Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Kuliah Lima Tahun Hapus Oleh ...

Mahasiswa IKIP Yogyakarta gagal menjadi sarjana karena ijazah dari pesantren tak diakui.

5 Juli 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

APA artinya selembar ijazah? Bagi Jamal dan Suryanto, dua mahasiswa IKIP Negeri Yogyakarta, sangat besar. Gara-gara selembar kertas itulah, kedua mereka gagal jadi sarjana. Bahkan status mahasiswa keduanya pun dicabut. Padahal, mereka telah duduk di tingkat terakhir, bahkan Jamal telah menyusun skripsi dan lulus ujian, tinggal menunggu wisuda.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mungkin ini sebuah contoh bagaimana dunia pendidikan begitu kaku berpegang pada formalitas. Jamal dan Suryanto mendaftar di IKIP Yogyakarta pada tahun ajaran 1979-1980. Lulusan pondok pesantren Pabelan, Magelang, ini berhasil menembus tes masuk IKIP Negeri. Suryanto memilih Jurusan Pendidikan Sosial Fakultas Ilmu Pendidikan, sedangkan Jamal mengambil Jurusan Pendidikan Moral Pancasila dan Kewarganegaraan Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Suryanto, yang mendaftar lebih dahulu daripada Jamal, sempat ditanya ijazah SMA-nya yang asli oleh Kepala Biro Akademik -- waktu itu dijabat oleh Suparmat. Sebabnya, ia hanya memiliki "surat keterangan" selesai pendidikan dari Kulliyakul Mu'allimien Al-Islamiyah (KMI) setingkat madrasah aliyah, dan madrasah ini setingkat SMA. Suryanto pun dengan terus terang menjelaskan bahwa dirinya hanya lulusan pondok pesantren Pabelan yang tidak mengeluarkan ijazah atau STTB (Surat Tanda Tamat Belajar).

Menurut dia, waktu itu Suparmat bersedia memberikan rekomendasi bagi dirinya, asalkan ada surat keterangan dari Pabelan. Bahkan Kepala Biro Akademik itu sendiri lantas berkirim surat kepada pimpinan pondok Pabelan, Magelang. Balasan pun segera tiba. Ketua Majelis Guru KMI, Ahmad Mustafa, dalam surat balasan itu pada pokoknya memperkuat keterangan Suryanto. Ia menambahkan mengenai rincian predikat "Tamat" dan "Selesai". Predikat "Tamat" diberikan bagi siswa yang naik dari kelas V ke VI dengan nilai "baik", dan predikat "Selesai" diberikan bagi siswa yang mendapat nilai "cukup". Di bagian akhir surat Ahmad Mustafa menulis, pondok menyerahkan sepenuhnya hasil testing bagi lulusannya yang ingin melanjutkan ke perguruan tinggi.

Berdasarkan surat balasan itulah akhirnya Suparmat memberi rekomendasi bagi Suryanto dan Jamal. Maka, kedua mahasiswa ini mulus mengikuti kuliah hingga tingkat V. Bahkan Jamal, 28, yang memiliki Indeks Prestasi (IP) 2,5 (termasuk sedikit di atas sedang) itu, sudah mengikuti Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Bantul, pada akhir 1983. Setahun kemudian ia mulai riset dan menyusun skripsi yang berjudul: Pengaruh Pendidikan Politik terhadap Partisipasi Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Tidar, Magelang. Skripsi, yang di IKIP disebut tesis itu, dipertahankannya dengan gemilang pada ujian pendadaran, akhir April silam. "Betapa senangnya mendengar kelulusan itu, terlebih kedua orangtua di kampung, karena baru sayalah dari keluarga kami yang jadi sarjana," kata anak kedua dari enam bersaudara ini.

Tapi kebahagiaan anak petani itu tak berlangsung lama. Pertengahan Mei silam keluar pembatalan studi dari dekannya, Haditono, atas nama Rektor IKIP. Kisah pupusnya harapan Jamal berawal dari rekannya, Suryanto, yang tak dapat menunjukkan ijazah SMA-nya kala akan menempuh ujian pendadaran. Memang, di fakultas Suryanto ada keharusan menunjukkan, antara lain, ijazah SMA atau yang sederajat, sebelum ujian akhir. Sementara itu, di fakultas Jamal tidak.

Suryanto sempat bersitegang dengan dekannya, dan tanpa sadar memberitahukan bahwa Jamal boleh mengikuti ujian tanpa mempunyai ijazah SMA. Berita ini sampai ke telinga Rektor IKIP, S.T. Vembriarto. Rektor lantas membentuk tim yang diketuai langsung oleh Pembantu Rektor (Purek) I Bidang Akademis, Suharto, guna mengusut kasus ini. Kemudian keluarlah surat pembatalan studi bagi kedua mahasiswa itu. Namun, Suryanto masih diberi kesempatan untuk menempuh ujian, asalkan bisa menunjukkan ijazah SMA-nya. Anak ke-3 dari 7 bersaudara ini segera mendaftar untuk mengikuti ujian extranee di beberapa SMA atau madrasah aliyah negeri di -- tak tanggung-tanggung -- Magelang, Yogya, dan Solo. "Tapi semua menolak karena telah terlambat, di samping itu, persyaratan usia sudah tidak memenuhi lagi," ujar Suryanto lesu.

Satu-satu jalan yang tertinggal ialah mengikuti ujian persamaan SMA yang diselenggarakan oleh Departemen P & K tiap tahun. "Tapi itu pun terlambat. karena masa studi saya habis tanggal 30 Juni ini," tambah anak petani Desa Sambak, Magelang. Jamal dan Suryanto memang mengakui ijazah mereka tidak sah, dalam arti tidak dikeluarkan oleh Departemen P & K. "Tapi pihak IKIP semula tidak mempermasalahkan ini, jadi kami, ya, tenang saja," kata Jamal. "Seharusnya kesalahan tidak ditimpakan pada kami semata. Kenapa dulu IKIP memberi kami kesempatan menjadi mahasiswa di sini?"

Mengenai pembatalan program studi itu, Purek I Suharto berpegang pada buku panduan penerimaan mahasiswa baru tahun 1979. Dalam buku disebutkan, untuk manjadi mahasiswa IKIP harus memiliki ijazah SMA atau sederajat. "Kedua mahasiswa itu tidak memenuhi syarat tersebut, jadi harus bagaimana lagi. Seharusnya mereka berdua tahu peraturan itu," katanya. Mungkin Suharto benar. Tapi tuntutannya itu boleh dinilai terlambat. Sementara dalam waktu sekitar lima tahun, selama kedua mahasiswa mengikuti kuliah dan ujian-ujian semester, kok, soal selembar kertas itu tak disinggung-singgung. Dan apa komentar Suparmat, yang lima tahun lalu menjadi Kepala Biro Akademis IKIP Yogyakarta, yang mengizinkan mereka kuliah di IKIP karena lulus tes masuk? "Pengertian saya waktu itu lulusan KMI Pabelan sederajat dengan madrasah aliyah," jawabnya.

Sesungguhnya Suparmat tidak keliru. Kulliyakul Mu'allimin Al-Islamiyah tak menerima siswa sembarangan. Pendidikan ini mensyaratkan pula siswa harus telah lulus SD atau madrasah ibtidaiyah. Dengan masa pendidikan lima tahun tambah satu tahun pendidikan akhir (dengan tujuan utama mematangkan siswa menjadi pekerja masyarakat), kurang lebih siswa yang dinyatakan "Selesai" tentulah bekal ilmunya sederajat dengan lulusan SMA atau madrasah aliyah. Bukankah Jamal dan Suryanto telah membuktikannya? "Dan alumni di sini telah banyak yang telah menjadi sarjana Institut Agama Islam Negeri," tutur seorang staf pengajar di Pabelan.

Lebih repot lagi bagi Jamal dan Suryanto, yang diharuskan mengembalikan pinjaman Rp 500.000. Yakni pinjaman dari Kredit Mahasiswa Indonesia yang dikeluarkan oleh BNI 1946 pada 1983. "Uang itu sudah habis untuk biaya kuliah," kata Jamal pula. Mestinya, mereka baru diharuskan membayar kembali kredit, secara mengangsur pula, setelah lulus sarjana dan telah bekerja.

Sebenarnya pihak IKIP bukannya tidak luwes. Karena kasus kedua mahasiswa itu kemudian ditemukan pula seorang mahasiswa tamatan KMI Pabelan. Ia masuk IKIP pada tahun ajaran 1981-1982, karena itu masih bisa diberikan kesempatan agar Siti, demikian panggilannya, mencari ijazah SMA atau yang sederajat. "Sepanjang mahasiswa tersebut masih bisa diselamatkan, kami selamatkan," kata Suharto, Purek I itu.

Tak adakah kebijaksanaan lain bagi Jamal dan Suryanto? Bukankah mereka telah terbukti mampu mengikuti kuliah? Ataukah IKIP lebih percaya kepada kertas daripada bukti nyata? Sementara itu, kedua mahasiswa minta bantuan LBH Yogyakarta untuk memperjuangkan nasib mereka. Sementara Dirjen Pendidikan Tinggi Sukadji Ranuwihardjo mengaku belum mendapat laporan dari Yogyakarta. Kepada TEMPO ia hanya mengatakan, Selasa siang pekan ini, kesalahan terletak pada awal ketika kedua mahasiswa IKIP itu diterima.

Tampaknya, birokrasi dengan segenap formalismenya telah menggigit benar pada jaringan pendidikan formal negeri. Padahal, beberapa pengamat sosial budaya menganggap bahwa bentuk pondok pesantren merupakan alternatif bagi pendidikan formal kini -- pendidikan yang selalu mendapat kritik bahwa kualitasnya menurun. Diperlukan keberanian membuat terobosan, tampaknya.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Di edisi cetak, artikel ini terbit dengan judul "Kuliah Lima Tahun Hapus Oleh ...".

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus