dikecam "absurd" dan secepatnya harus diganti, seperti diteriakkan Maradona, ialah diterapkannya ketentuan yang dimulai sejak 1982: adu penalti. Ketentuan ini diharuskan pada tim-tim yang bertanding setelah putaran kedua. Jika hasil pertarungan mereka tetap seri di perdelapan final, kendati waktu bertanding sudah diperpanjang 2 x 15 menit, maka hasil akhir ditentukan dengan penalti. Dan, ternyata, tiga dari empat pertandingan di perempat final harus diakhiri dengan cara ini. Hasilnya mengecewakan. Brasil kalah 3-4 (skor sebelumnya 1-1) dari Prancis. Spanyol kalah 5-6 (sebelumnya 1-1) dari Belgia dan Meksiko kalah 1-4 (sebelumnya 0-0) dari Jerman Barat. Banyak yang kecewa pada hasil adu nasib ini. "Sungguh tak adil," jerit Nugrete, satu-satunya algojo Meksiko yang berhasil memasukkan gol ketika adu penalti, dengan wajah seperti mau menangis setelah timnya kalah. Pelatih Prancis Henri Michel sendiri mengakui ia tak begitu puas karena harus menang penalti. "Sebaiknya memang dilakukan pertandingan ulang," kata Michel, di sela pekik riang anak-anak asuhannya setelah menang. Kubu Brasil dan jutaan penggemar mereka amat terpukul karena kekalahan tak enak itu. Dikabarkan enam orang meninggal karena serangan jantung dan seribu orang terpaksa dirawat di rumah sakit gara-gara timnya kalah. Dan bukan mereka saja yang kecewa. Striker andalan Singapura yang pernah main di klub Galatama Niac Mitra, Surabaya, Fandi Ahmad, misalnya, langsung terbang dari Meksiko seusai pertandingan Prancis-Brasil. "Saya tak bersemangat lagi menonton, karena tim favorit saya kalah," kata Fandi, yang ditugasi Berita Harian, koran Melayu yang terbit di Singapura, meliput keuaraan bergengsi itu, kepada wartawan TEMPO Amran Nasution. Meskipun banyak yang berang pada sistem adu nasib itu, Pelatih Brasil Tele Santana, yang sudah mengundurkan diri, menerima kekalahan anak asuhannya. "Jika sebelumnya kita sudah menerima ketentuan tersebut, mengeluh akibat kekalahan itu bisa terdengar seperti berharap minta dimaafkan," kata pelatih yang empat tahun alu juga gagal membawa Brasil ke tahta juara itu. Piala Dunia sudah dipertandingkan 13 kali. Enam kali diadakan di kawasan Amerika Latin, tujuh kali di daratan Eropa. Tapi, belum sekali pun tim-tim Eropa pernah jadi juara bila kejuaraan diadakan di Amerika Latin. Sebaliknya, tim Amerika Latin, diwakili Brasil, pernah sekali, pada 1958 merebut gelar juara di Stockholm, Swedia. Brasil waktu itu mengalahkan Swedia di final 5-2 (2-1). Dominasi Latin akan berakhir? Ternyata tidak. Di Stadion Azteca, Minggu pekan lalu, Argentina tampil sebagai juru selamat. Didukung kuat sekitar 110.000 penonton tim dari negeri tango ini mematahkan tim yang seakan-akan akan bangkit untuk merebut mahkota juara dunia, Jerman Barat. Melalui pertarungan yang ketat Argentina menang 3-2. Stadion termegah di Kota Meksiko kontan gemuruh ketika Maradona dan kawan-kawan memastikan kemenangan mereka. Ini yang pertama, Argentina, juara dunia 1978 -- dimenangkan di kandang sendiri -- merebut gelar juara dunia di rumah lawan. Maka ribuan suporter mereka yang menyaksikan pertandingan final langsung berbaur dengan tim mereka untuk merayakan kemenangan itu. Peluk-tangis tampak di kubu tim Argentina. Pelatih Carlos Bilardo, arsitek kemenangan siang itu tak sanggup menahan keharuannya dan menangis. "Jangan tanya apa-apa dulu. Saya belum bisa bicara karena gembiranya," kata pelatih yang pernah dikecam para penggemar bola di negerinya itu. Pesta kemenangan bola itulah yang menyambut Maradona dan kawan-kawan di Buenos Aires. Rakyat berpenduduk sekitar 28 juta jiwa itu sejak. malam kemenangan di Stadion Azteca hanyut dalam kegembiraan. Semua surat kabar menerbitkan edisi khusus guna mengelu-elukan Maradona dan Pelatih Carlos Bilardo. Beberapa daerah mengumumkan libur umum Senin pekan ini guna memberikan kesempatan bagi warga meluapkan sukacita mereka. "Kalian memberi contoh yang baik: memberikan kami kebahagian yang kami inginkan," kata Presiden Argentina dalam pesan khusus kepada Pelatih Carlos Bilardo dan anggota timnya lewat siaran televisi. Sayang, kegembiraan itu harus dibayar mahal. Sedikitnya tiga orang dinyatakan tewas karena peluru dan terhimpit massa yang berkerumun berdesak-desak di beberapa tempat di ibu kota Argentina. Ratusan oran ditankap dan kemudian ditahan polisi Argentina, karena sambil berpesta mereka membuat rusuh: melempari toko-toko. Keadaan hampir sama pernah pula terjadi di Meksiko ketika tim mereka menang sampai menjelang semifinal. Kalah dan menang tetap ada korban. Ini agaknya tradisi yang bakal terus berlanjut setiap diadakan kejuaraan sepak bola yang menghabiskan duit puluhan juta US dolar. Baik yang dikeluarkan oleh negara peserta untuk membiayai tim mereka. Lebih-lebih yang harus dihabiskan penyelenggara kejuaraan itu. Sudah berlangsung 56 tahun apa yang kali ini dihasilkan di kejuaraan yang berlangsung di Meksiko? Jika ditilik dari sisi kompetisi, bisa jadi tak banyak yang berubah. Dua kubu Amerika Latin dan Eropa yang tetap bersaing untuk merebut supremasi. Yang dulu dilambangkan lewat sebuah piala yang pada awalnya bernama Jules Rimet. Piala ini kemudian jadi milik Brasil karena tim mereka bisa memenangkannya selama tiga kali, terakhir 1970. Sedangkan kubu lain Asia dan Afrika hingga piala ini diganti pada 1974 dengan trofi baru dengan nama Piala FIFA -- kini dinilai berharga US$ 35.000 -- tetap belum bisa berbicara banyak. Hanya ada sedikit kemajuan, ketika tim Marokko dari Afrika Utara bisa lolos untuk pertama kalinya hingga putaran kedua. Dalam hal pola permainan tim ada petunjuk tim-tim Eropa lebih dinamis. Ini bisa dilihat dengan tampilnya beberapa muka baru seperti Denmark, yang tampil dengan gaya permainan yang menyerang, semacam total football yang pernah diperlihatkan tim Belanda pada 1974. Lalu, penampilan agresif tim Uni Soviet yang mengesankan. Kedua tim ini memang belum beruntung lolos mencapai semifinal. Namun kehadiran mereka setidak-tidaknya mungkin bisa menghangatkan persaingan di lapangan hijau pada kejuaraan mendatang. Dengan itu boleh diharap mutu permainan para pemain bisa pula naik. Pertandingan pun enak ditonton. Sesungguhnya, sejak dimulai FIFA dulu, tujuan seperti itulah yang dicapai sepak bola selain sports juga suatu tontonan. Ini sebenarnya tujuan yang hendak dicapai ketika kejuaraan dimulai 1930 di Montevideo, Uruguay. Waktu itu kubu tuan rumah yang sempat dua kali juara olimpiade, memang, telah mendemostrasikannya terutama buat para tamu dari Eropa: apa itu sepak bola gaya Amerika Selatan. Tapi perkembangan keadaan selanjutnya membuat sepak bola jadi korban. Pertama kali sepak bola jadi alat propaganda politik ketika kejuaraan dilaksanakan di Italia pada 1934. Waktu itu, Benito Mussolini, pimpinan fasis Italia, menggunakan ajang ini untuk mencari pendukung di antara negara-negara peserta Piala Dunia. Ini tak disetujui sang juara bertahan Uruguay. Mereka memboikot kejuaran ini. Bahkan sampai penyelenggaraan kedua di Prancis (1938), kejuaraan Piala Dunia terus diliputi suasana perang. Usai Perang Dunia II kejuaran dimulai lagi, pada 1950. Inilah tahun munculnya Brasil, negara tetangga Uruguay. Ia jadi tuan rumah, dan dengan gaya permainan mirip penari samba, tarian khas rakyat negeri itu, langsung menyaingi juara dunia pertama Uruguay -- yang kembali jadi kampiun untuk kedua kalinya sebagai juara kedua. Tapi, masa jaya Amerika Latin itu tak lama. Eropa kemudian bangkit. Diwakili Jerman Barat yang merebut gelar juara dalam kejuaraan yang dilaksanakan di Swiss, 1954. Tahun kebangkitan Eropa ini diperkuat Hungaria, lewat penyerang terkenal mereka Puskas pada kejuaraan 1958 di Swedia. Pemain ini menampilkan gaya permainan menyerang yang dilengkapi dengan keterampilan teknik yang tinggi. Namun, persaingan jadi sengit karena Amerika Selatan juga memunculkan pemain-pemain berbakat. Waktu itu dengan seorang pemain berkulit hitam, Pele, Brasil mencetak rekor baru merebut gelar juara pertama kali di bumi Eropa setelah menggulingkan tuan rumah Swedia 5-2 di final. Kejuaraan ini bisa disebut sebagai tahun awal kejayaan sepak bola Brasil. Dengan Pele dan gaya main samba sebagai modal mereka. Pada 1962 kemasyhuran Pele dan Brasil merata ke mana-mana ketika mereka mengukuhkan supremasi dengan menjuarai untuk kedua kalinya Piala Dunia. Brasil tampil lagi sebagai juara di Cili, negara tetangganya. Tapi, persaingan dengan Eropa bukan berarti reda. Sebab, pada 1966 muncul kekuatan baru Eropa, Inggris, negeri tempat lahirnya sepak bola. Jadi tuan rumah, Inggris menjuarai kejuaraan ini setelah mengalahkan Jerman Barat. Tapi, empat tahun kemudian Brasil dengan pemain legendaris Pele membuat rekor baru. Ia tampil sebagai negara yang mampu untuk ketiga kalinya menjuarai kejuaraan Piala Dunia, yang dilangsungkan di Meksiko, 1970. Sepak bola berkembang setelah itu. Seiring dengan perkembangan perekonomian, sepak bola tambah menyala sebagai ladang bisnis. Sepak bola bayaran berkembang dan sejumlah bintang-bintang tumbuh menjadi jutawan. Mereka itulah pemain besar dari Eropa yang datang untuk menggantikan Pele. Di antaranya Johan Cruyff dari Belanda dan Franz Beckenbauer dari Jerman Barat. Dan di kejuaraan 1974 mereka bertemu. Tahun pertemuan para superstar itu dimenangkan Jerman Barat yang tampil untuk kedua kalinya sebagai juara. Sepak bola bergulir terus. Dan setelah kemenangan Argentiria pada 1978 para superstar nyaris tak tampak. Malah ketika Italia tampil sebagai juara 1982 boleh dikatakan tak ada bintang baru di lapangan hijau. Hingga kejuaraan tahun ini yang tetap belum mencatat munculnya banyak bintang baru. Memang, agaknya, kian lama kian sulit mencetak pemain superstar seperti Pele, Cruyff, dan Beckenbauer. Yang mulai tampak bersinar sendiri di puncak kini baru Diego Maradona. Tahun ini bisa dibilang tak banyak bintang yang muncul. Ini bukan mustahil sepak bola akan cenderung tak akan memunculkan banyak superstar. Cocok dengan perkiraan Bora Milutinovic, pelatih tim Meksiko, bahwa kini sepak bola cenderung menampilkan permainan tim, bukan perorangan. Sehingga bukan tak mungkin pula di kejuaraan empat tahun mendatang di Italia, bintang tetap akan dipegang Maradona. Waktu itu ia belum 30. Marah Sakti, Laporan Amran Nasution (Meksiko) dan Sapta Adiguna (Paris)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini