BEBERAPA wasit terpaksa dikawal lebih ketat. Tindakan ini mau tak mau harus dilakukan petugas keamanan di Meksiko selama kejuaraan Piala Dunia ke-13 berlangsung. Sepekan sebelum kejuaraan bergengsi itu berakhir, misalnya, petugas keamanan harus mengawal kepulangan tiga wasit -- Jesus Diaz Palacio dari Kolombia, Chris Bambridge dari Australia, dan Alan Snoddy dari Irlandia Utara -- dari hotel hingga ke bandar udara Monterrey. Ini karena sejak usai menyelesaikan tugas mereka, ketiga wasit itu terus-terusan mendapat ancaman dari suporter yang kalah. Jesus dari Kolombia dianggap suporter Meksiko merugikan tim mereka. Yakni, ketika tim tuan rumah itu bertanding di perempat final melawan Jerman Barat. Jesus membatalkan gol yang dibuat Abuela Cruz, 20, salah satu penyerang andalan Meksiko, di pertandingan penentuan lawan Jer-Bar karena ia menilai pemain itu sudah berdiri offside sebelum memasukkan gol. Pertandingan berakhir seri 0-0. Meksiko kemudian kalah dalam adu penalti (1-4). Pelatih Meksiko, Bora Milutinovic, seusai pertandingan langsung mencela keputusan Jesus itu. "Bagaimana bisa offside, jika di belakang Cruz masih ada seorang pemain Jerman," teriaknya emosional. Dikutip pers setempat. Pendapat Bora ini rupanya membakar emosi sejumlah pendukung Meksiko. Dan wasit dari Kolombia itu sampai dijegat ratusan orang Meksiko di bandar udara ketika akan kembali ke negerinya. "Badut tak punya malu" dan "Berapa kau dibayar orang Jerman untuk mengalahkan kami?". Itu antara lain jerit emosional yang diserukan berulang-ulang oleh massa yang membanjiri airport. Untung, polisi dan petugas keamanan lainnya sigap. Ada 36 wasit yang diminta Federasi Sepak Bola Internasional (FIFA) untuk memimpin secara bergantian 52 pertandingan di Meksiko. Mereka adalah wasit pilihan dari lima benua. Hanya enam di antaranya wasit dari Asia dan Afrika. Tiga dari Asia: Shizua Takada (Jepang), Jamal Al Sjarif (Syria), Al Falaj (Arab Saudi), dan tiga lagi dari Afrika: Ali Bennacceur (Tunisia), Idrissa Traore (Mali), Edwin Pichon-Ackon (Mauritania). Selebihnya dari Eropa, Amerika, dan Australia. FIFA menentukan persyaratan selain harus memiliki sertifikat dan pengalaman memimpin pertandingan internasional, para wasit yang seluruhnya berumur 40-60 itu juga harus menjalani tes kesehatan. Maklum, selain akan memimpin pertandingan dunia, mereka juga harus bekerja di negeri yang berudara tipis dan panas dengan temperatur 5 sampai 38 derajat Celsius. Ada 53 wasit yang dites, dan 45 yang lulus. Mereka inilah sembilan di antaranya jadi cadangan -- yang diminta bertugas dengan bayaran sekitar Rp 100.000 per hari. Ditambah fasilitas tiket pulang-pergi dan jaminan akomodasi serta konsumsi selama di Meksiko, apa yang diperoleh para wasit ini memang jauh di bawah penerimaan pemain. Tapi ironisnya dengan tanggung jawab luar biasa berat. Kehormatan dipercaya memimpin "pertandingan besar" di Piala Dunia itulah yang lebih banyak mendorong para wasit. "Kami memang dilahirkan sebagai bagian dari sepak bola," kata George Courtney, 44, wasit dari Inggris yang memimpin perebutan juara ketiga Prancis vs Belgia. Ayah seorang anak ini sehari-hari bekerja sebagai guru kepala SD di County, Durham, Inggris. Dia tercatat telah memimpin 20 pertandingan internasional, di antaranya final kejuaraan Eropa UEFA Cup, kejuaraan sepak bola Asia, dan Piala Dunia di Meksiko yang pertama. Gemar atletik, golf, sepak bola, dan membaca, Courtney termasuk satu-satunya dari 100 wasit terbaik yang biasanya bertugas memimpin pertandingan di Liga Utama Inggris yang diundang FIFA. Di Inggris sendiri kini tercatat sekitar 18.000 wasit. Dan Courtney, wakil mereka, boleh dianggap sukses menjalankan tugasnya. Paling tidak jika dibandingkan dengan wasit lain, seperti Christ Bambridge, Ali Bennaceur, Joel Quiniou, dan sejumlah lain yang dicerca banyak orang di Meksiko. Bambridge dari Australia dikecam kubu Spanyol karena tak mengesahkan gol hasil tendangan penyerang mereka Michel ketika Spanyol bertanding lawan Brasil di hari kedua. Gol ini memang amat sulit diketahui. Sebab, bola bergerak begitu cepat. Tendangan Michel kena mistar dulu, sebelum -- menurut pihak Spanyol -- memantul ke daerah dalam gawang dan kemudian mental kembali ke lapangan permainan. Lewat rekaman televisi yang dipelankan, ternyata bola memang masuk ketika memantul dari mistar gawang. Namun, wasit tak melihat kejadian itu. Demikian juga penjaga garis. Pelbagai ketidakjelian wasit tercatat juga merugikan Uni Soviet, misalnya, ketika bertanding melawan Belgia. Paling tidak satu gol yang dibuat pemain Belgia, ketika keduanya bertemu di putaran kedua, dinilai pelatih Soviet dan beberapa pengamat offside. Selain tak akurat, ada juga wasit yang dianggap mengeluarkan keputusan tak adil. Misalnya wasit Joel Qoiniou dari Prancis. Wasit ini dituding terang-terangan oleh manajer tim Uruguay Omar Borras sebagai "pembunuh" karena mengeluarkan pemainya Jose Batista dari lapangan ketika mereka bertanding lawan Skotlandia. Kesal, karena di pertandingan sebelumnya seorang pemainnya Miguel Bossio juga dikanumerahkan wasit, Borras kemudian menyerbu wasit ke lapangan. Ia juga mengecam keras korps wasit seusai pertandingan dengan Skotlandia itu. Akibatnya, ia dihukum tak boleh duduk di bangku cadangan pada pertandingan berikutnya, dan tim Uruguay sendiri kemudian dihukum denda sekitar Rp 15 juta. Setumpuk kekecewaan memang dialamatkan ke Korps Baju Hitam kali ini. Dan FIFA tak bisa lain harus membela mereka. "Wasit mungkin saja salah, karena itu manusiawi. Tapi keputusan tak akan kami ubah," kata Andreas Marce Varela, salah seorang anggota Komisi Tehnik FIFA.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini